Tahura Provinsi Jatim itu Bisa Jadi Primadona Dunia
Revolusi industri dimulai di Eropa. Saat itu tahun 1840. Revolusi ini ditandai dengan pemakaian bahan bakar fosil. Terutama konsumsi bahan bakar batubara. Konsumsi ini ternyata memicu gas rumah kaca di atmosfer. Akibatnya temperatur udara bumi meningkat secara global. Baru kemudian orang bengak-bengok, bahan bakar model ini tak bisa diteruskan.
_________________
Fenomena ini jelas menakutkan. Karena pemanasan global akan terus mempengaruhi iklim dunia. Perubahan iklim ini tak hanya akan merupakan ancaman lingkungan hidup, tetapi juga aspek sosial, ekonomi, dan keamanan negara. Secara mikro maupun makro.
Sebab itu, para pengambil keputusan dan pihak-pihak yang berwenang dimana pun berada, diketahui melakukan banyak kajian perubahan iklim yang mumpuni agar dapat digunakan untuk rekomendasi rencana pembangunan berkelanjutan.
Sebuah forum G20 di Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, pernah bersidang. Lalu mengatakan, Indonesia dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen di tahun 2020. Wow… benarkah?
Kalau benar, pernyataan dalam sidang itu tentu menjadi kabar yang menggembirakan. Tentu juga, harus segera disokong. Nah, Jawa Timur punya daya tawar soal itu. Provinsi ini memiliki Taman Hutan Raya R. Soerjo. Harusnya dengan kepemilikan ini Jawa Timur bisa meresponnya lebih dahulu.
Taman Hutan Raya ini yang membentang di empat kabupaten ini – mulai dari Malang, Mojokerto, Pasuran dan Jombang – jika dipersiapkan matang, potensinya akan cukup mampu menjadi pilar penyerap dan penyimpanan karbon yang luar biasa itu.
Tahura R. Soerjo dengan kerapatan dan keanekaragaman jenis dan umur vegetasi yang tinggi sangat berpotensi menyerap dan penyimpan karbon dalam jangka waktu lama. Sebagai buktinya, setidaknya terdapat Sembilan macam tutupan lahan yang ada di Tahura yaitu hutan campur klas rapat, hutan campur klas jarang, hutan campur dominan pohon kukrup, hutan campur dominan pohon tutup, hutan campur dominan bambu, hutan cemara gunung, hutan pinus, tanaman semusim (sayur) dan rumput-rumputan (bekas terbakar), dan belukar.
Luasan hutan campur di Tahura adalah 22.680 ha di tahun 1972, dan berkurang sebesar 2092 ha pada tahun 2004 dan 5854 ha pada tahun 2010. Di lain pihak, luasan lahan tanaman semusim meningkat dari 13 ha di tahun 1972 menjadi 488 ha di tahun 2004, dan terus meningkat menjadi 578 ha di tahun 2010.
Demikian juga luas lahan belukar dan lahan hutan terganggu meningkat dari 2.178 ha dan 457 ha tahun 1972 menjadi 3683 ha dan 900 ha di tahun 2004. Pada tahun 2010 kedua jenis penggunaan lahan tersebut terus meningkat menjadi 6969 ha dan 1750 ha.
Pada hutan alam dengan kerapatan jarang terdapat 1240 pohon/ha, hutan alam klas ‘rapat’ terdapat 1171 pohon/ha, hutan alam dominan tutup terdapat 950 pohon/ha. Kerapatan populasi terendah terdapat pada hutan alam cemara gunung dan hutan dominan kukrup sebesar 668 pohon/ha dan 552 pohon/ha.
Hutan alam dominan tutup merupakan plot yang mewakili kondisi hutan yang telah terganggu dan dalam kondisi terbuka. Hutan alam campur klas jarang’memiliki jumlah spesies tertinggi (23 spesies) dibandingkan dengan tutupan lahan yang lain.
Kawasan Tahura juga didominasi oleh beberapa spesies pohon seperti Kukrup (Engelhardia spicata), Tutup (Macaranga tanarius), Pasang (Lithocarpus sundaicus), Trete (Microcos tomentosa), dan Kebek (Ficus padana) yang dapat dijumpai pada hampir semua plot pengukuran kecuali pada hutan alam cemara gunung.
Sedang pada hutan alam campur klas rapat diperoleh basal area (luas bidang dasar) tertinggi yaitu sekitar 51 m2 ha-1, hutan alam dominan kukrup sekitar 30 m2 ha-1. Basal area pada tutupan lahan hutan alam campur klas ‘jarang’, hutan alam cemara gunung, dan hutan alam dominan tutup berturut-turut sekitar 26 m2 ha-1, 22 m2 ha-1, dan 18 m2 ha-1.
Hutan alam campur klas rapat memiliki nilai basal area yang paling tinggi walaupun kerapatan populasinya hanya 1171 pohon/ha, karena banyak terdapat pohon berdiameter besar antara 60 – 150 cm.
Pada hutan alam campur klas rapat dan tertutup diperoleh cadangan karbon sebesar 389 Mg ha-1, sedangkan pada hutan klas jarang dan terbuka hanya diperoleh 229 Mg ha-1. Hutan alam dominan kukrup dan hutan alam cemara gunung diperoleh cadangan karbon sekitar 247 Mg ha-1 dan 231 Mg ha-1. Hutan alam yang sudah terdegradasi yang umumnya didominasi pohon tutup, diperoleh cadangan C terendah hanya sekitar 159 Mg ha-1.
Proporsi kontribusi karbon dari bagian atas permukaan tanah (bagian hidup dan bagian mati) dan bagian dalam tanah (akar tanaman dan tanah) adalah 2 : 3. Kondisi tanah di kawasan Tahura R. Soerjo sangat subur dengan total C rata-rata 9.6% pada lapisan tanah 0-10cm, 7.6% pada 10-20 cm, dan 4.8% pada lapisan tanah 20-30 cm.
Sementara itu, degradasi hutan alam di kawasan Tahura R. Soerjo menyebabkan kehilangan karbon melalui emisi rata-rata sekitar 122 Mg C ha-1 atau 449 Mg CO2 ha-1. Pada hutan-hutan yang didominasi pohon ‘tutup’, kehilangan karbon menjadi lebih besar 177 Mg C ha-1 atau telah terjadi emisi sebesar 649 Mg CO2 ha-1.
Selama 32 tahun pada periode 1972-2004 faktor emisi karbon di Tahura sekitar 0.54 ton ha-1 th-1, sedang untuk 6 tahun terakhir pada periode 2004-2010 terjadi peningkatan faktor emisi karbon menjadi 5.18 ton ha-1 th-1, terutama dikarenakan adanya penurunan luasan hutan campur dan peningkatan luasan hutan terganggu, semak belukar akibat adanya kebakaran hutan, dan peningkatan luasan lahan tanaman semusim.
Namun, serapan dan cadangan karbon di kawasan Tahura R.Soerjo masih bisa ditingkatkan meski hanya dalam jumlah kecil. Itu bisa dilakukan melalui penanaman kembali berbagai jenis pohon asli jenis kayu berat seperti pohon pasang, kukrup, cembirit, sapen dan gempur di lokasi terbuka yang pernah terbakar yang sekarang ditumbuhi rumput-rumputan.
Pelibatan masyarakat di kawasan penyangga hutan dalam penghutanan kembali di daerah-daerah yang pernah terbakar perlu dilakukan. Cadangan karbon pada lahan-lahan Pertanian baik berbasis pepohonan atau tidak di luar kawasan Tahura perlu diperhatikan lebih serius. Bila tidak, kebocoran karbon akan terjadi di Tahura sekitarnya. Sedang peningkatan jumlah pohon dan pengayaan keanekaragaman vegetasi, serta konservasi tanah dan air baik di dalam maupun diluar kawasan sangat perlu dilakukan. idi/berbagai sumber