Taiwan (11): Reformasi Nation-State?
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Tiga minggu lalu, di Jakarta ada pagelaran diskusi tentang Taiwan. Sekian pengamat dan akademisi ditampilkan. Diskusi ini menyoroti ketegangan antara Republik Rakyat China (RRC) dan Taiwan, menyusul kunjungan Ketua Konggres Amerika Serikat (AS), Nancy Pelosi. Pembahasan para pembicara mengerucut pada dua hal: dampak ekonomi dan kalkulasi politik. Ringkasnya, mereka menganalisa ujung akhir dari ketegangan antara dua negara.
Meski temanya tentang Taiwan, sayangnya, pembahasannya terkesan di atas awan. Fokus diskusi pembicara justru lebih didominasi oleh argumen persaingan dan analisa head-to-head antara RRC dan AS. Saya tidak mengatakan bahwa penjelasannya salah. Toh, penyulut ketegangan adalah kunjungan Nancy Pelosi. Bahkan, Ketua Konggres AS ini sempat mem-framing kunjungannya ke Taiwan sebagai bagian dari konflik global antara ‘demokrasi’ yang dipimpin AS melawan ‘otokrasi’ yang dialamatkannya pada aliansi RRC dan Rusia. Apalagi, persaingan analisa akademik tidaklah berujung pada penghakiman antara “benar’ dan “salah”, melainkan lebih didasarkan pada argumen mana yang “lebih bisa menjelaskan” fenomena.
Cuma, masalahnya, pembahasan Taiwan yang berangkat dari perspektif di atas awan cenderung menyederhanakan persoalan. Bahkan, pembahasan yang dilakukan bisa mengarah pada reduksi pemahaman. Pasalnya, konflik RRC-Taiwan lebih dilihat, meminjam istilah John Mearsheimer, sekadar refleksi dari “great-power politics” (politik negara adidaya). Akibatnya, akar masalah krisis Taiwan cenderung terabaikan. Padahal, sikap keras RRC tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sosiologis-politis yang tengah terjadi di ranah domestik Taiwan.
Salah satu akar masalah krisis Taiwan adalah masalah identitas. Perdebatan tentang masalah ini bukanlah datang secara tiba-tiba, tetapi berlangsung seiring dengan evolusi negara ini sebagai sebuah nation-state (negara-bangsa). Tak pelak, pendekatan historis menjadi tak terhindarkan. Masalah identitas nasional Taiwan merupakan isu yang komplek, karena bersifat multi-dimensi. Shelley Rigger, misalnya, mengidentifikasi isu identitas dalam empat klasifikasi: Provincial (asal provinsi), nation (bangsa), citizenship (kewarganegaraan), dan political preferences (preferensi kebijakan politik). Keempat isu identitas Taiwan ini bisa dipilahkan, namun sulit untuk dipisahkan; karena keempatnya, langsung atau tidak langsung, saling berkaitan.
Isu provincial secara historis muncul bertumpu pada pemilahan demografis. Etnisitas dan rentang waktu dari migran yang datang menjadi ukuran. Di satu pihak terdapat penduduk asli (aborigin) Taiwan dan mereka yang datang ke Taiwan sebelum Perang Dunia II, yang mendefinisikan sebagai kaum ‘pribumi’. Sementara di pihak lain, adalah kaum Nasionalis RRC yang datang tahun 1947 menyusul kekalahannya dalam perang saudara melawan kaum Komunis di China daratan (mainland China). Semula pemilahan demografis ini secara sosial tidaklah bermasalah, karena identitas “China” dan “Taiwan” tidak eksklusif, dan tidak pula saling menegasikan.
Namun, terdapat noktah hitam dalam sejarah yang mengubah pemilahan menjadi perbedaan. Penduduk Taiwan yang secara budaya telah nyaman dengan mengadopsi adat dan sikap kolonial Jepang, tiba-tiba terusik dengan perlakuan represif militer Nasionalis Kuomintang (KMT). Peristiwa 28 Februari 1947, dimana pasukan KMT membantai ribuan penduduk Taiwan menyisakan trauma bagi penduduk pribumi Taiwan. Trauma ini seperti bara yang senantiasa bercokol dalam kesadaran, sehingga memicu gerakan ‘nativikasi’ (nativization) identitas pribumi. Akibatnya, saat Presiden Chiang Kai-shek (1950-1975) mendefinisikan ras penduduk Taiwan sebagai “China” (Chinese), justru menuai reaksi resistensi.
Apalagi, terdapat tindakan brutal lain yang ikut menimpali. Dalam rangka memperingati human rights day, tanggal 10 Desember 1979, di Kaohsiung terjadi demonstrasi pro-demokrasi; menuntut pelonggaran hukum darurat militer (martial law). Tapi, pemerintahan militer KMT menanggapinya dengan represi disertai dengan tindakan pembungkaman. Para tokohnya ditangkap dan dipenjara dalam jangka lama. Pada saat yang sama, pemerintah menutup 15 media-massa. Sejak itu, peristiwa kekerasan di Kaohsiung merupakan tonggak awal perkembangan demokratisasi di Taiwan.
Yang menarik, proses demokratisasi sejak 1986 justru mempercepat formasi identitas Taiwan. Tampilnya Lee Teng-hui sebagai Presiden (1988-2000), seakan menyediakan fasilitas untuk terbentuknya identitas baru Taiwan. Meskipun berasal dari keluarga pendatang China daratan dan Ketua Kuomintang, dia merupakan Presiden pertama yang lahir di Taiwan dan sangat dekat dengan Jepang. Inisiasinya membangun monumen untuk menghormati korban represi 28 Februari 1947 di Taipei merupakan katalisasi pembentukan identitas nasional yang mandiri. Lee Teng-hui kemudian bermutasi menjadi simbol representasi identitas Taiwan yang inklusif. Sosoknya mewakili persatuan pendatang dan pribumi yang pro-demokrasi. Secara politis, perkembangan ini merupakan antitesa terhadap KMT yang cenderung pro-otokrasi, menolak otonomi, dan tetap terjerembab dalam obsesi unifikasi dengan RRC, dan memandang Taiwan sebagai provinsi. Walhasil, Lee Teng-hui akhirnya didepak dari KMT. Tetapi, identitas yang terbelah (split identity) telah terlanjur mewarnai perdebatan identitas Taiwan hingga kini.
Yang menarik, formasi identitas nasional baru Taiwan bukanlah konstruksi elit. Seorang sosiolog, Thomas Gold, menegaskan bahwa dalam konteks hubungan negara dan masyarakat, pencarian identitas sebagai nation (bangsa) itu justru berkembang dari bawah. Argumennya, gerakan massa pro-demokrasi secara perlahan telah menggerus legitimasi kekuatan negara di bawah KMT.
Data survei mutakhir yang dirilis National Chengchi University (NCCU)pada tanggal 12 Juli 2022 menunjukkan formasi identitas Taiwan baru. Selama dua dasawarsa, sejak 1992, perkembangan politik, ekonomi dan sosial-budaya secara drastis telah mengubah persepsi warga Taiwan menyangkut identitas diri dan sikap politiknya terhadap masa depan politik Taiwan. Hasil survei menunjukkan bahwa 63,3% masyarakat menganggap diri mereka sebagai orang Taiwan, sementara proporsi yang mengidentifikasi sebagai orang Taiwan sekaligus China turun menjadi 31,4%, dan hanya 2,7% yang menganggap dirinya sebagai orang China. Yang menarik, sikap pro-kemerdekaan juga membesar. Jika tahun 1992 yang pro-kemerdekaan hanya sekitar 8%, tahun 2022 telah meningkat drastis menjadi 25,8%. Sementara itu yang pro-unifikasi dengan RRC turun dari sekitar 15% pada tahun 1992 menjadi hanya 5% pada tahun 2022. Sisa penduduk, sekitar 27,5%, tetap bersikap mendukung “status quo” selama ini. Munculnya angka-angka survei ini, dengan difasilitasi demokrasi, menunjukkan bagaimana berjalin-kelindannya identitas provincial, nation, citizenship, dan political preferences warga Taiwan.
Perkembangan sosial dan politik di atas, tak pelak membuat RRC gelisah. Persepsi identitas sosial dan aspirasi politik yang berkembang jelas memberi amunisi baru bagi Democratic Proggresive Party (DPP) yang sedang berkuasa, di bawah kepemimpinan Presiden Tsai Ing-wen, sekaligus akan memperkuat sikapnya untuk merdeka. Dalam konteks inilah kunjungan Nancy Pelosi membuat RRC marah, karena dianggap sebagai dukungan, bahkan pengakuan terhadap formasi identitas nasional Taiwan yang baru. Metaforanya, kedatangannya seakan menyiram bensin pada onggokan kayu yang sedang membara.
Fenomena mutakhir Taiwan, setidaknya menorehkan dua catatan. Dalam konteks analisa, adalah penting untuk mempertimbangkan first-hand perspective; karena perspektif ini menyediakan insider’s perspective yang lebih fair dan balanced dibandingkan ousider’s perspective yang cenderung melayang di atas awan. Dalam konteks identitas nasional, apa yang terjadi di Taiwan nampaknya mencerminkan reformasi sebuah nation-state. Secara historis, formasi nation-state gelombang pertama di Eropa lebih dilandasi semangat untuk lepas dari loyalitas primordial sekaligus dari cengkeraman kekaisaran. Sementara formasi gelombang kedua, yang muncul seiring dengan kemerdekaan negara-negara jajahan pasca Perang Dunia II, lebih diwarnai semangat patriotik guna bebas dari eksploatasi negara-negara kolonial. Sebagai representasi formasi nation-state gelombang ke tiga, reformasi nation-state Taiwan lebih diinspirasi oleh zeitgeist (semangat jaman) dewasa ini, yaitu demokrasi! (Bersambung)
*) Dosen HI Universitas Jember dan Taiwan’s MOFA research fellow di Wenzao Ursuline University
Advertisement