Tahlilan yang Memberatkan, Ini Argumentasi Ulama Pesantren
Suatu ketika, Amien Rais menganjurkan para anggota Muhammadiyah untuk menghidupkan lagi tahlilan. Ia mengingatkan, karena tahlilan sudah dilupakan warganya. Wallahu a'lam.
Sebagai bagian dari tradisi masyarakat di Nusantara, tahlilan telah akrab di hati umat Islam secara luas. Apalagi, kalangan pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU) menjadikan tahlilan bukan saja aktivitas ritul melainkan juga aktivitas sosial untuk merekatkan hubungan di antara masyarakat.
Tapi, memang ada yang menggugatnya. Ada yang mempersoalkannya. Ada yang menyebutnya bid'ah dan seterusnya.
Guna memahami hal itu, berikut penjelasan Kiai Muhammad Ma'ruf Khozin, Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur:
Tahlilan sudah membudaya dan memiliki penerapan yang berbeda-beda di masing-masing daerah. Tidak bisa digeneralisir salah semua hanya berdasarkan satu kejadian, lalu disalahkan NU-nya.
Bukan Momok Umat Islam
Di tempat saya lahir di Malang dan tempat saya menikah di Surabaya, Tahlilan bukan momok yang menakutkan. Karena yang menonjol adalah saling bantu, tetangga dan kerabat membawa bantuan baik bahan makanan, minuman hingga tenaga, mulai dari memasang kursi, menyapa tamu, memasak di dapur dan seterusnya. Pihak tuan rumah yang sedang berbela sungkawa sama sekali tidak direpotkan apalagi memikirkan yang berat-berat.
Tradisi semacam ini telah sampai ke ulama di Makah dan beliau, Syekh Muhammad bin Ali Husain Al-Maliki, membenarkan dengan mencatumkan beberapa sumber riwayat:
اِعْلَمْ اَنَّ الْجَاوِيِّيْنَ غَالِبًا اِذَا مَاتَ اَحَدُهُمْ جَاؤُوْا اِلَى اَهْلِهِ بِنَحْوِ اْلاَرُزِّ نَيِّئًا ثُمَّ طَبَّخُوْهُ بَعْدَ التَّمْلِيْكِ وَقَدَّمُوْهُ ِلاَهْلِهِ وَلِلْحَاضِرِيْنَ عَمَلاً بِخَبَرِ "اصْنَعُوْا ِلاَلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا" وَطَمَعًا فِي ثَوَابِ مَا فِي السُّؤَالِ بَلْ وَرَجَاءَ ثَوَابِ اْلاِطْعَامِ لِلْمَيِّتِ عَلَى اَنَّ اْلعَلاَّمَةَ الشَّرْقَاوِيَ قَالَ فِي شَرْحِ تَجْرِيْدِ الْبُخَارِي مَا نَصُّهُ وَالصَّحِيْحُ اَنَّ سُؤَالَ الْقَبْرِ مَرَّةٌ وَاحِدَةٌ وَقِيْلَ يُفْتَنُ الْمُؤْمِنُ سَبْعًا وَالْكَافِرُ اَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا وَمِنْ ثَمَّ كَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ اَنْ يُطْعَمَ عَنِ الْمُؤْمِنِ سَبْعَةَ اَيَّامٍ مِنْ دَفْنِهِ اهــ بِحُرُوْفِهِ (بلوغ الامنية بفتاوى النوازل العصرية مع انارة الدجى شرح نظم تنوير الحجا 215-219)
"Ketahuilah, pada umumnya orang-orang Jawa jika diantara mereka ada yang meninggal, maka mereka datang pada keluarganya dengan membawa beras mentah, kemudian memasaknya setelah proses serah terima, dan dihidangkan untuk keluarga dan para pelayat, untuk mengamalkan hadis: 'Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far' dan untuk mengharap pahala sebagaimana dalam pertanyaan (pahala tahlil untuk mayit), bahkan pahala sedekah untuk mayit. Hal ini berdasarkan pendapat Syaikh al-Syarqawi dalam syarah kitab Tajrid al-Bukhari yang berbunyi: Pendapat yang sahih bahwa pertanyaan dalam kubur hanya satu kali. Ada pendapat lain bahwa orang mukmin mendapat ujian di kuburnya selama 7 hari dan orang kafir selama 40 hari tiap pagi. Oleh karenanya para ulama terdahulu menganjurkan memberi makan untuk orang mukmin selama 7 hari setelah pemakaman" (Bulugh al-Amniyah dalam kitab Inarat al-Duja 215-219)
Memang pernah saya jumpai di sebuah daerah yang mengalami pergeseran tradisi dan budaya. Tidak lagi mendahulukan untuk mendoakan para almarhum dengan sedekah sesuai kemampuan atas pemberian tetangga dan kerabat, namun mengarah pada semacam keterpaksaan.
Di wilayah ini saya sepakat, budaya dan tradisi tahlilan bukan sebuah kewajiban. Jika tidak melakukan pun tidak terkena dampak hukum apa-apa. Atau sampai dikeluarkan dari NU? tidak sama sekali. NU tidak sekecil anggapan kumpulan jemaah Yasin Tahlil. Tapi kalau sampai Tahlilan dibilang bidah atau dituduh tidak ada tuntunannya, ini yang akan saya hadapi karena ketidaktahuan metode istimbath dalam hukum Islam.
Ketika saya berkali-kali memberi pelatihan keAswajaan terkadang berjumpa dengan pertanyaan jika sampai berhutang? Saya menyampaikan bahwa sedekah adalah sesuai kadar kemampuan. Jika tidak mampu jangan dipaksa, apalagi sampai minjam sana minjam sini.
Namun giliran Ust Idrus Ramli menjawab: "Kadang kita dalam bersedekah belum mencapai pada tingkat kesulitan dalam hadis:
ﻋﻦ ﺃﺑﻰ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ: ﻗﻴﻞ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺃﻯ اﻟﺼﺪﻗﺔ ﺃﻓﻀﻞ؟ ﻗﺎﻝ: " ﺟﻬﺪ اﻟﻤﻘﻞ ".
Dari Abi Hurairah bahwa Nabi ditanya sedekah apa yang paling utama? Nabi menjawab: "Kesungguh-sungguhan orang yang sedang kesulitan" (HR Abu Dawud dan Al-Hakim)
Boleh jadi orang yang dalam keadaan tidak mampu tapi ingin sekali bersedekah untuk keluarga yang wafat telah menjalankan kandungan hadis tersebut, kata beliau.
Wa akhiran. Tahlilan dan semua rangkaiannya sama seperti kendaraan bermotor. Kalau ada kecelakaan satu motor apakah lantas semua motor dilarang dan harus dihentikan? Justru insiden dan kejadian tersebut yang diarahkan ke cara yang benar. Bukan memukul rata. Kecuali memang hatinya sudah rata dengan kebencian.
Advertisement