Tahun 2018: Tantangan Bagi Jurnalisme
Tahun 2018: Tantangan Bagi Jurnalisme
oleh: Yosep Adi Prasetyo
Masyarakat pers internasional memuji kebebasan pers di Indonesia. Dalam berbagai pertemuan internasional Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers dipuji sebagai salah satu undang-undang yang mumpuni dan menghormati prinsip-prinsip kebebasan pers yang berlaku secara universal.
Kemerdekaan pers (press freedom) merupakan satu sisi pada keping yang sama dengan kebebasan berekspresi. Kemerdekaan pers diakui merupakan kendaraan yang memastikan hubungan antara kebebasan berekspresi dan demokrasi. Kebebasan pers diperlukan untuk demokrasi, keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pengertian kemerdekaan pers itu mencakup dua hal. Pertama adalah struktur (freedom from) yaitu kemerdekaan pers yang dipahami sebagai kondisi yang diterima oleh media sebagai hasil dari struktur tertentu. Negara disebut bebas apabila tidak ada sensor, bebas dari tekanan pada jurnalis, bisa independen di tengah pengaruh lingkungan ekonomi termasuk kepimilikan, tak ada aturan hukum yang mengekang kemerdekaan pers, bebas dari tekanan sosial dan politik. Yang ke dua adalah performance (freedom to) yaitu bahwa kebebasan pers juga diukur dari bagaimana cara pers menggunakan kemerdekaan tersebut. Misalnya apakah liputan media telah jujur dan adil (fair), mengungkapkan fakta yang sebenarnya, membela kepentingan publik, dan sebagainya.
Pasca-Reformasi 1998 dan terbitnya UU 40/1999 tentang Pers bermunculan berbagai organisasi wartawan baru. Undang-Undang mempersilakan kepada setiap wartawan untuk memilih bergabung dengan organisasi wartawan yang telah ada ataupun membentuk organisasi wartawan baru.
Data media di Indonesia saat ini diperkirakan ada sekitar 2.000 media media cetak. Namun dari jumlah tersebut pada 2014 hanya 567 media cetak yang memenuhi syarat disebut sebagai media profesional dan pada 2015 angka ini menyusut menjadi hanya 321 media cetak. Sedangkan media online/siber diperkirakan mencapai angka 43.300, tapi yang tercatat sebagai media profesional yang lolos syarat pendataan pada 2014 hanya hanya berjumlah 211 media online saja. Angka ini menyusut menjadi hanya 168 media online saja pada 2015. Selain itu hingga akhir 2014 tercatat ada 1.166 media radio dan 394 media televisi. Pada 2015 media radio mebgalami penyusutan menjadi 674 media radio sedangkan televisi bertambah menjadi 523 media televisi.
Pertumbuhan media yang marak mengakibatkan terjadinya perekrutan wartawan dalam jumlah besar dari berbagai latar belakang pendidikan akademis. Perekrutan ini tak diikuti dengan tersedianya sumberdaya wartawan yang siap pakai. Kebanyakan dari para wartawan baru ini tak pernah mengikuti pendidikan jurnalistik. Banyak di antara mereka yang lebih memilih bekerja dengan jalan pintas yaitu tak turun ke lapangan, tapi cukup menggunakan bahan-bahan dari publikasi media lain. Cara lain adalah dengan menggunakan sumber media sosial atau pun cara kloning.
Pada menjelang dan pasca Pilpres 2014 tayangan media TV, termasuk pemberitaannya, sepertinya terbelah menjadi 2 kekuatan yaitu mendukung pemerintah tanpa reserve dan lainnya menjadi oposisi yang super kritis. TV tersisa lainnya adalah tetap konsisten memilih gosip, infotainment, opera sabun India/Turki, dangdut, hantu sebagai pilihan utama untuk meraup rating tinggi.
Keberpihakan media akibat polarisasi politik terus berlanjut pada saat Pilkada 2018 dan berlanjut dengan Pemilu 2019. Pilkada 2018 akan meliputi pelilihan kepala daerah di 171 daerah (17 propinsi, 39 kota, 115 kabupaten). Pers diuji apakan bisa menjalan fungsinya secara benar atau berselingkuh dengan kepentingan poitik
Sejumlah kasus penyerangan wartawan pada Pilkada 2017 lalu menunjukkan bahwa ada masyarakat yang menilai beberapa media kehilangan netralitas dalam liputannya. Meski ini sebetulnya juga mengundang perdebatan karena massa yang melakukan penyerangan lebih diakibatkan karena media sebetulnya telah bersikap netral dan independen, hanya saja tak mewakili aspirasi atau pendapat kelompok yang melakukan penyerangan.
Media pers kini memasuki titika fase transisi akibat kemajuan teknologi digital. Media cetak banyak yang tak bisa terbit lagi karena kesulitan pendanaan dan merosotnya oplah penjualan. Para pemimpin dan pejabat tak lagi bicara dengan para pemimpin redaksi. Mereka memilih langsung bicara dengan publik melalui media sosial. Media dan wartawan justri sibuk membuat ulasan tentang vlog para pejabat yang diunggah di media sosial. Pers sepertinya mengalami kegamangan dan kehilangan peran. Beberapa media justru mengangkat topik perbincangan netizen di media sosial sebagai bahan liputan atau acara di televisi.
Kalau kita lihat, televisi juga menghadapi kegagapan menyongsong era dgitalisasi yang bakal kita masuki saar RUU Penyiaran disahkan menjadi UU nanti. Habit pemirsa media penyiaran dan pembaca media kita mengalami pergeseran. Generasi Y dan Generasi Z yang merupakan generasi milenia tak lagi membaca koran dan majalah, juga tak lagi menonton media TV. Mereka sepenuhnya mengikuti perkembangan informasi dan menikmati hiburan dengan mengaksesi ponsel dan menggunakan media sosial. Ada sejumlah media mencoba merengkuh mereka, tentu saja ini baru setengah betul, karena para pemegang perputaran uang dan pengambil keputusan penting masih berada di tangan penghujung Generasi Baby Boomers (yang lahir 1946-1964) dan Generasi X (yang lahir 1965-1976).
Kalau kita melihat dari sisi iklan, ledakan media siber yang terjadi ternyata asimetris dengan penyerapan kue iklan nasional 20% masih mengalir ke media televisi, 8,33% ke media cetak. Bagaimana dengan media berbasih internet? Memang 51,5 % kue iklan mengalir ke media internet, tapi hanya sedikit yang masuk ke media-media siber, karena sebagaian besar justru masuk ke penyedia jasa internet seperti Google, Youtube, dan Facebook. Mengapa karena sebagian besar isi media siber di Indonesia belum cukup dipercaya poblik.
Tugas utama jurnalis adalah menyampaikan kebenaran. Kebenaran yang disampaikan oleh kelompok profesi ini kini dicemari oleh maraknya berita-berita hoax. Fakta kebenaran yang diungkap media arus utama tertutup oleh berbagai berita hoax.
Hampir dua setengah tahun terakhir ini di Indonesia bermunculan berita hoax. Barita hoax ini bukan semata memuat kobohongan, tapi juga menebar kebencian, prasangka SARA, fitnah, dan juga ketidakpercayaan kepada badan-badan publik. Pada saat menjelang Pilkada serantek 2017 fenomena ini kian menguat.
Ada banyak berita hoax yang diproduksi oleh situs-situs yang mengaku sebagai situs berita tersebut banyak dikutip serta disebarluaskan melalui berbagai media sosial. Masyarakat sulit untuk membedakan mana berita yang benar dan mana berita hoax.
Yang rawan adalah tumbuhnya semacam simbiosis mutualistis dimana ada banyak wartawan menggunakan sumber media sosial untuk mendapatkan ide dan mengembangkan berita, sedangkan media sosial menindaklanjuti berita-berita media yang sebelumnya bersumber dari info di media sosial untuk disebarluaskan. Dengan demikian munculnya efek viral yang luas dan menimbulkan pro-kontra sebuah masalah yang sebetulnya bersumber dari berita hoax yang tak jelas ujung-pangkalnya.
Berita hoax yang belakangan muncul ini telah mencapai taraf yang cukup menguatirkan. Terutama karena berita hoax yang beredar telah bercampur dengan ujaran kebencian, prasangka suku-agama-ras-antargolongan (SARA), paham radikalisme, dan ajakan melakukan aksi kekerasan.
Tentu saja hal ini tak bisa kita biarkan terus terjadi karena yang paling dirugikan adalah hak publik atas informasi yang benar. Otoritas kebenaran faktual harus dikembalikan kepada media arus utama yang terverifikasi di Dewan Pers. Nilai-nilai luhur profesi jurnalis harus dikembalikan kepada wartawan yang memiliki kompetensi dan mengikatkan diri pada nilai-nilai dan etik profesi.
Pers nasional adalah merupakan wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang professional. Dalam menjalankan profesi, wartawan Indonesia bekerja berlandaskan moral dan etika profesi yaitu Kode Etik Jurnalistik.
Selama ini kemerdekaan pers di Indonesia selalu dinilai secara dikotomis dan sangat umum – entah dianggap sudah baik atau dianggap sudah kebablasan. Dari indikator yang berhasil dikumpulkan, tampak kemerdekaan pers cukup baik. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya campur tangan negara dan pelembagaan akses informasi seperti kebebasan berserikat, kebebasan dari kriminalisasi dan intimidasi, akses atas informasi publik dan keragaman kepemilikan.
Kemerdekaan pers menghadapi bayang-bayani persoalan kemandirian perusahaan pers dari kepentingan kuat, intervensi pemilik bisnis pers terhadap rapat redakasi, persoalan yang menyangkut rule of law dan tata kelola perusahaan termasuk tingkat kesejahteraan wartawan yang rendah.
Hal lain menunjukkan dalam praktek pers di Indonesia ternyata masih menoleransi wartawan untuk menerima suap atau amplop. Dari sisi etika pers juga belum cukup baik. Hal ini menjadikan pemberitaan berpotensi mengancam profesionalism wartawan. Hal ini masih ditambah dengan afiliasi media dengan partai politik atau calon kandidat yang memperburuk profesionalism media. Hal ini ditunukkan dengan meningkatnya pengaduan ke Dewan Peras terkait soal pelanggaran etik akurasi dan keberimbangan, dimana media digunakan untuk menyerang kandidat lain atau mendukung kandidat tertentu
Bila dari sisi campur tangan negara kemerdekaan pers di Indonesia sangat baik, namun tidak demikian dari sisi intervensi. Independensi redaksi merupakan salah satu persoalan yang paling dirasakan. Tekanan tekanan dari pemilik kepada redaksi seringkali mengakibatkan sulitnya menghasilkan keragaman dalam berita. Pemimpin redaksi kerap tidak bisa menghindari tekanan dari pemilik media terutama karena kepentingan politik. Ada anggota redaksi di media yang tepaksa dipecat karena tidak mengikuti keinginan pemilik media.
Secara umum perusahaan media di daerah masih memiliki ketergantungan yang tinggi pada sumber dana dari anggaran pemerintah daerah dan bentuk-bentuk kerjasama yang saling-tergantung cukup membuat media atau perusahaan media kurang independen. Meski tak tertulis dan terang-terangan, kesadaran pengelola media di level pengambil keputusan bisnis untuk menjaga hubungan baik dengan pemberi dana, disadari bersama. Selain itu, tingkat kesejahteraan wartawan yang rendah menjadi tantangan bagi dunia jurnalistik. Di sisi lain toleransi wartawan terhadap suap/ampop masih tinggi.
Pers belum sepenuhnya mampu menyuarakan kaum yang tak bisa bersuara. Tidak semua kelompok masyarakat memiliki akses pada media untuk didengar suaranya dan mendapat informasi dengan akurat. Masalah perempuan, miskin kota, dan penyandang disabilitas adalah sebagian dari kelompok masyarakat yang suaranya sering diabaikan oleh pers. Berbagai pekara yang dihadapi perempuan cenderung memberi stigma pada kaum perempuan. Berbagai isu krusial seperti intoleransi, kekerasan terhadap perempuan dan anak, dikriminasi terhadap masyarakat adat yang perlu diketahui oleh publik tidak diangkat. Kalaupun diangkat tidak semua perspektif ditemukan dalam media-media mainstream.
Lemahnya keragaman dalam perspektif pemberitaan media terjadi karena sejumlah hal. Antara lain karena wartawan kurang menggali informasi dan mengangkat berita secara berimbang, kebijakan dari redaksi itu sendiri yang perspektifnya pun tidak plural, pengetahuan dan sensitifitas wartawan terhadap korban yang masih terbatas.
Pada kesempatan ini saya, selaku Ketua Dewan Pers, mengingatkan kembali bahwa pers dan wartawan Indonesia lagir sebagai bagian dari perjuangan membentuk nation-state Indonesia. Platform media mungkin akan mengalami perubahan, tapi jurnalisme akan terus eksis. Tugas kita, para wartawan dan media, saat ini adalah merawat kebangsaan kita, termasuk dengan menyampaikan kritik dan pandangan-pandangan pers yang independen.***
*) Yosep Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers
Advertisement