Tahu Campur Pikul, Tapi Langganan para Pejabat
Umumnya, Tahu Campur, makanan Khas Lamongan itu, namun begitu merata di Surabaya, memakai gerobak dorong. Lalu, dibarengi teriakan melengking, Purrrr... Purrr... sebagai penanda bahwa ada tahu campur yang lewat.
Teriakan itu khas sekali dan masing-masing pendorong gerobak tahu campur tahu belaka bahwasannya gaya teriak memang perlu berbeda. Pembeda itulah yang memungkinkan mereka bertemu dengan pelanggannya. Atau juga ketemu dengan pembeli anyar yang coba menjajal si tahu campur.
Kini, banyak tahu yang sudah tak menderong gerobak lagi. Mereka lebih suka mangkal. Mereka lebih suka mengontrak tempat berjualan. Tidak lagi capek, juga tidak perlu berteriak-teriak memanggil dan berebut pelanggan.
Meski mereka mangkal, meski mengontrak tempat, biasanya gerobak dorongnya masih terpakai untuk mendisplay dagangan. Entah kenapa begitu. Boleh jadi karena pertimbangan artistik karena tahu campur itu afdolnya pakai gerobak, boleh jadi si gerobak memiliki tuah rejeki sehingga tetap harus dibawa walau perannya hanya diam seperti patung.
Adalah Musdar, 68 tahun, penjual tahu campur yang tidak mengikuti jaman kekinian itu. Tidak mangkal, tidak mengontrak tempat untuk jualan, juga tidak mendorong gerobak tahu campur. Lantas? Dia, salah satu dari sedikit, penjual tahu campur yang setia berjualan makanan tradisional ini dengan dipikul. Diewar-ewer kesana kemari mengikuti naluri hingga dagangan habis.
Musdar ini orangnya kecil saja. Sama sekali tidak kekar. Tidak pula berotot.Tapi dia mampu memikul dagangannya hingga berkilo-kilo meter sejak tahun 1975 lalu. Dalam pikulan itu ada kuwali, aneka kothak sayur dan tahu. Ada piring. Ada tiga blek kerupuk. Ada juga tabung LPG melon dalam pikulan. Berapa berat beban itu? Entahlah, sepertinya lebih berat ketimbang menghendong istri sendiri ketika masih langsing dulu.
Dia, Musdar, warga asli Kabupaten Lamongan. Desanya Padingan. Kecamatannya Ploso. Kalau dari Surabaya arahnya menjku Babat. Naik bis 3 ribu rupiah turun sebelum kota, lalu sambung ojek ke Padingan dengan tarif 12 ribu sekali jalan. Karena harus menghidupi banyak kepala maka hanya sesekali saja dia pulang dalam sebulan. Kadang, kalau ada butuh, ya dua mingg dia pulang desa.
Kenapa tak pakai gerobak saja? Jawabnya taktis, "Rumah kontrakan saya di Pandegiling, Surabaya itu kecil saja. Gangnya lho sempit, gerobak terlalu besar dan susah dibawa masuk. Enakan begini saja, pakai pikulan dan bisa dilepas-lepas kalau pas tidak berjualan. Lagi pula saya lebih suka memikul daripada mendorong."
Meski dengan pikulan, tidak lincah seperti kalau pakai gerobak dorong, toh pelanggannya juga bejibun. Malah beberapa di antaranya ada Bupati, Wakapolda, bahkan diplomat. Wow... keren. Pelanggannya itu didapat antara lain karena rute yang dilewatinya. Pikulannya yang kadang terseok dan seperti siput karena beban yang berat itu selalu melewati depan rumah mereka.
Kata Musdar, pelanggan-pelanggan itu muncul dengan sendirinya. Padahal dia tak pernah berteriak parrr purrr parrr purrr... Dia hanya perlu berjalan saja. Berhenti lama-lama di depan rumah-rumah besar itu. Biasanya, mulanya, pembelinya adalah para penjaga rumahnya. Lalu lama kelamaan si empunya rumah.
"Pak Masfuk misalnya, yang kebetulan punya rumah di Jalan Wahidin Surabaya, Bupati Lamongan dua periode, mula-mula yang beli ya para penjaga rumah. Lama-lama keluarganya pada jadi langganan. Malah kalau beli orang seantero Jalan Wahidin acapkali diundang untuk makan tahu campur pikulan ini," kata Musdar bangga.
Tahu campur pikulan Musdar boleh jadi memang langka. Selain tak pernah teriak-teriak saat keliling menjajakan dagangan dia juga tak pernah membawa lampu penerang. Jadi kalau meracik tahu campur dia hanya mengandalkan lampu penerang jalan. Kalau tidak ada lampu penerang jalan ya gelap-gelapan. Pakai filing katanya. Kendati begitu, ia selalu tepat mengetahui berapa jumlah daging yang masuk bergulir dalam piring.
Hapal betul Musdar dengan rutenya. Selepas magrib dia memikul dagangannya keluar Jalan Pandegiling Surabaya lalu melintas ke Jalan Thamrin. Ngetem sebentar lalu menyeberang jalan Soetomo, kemudian Jalan Wahidin. Berputar sebentar di Jalan Darmo lantas menyeberang ke Kampung Dinoyo lalu balik lagi. Habis gak habis jam satu dini hari dagangan dibawa pulang. Biasanya, kalau beruntung, di jam itu, uang 500 ribu rupiah bisa dibawa pulang ke kandang. (*)
Advertisement