Taiwan (10): Negara, Warga, dan Konflik
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen HI Universitas Jember dan Taiwan’s MOFA research fellow di Wenzao Ursuline University
Situs itu bernama The Beishan Broadcast Wall (dinding siaran Beishan). Tinggi bangunannya sepuluh meter dengan struktur tiga tingkat, dilengkapi dengan 48 loudsepakers kapasitas super. Sampai kini, dinding siaran ini masih tegak berdiri di pantai pulau Kinmen–yang dikenal pula sebagai Quemoy. Seperti telah disinggung dalam tulisan sebelumnya, pulau ini merupakan wilayah terluar Taiwan, yang hanya dipisahkan selat selebar 2 km dari titik pantai RRC.
The Beishan Broadcast Wall adalah salah satu saksi konflik ideologi antara kedua negara tersebut. Didirikan tahun 1967, kala puncak Cold War global, wahana ini merupakan senjata dalam ‘sonic war’ (perang suara) dalam rangka adu propaganda dengan RRC. Kapasitas loudspeakers memang dirancang untuk mampu melontarkan suara melintasi selat selebar 2 km itu. Target dengung suaranya bisa mencapai kota Xiamen dan wilayah sekitarnya. Tapi, dengan volume penuh, apalagi jika angin laut sedang bersahabat, suaranya mampu menjangkau sampai jarak 25 kilometer.
Sebagai sarana perang, tujuan kumandang suara adalah menang. Dari pihak Taiwan, suara berisi pesan propaganda anti-Komunis dengan selingan musik. Salah satu artis Taiwan yang tampil adalah mendiang Teng Li-chun, lebih dikenal sebagai Teresa Teng, yang konon adalah penyanyi favorit tokoh pembaharu RRC, Deng Xiao Ping.
Di sela dendang lagu, sang artis menyisipkan kata syahdu bahwa dia menunggu kedatangan warga RRC, melalui bujuk rayu bahwa “kebebasan [dari belenggu Komunis] adalah satu-satunya harapan untuk masa depan”. Sebaliknya, loudspeakers dari arah Xiamen juga tak kalah lantang bersuara. Yang berbeda hanyalah pada pesan yang di bawa. Isinya, propaganda nasionalis-Komunis yang menegasikan kredo kapitalis. Kedua pihak yang berperang masing-masing dengan keyakinan nilai-nilai yang mereka pegang
Suara yang Memekakkan Telinga
Dalam sonic war tersebut, meski ada musik, lantunannya sangat mengusik. Pasalnya, volume tinggi suara yang memekakkan telinga, diputar tanpa jeda. Yang Kai-ting, yang meneliti dengan menghimpun memori para saksi, bertutur: “Kala itu [dalam sonic war] suara keras yang memekakkan telinga berkumandang dari broadcast wall terus diputar sepanjang hari tanpa henti. Warga tenggelam dalam suara dan tak punya cara untuk melarikan diri. Sonic war adalah pertempuran panjang atas zona mental seseorang”. Ling Ma-teng, seorang veteran Taiwan, juga memberikan testimoni: “Komunis [RRC] juga melancarkan serangan balasan dengan menggunakan taktik yang serupa. [Loudspeakers] mereka sangat keras seperti guntur, [sementara] kami memainkan musik, musik yang [diputar] tanpa henti, dan [musik] ini [akhirnya] berubah menjadi kebisingan. [Semua] ini membuat kami lelah [secara] mental”.
Ketika Cold War global berakhir, tensi perang ideologi anjlok ke titik nadir. Misi The Beishan Broadcast Wall dalam sonic war juga terhenti. Dampak ekonomi-pun siap menanti. Kinmen yang perekonomiannya semula berjaya berkat kehadiran 100 ribu tentara, berubah menjadi merana karena kepindahan mereka, menyusul diakhirinya pengendalian militer atas pulau itu.
Namun, derita ekonomi tak berlangsung lama. Sejak Kinmen dibuka untuk umum pada tahun 1993, geliat ekonominya kembali bergairah berkat kedatangan wisatawan. Sejak tahun 2001, jumlah wisatawan semakin meningkat, seiring penghapusan berbagai restriksi untuk berkunjung. Bahkan, sejak tahun 2008, jumlah wisatawan meningkat pesat dengan dibukanya “mini-thee-links”, yaitu penyeberangan ferry langsung yang menghubungkan antara pulau Kinmen dan Matsu milik Taiwan dengan provinsi Fujian, wilayah RRC. Apalagi, sejak tahun 2015 wisatawan RRC yang mau datang juga dipermudah, tanpa harus mengajukan ijin terlebih dahulu.
Atraksi utamanya adalah peninggalan sarana perang militer yang teronggok laiknya museum terbuka. Berbagai situs, mulai dari the Beishan Broadcast Wall, artelleri, tank, sampai barikade penghalang pendaratan amphibi, yang membisu sepi. Tapi, tahun 2017, kolaborasi seniman Jerman dan Taiwan berinisiatif untuk menghidupkannya kembali. Pagelarannya diekspresikan melalui kreasi musik dan seni. Yang menarik, the sonic power-Beishan Broadcast Wall-diaktifkan kembali. Namun, konsepnya bersandar pada “politics of silence”. Jika dulu hentakan nada bertalu bak genderang perang, Kini, alunan musik syahdu menyentuh keheningan kalbu. Meski sifatnya tetap ‘propaganda’, tapi esensi dan tujuannya berbeda. Dulu, targetnya mempengaruhi orang untuk melarikan diri demi komitmen ideologi, Kini, tujuannya membujuk orang datang untuk membangun imaginasi. Salah satu penggagasnya, Yang Kai-ting, beralasan: “Suara [musik dan lagu] memberi kita lapisan imajinasi lain karena pendengar harus membayangkan narasinya”.
Tak pelak, Kinmen menjadi gempita karena wisata. Tahun 2019, sebelum pandemi, pulau kecil ini menerima 2,5 juta turis mancanegara. Yang menarik, 41% dari jumlah itu berasal dari China daratan. Fenomena ini mencerminkan wajah Kinmen yang berubah, Dulu, pulau ini merupakan “benteng” terdepan dalam konflik menghadapi RRC. Kini, pulau ini bermutasi menjadi “gerbang” terluar Taiwan bagi masuknya warga RRC. Pakar Chinese studies asal Korea-Seong-hyon Lee-menggambarkan Kinmen telah menjadi salah satu tempat "di mana pertukaran [sosial-ekonomi] antara kedua belah pihak [yang berseteru] bermula". Beberapa sumber lain di Taiwan juga menguatkan konstatasi ini. Dalam aspek sosial-ekonomi, hubungan warga Taiwan dan China daratan relatif tak bermasalah. Konflik utama antara kedua pihak hanya terjadi pada aspek politik di level negara.
Mendadak, sebuah pertanyaan menyeruak dalam benak. Mengapa hampir selalu ada gap antara hubungan di level warga dan relasi di level negara? Tak bisa dipungkiri, manusia adalah multi-identitas. Sebagai individu, dia hadir sebagai sosok yang relatif bebas dan otonom. Hubungan di level warga sering bertumpu pada sifat sosial individu yang bebas dan otonom ini. Akibatnya, relasi yang muncul cenderung tanpa prasangka dan perbedaan yang memisahkan.
Sementara hubungan di level negara tumpuannya berbeda. Pada hubungan di level ini, individu hadir sebagai sosok yang terbelenggu oleh gagasan politik atau ideologi. Konflik antar negara esensinya sebenarnya adalah konflik “negara-bangsa” (nation-state). Elaborasi Ruth McVey tentang nation-state membantu mengurai misteri ini. Menurutnya, nation-state adalah representasi sebuah ‘cita-cita’. Konsep nation lebih bersifat ‘ideal’, yang melibatkan komitmen kolektif; digerakkan semangat egaliter, dan bertumpu pada sebuah gagasan; terlepas apakah gagasan itu hasil konstruksi elite atau merupakan rajutan aspirasi rakyat. Sedangkan state, lebih menampilkan dirinya sebagai ‘fakta’ struktur kekuasaan yang hiearkhis, dengan elemen stabilitas yang dilambari keinginan untuk selalu mengontrol, baik internal maupun eksternal. Dengan anatomi semacam ini, nation-state tampil sebagai sosok organisasi dengan gagasan yang kuat, yang kemudian brmutasi menjadi sumber identitas politik dan pusat loyalitas, sekaligus tempat bersemayamnya kekuasaan yang nyaris tak terbantahkan.
Sederhananya, ‘state’ hampir selalu diasumsikan mengemban misi mewujudkan gagasan ideal dari sebuah ‘nation’. Celakanya, gagasan masing-masing nation-state sering tidak kompatibel satu sama lain. Bahkan, di antara mereka justru tidak jarang bersifat konfliktual. Tak heran, kejenuhan akan konflik di ranah politik seringkali menggiring kita untuk menengok kembali sifat hubungan manusia di ranah sosial. Semua ini mengingatkan saya pada kata-kata Alice Baily, bahwa ‘hubungan manusia yang benar adalah satu-satunya kedamaian sejati”. (Bersambung).
Advertisement