Tahlilan Virtual
Dua pekan terakhir, makin banyak undangan Yasinan dan Tahlilan virtual. Melalui platform Zoom. Media pertemuan secara daring. Dengan peserta sampai ratusan.
Terakhir undangan Yasinan dan Tahlilan untuk Bambang Purwoko. Dosen Fisipol UGM yang baru saja meninggal karena Covid-19, beberapa hari lalu.
Yasinan adalah acara pembacaan Surat Yasin bersama. Sedangkan Tahlilan merupakan acara doa bersama dengan membaca kalimat-kalimat tahlil.
Biasanya, kedua agenda itu diadakan untuk mengirim doa kepada orang yang sudah meninggal dunia. Mendoakan agar mendapat ampunan dari Allah dan mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya.
Ini adalah acara keagamaan yang telah menjadi tradisi. Terutama di kalangan santri. Terutama lagi di kalangan warga Nahdliyin. Yang kebanyakan tinggal di pedesaan.
Biasanya, Yasinan dan Tahlilan untuk orang meninggal diselenggarakan selama 7 hari. Juga pada 40 hari, 100 hari, sampai 1000 hari. Acara tahunan untuk peringatan kematian disebut Haul.
Di desa, Yasinan dan Tahlilan bukan lagi sekadar acara keagamaan. Ia sudah menjadi agenda kultural. Yang menyatukan warga sekitar yang masih kental komunalitasnya.
Ia menjadi lembaga untuk menunjukkan empati bersama terhadap mereka yang berduka. Karena itu, seringkali tak hanya diikuti santri. Tapi juga warga sekitar, termasuk yang berlainan keyakinan.
Kini, kegiatan keagamaan terkait orang meninggal dunia ini tak hanya bertransformasi menjadi kegiatan kultural. Tapi berlanjut transformasinya dalam bentuk virtual. Tahlilan tatap layar. Bukan tatap muka.
Yasinan dan Tahlilan untuk almarhum Bambang Purwoko, misalnya. Ia tak hanya diikuti warga di sekitar almarhum. Tapi dari semua kawan, handai taulan, dan para mahasiswanya yang tersebar di berbagai daerah. Bahkan di negara lain.
Termasuk yang punya keyakinan lain, mereka mengikuti secara khusuk Yasinan dan Tahlilan virtual. Dari rumah dan tempat tinggal masing-masing. Terhubung melalui teknologi digital.
Selain pembacaan Yasin dan Tahlil yang dipimpin KH Malik Madani, acara itu juga diisi testimoni. Dari pelbagai kalangan. Juga ada sambutan keluarga dan institusi tempat almarhum Bambang bekerja.
Yasinan dan tahlilan tidak hanya digelar kalangan kampus. Juga kalangan pondok pesantren. Yang baru kehilangan guru maupun pimpinannya. Menjalankan tradisi keagamaan dengan teknologi baru.
Pandemi yang merambah ke mana-mana mungkin hanya membatasi komunitas berkumpul secara fisik. Tapi mereka tetap terhubung dengan revolusi teknologi informasi yang makin massif.
Seperti halnya revolusi industri di masa lalu, tidak selalu menghilangkan tradisi. Karena pada dasarnya tak pernah ada perubahan yang mencerabut semua akar paradaban maupun kebudayaan.
Bahkan, tradisi santri untuk mendoakan orang yang sudah meninggal ini malah mendapatkan momentum menembus batas-batas kultural. Tanpa sekat aliran maupun keyakinan. Merambah ke mana-mana melalui revolusi digital.
Berbagai tradisi berbasis keagamaan bisa tetap lestari dalam perubahan. Hanya berubah format dan medianya. Perubahan yang dipercepat melalui revolusi teknologi yang bersengkarut dengan pandemi.
Teknologi digital tak hanya mengubah pelaksanaan tradisi keagamaan. Tapi juga perilaku media dan pemberitaan. Beralihnya lembaga penyebar informasi dan bergesernya nilai baru tentang berita.
Berita di masa pra digital adalah sesuatu yang suci. Yang dikontrol oleh nilai-nilai etik. Yang dijalankan lembaga pers yang terikat kepada layak berita dan layak muat. Tidak semua berita menarik layak muat karena ikatan etik.
Wabilkhusus media televisi. Ada tanggungjawab publik untuk menjaga agar kebenaran informasi bisa didapatkan. Karena menggunakan frekuensi milik publik. Setidaknya untuk beberapa isu yang sedang dihadapi publik secara bersama-sama.
Ketika pers masih menjadi lembaga, akan sulit seorang tanpa kompetensi jelas menjadi narasumber berita. Hanya sekadar untuk menghasilkan kontroversi yang menghasilkan jumlah pemirsa. Seperti kasus kontroversi dr Lois Owien.
Kini media telah mengalami disrupsi. Media sebagai lembaga tergusur revolusi teknologi informasi. Dengan maraknya media sosial. Yang membuat setiap orang bisa menjadi penyampai informasi.
Personalisasi penyebar informasi menjadikan kode etik jurnalistik sebagai koridor etik media kehilangan daya cengkeramnya. Siapa pun bisa menjadi narasumber tanpa ada keterikatan etik tentang apa yang tidak dan layak muat.
Kode etik kini dipegang oleh artifisial inteligen yang dikendalikan lewat algoritma. Ini yang menyumbang keterkacauan informasi tentang pandemi Covid-19 belakangan ini. Menimbulkan kontroversi tak berkesudahan.
Apakah ini tanda-tanda akhir zaman? Yang katanya orang seperti ayak diinteri? Seperti beras dalam nampan yang diputar-putar? Tanpa arah tanpa tujuan. Tidak tahu apa yang dikerjakan.
Atau masih akan ada keseimbangan baru. Keseimbangan seperti tercipta setelah perang bharata yudha dalam cerita pewayangan. Wallahu a'lam.
Advertisement