Tagih Janji Negara Maju
Perhelatan Paris Summit 2023 berlangsung pada 21-23 Juni 2023 di Prancis. Acara ini dihadiri berbagai kepala negara dan pemerintahan dunia, Komisi Eropa, Dewan Eropa, hingga Bank Sentral Eropa.
Paris Summit 2023 dihadiri sejumlah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dari Afrika Tengah, Indonesia Arab Saudi, Armenia, Barbados, Benin, Bulgaria, Comoros, Gabon, Ghana, Ghana, Kamerun, Kenya, Rep. Kepulauan Seychelles, Kongo, Kroatia, Kuba, Mauritania, Mesir, Nigeria, Pakistan, Rep. Kepulauan Seychelles, Senegal Srilanka, Timor Leste, Togo, Tunisia, Zambia, Komisi Eropa, Dewan Eropa, Bank Sentral Eropa, dan Presiden African Union.
Sejumlah pimpinan lembaga internasional juga hadir di antaranya Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, Presiden Bank Dunia, Direktur Dana Moneter Internasional, Bank, Sekretaris Jenderal OECD, dan sejumlah lembaga lainnya.
Pertemuan Paris Summit 2023 juga dihadiri sejumlah tokoh terkemuka global dari kalangan akademisi, filantropi, maupun lembaga masyarakat sipil.
Berikut penjelasan Sri Mulyani, usai menghadiri sejumlah sesi diskusi termasuk High-Level Roundtable Discussion on Private Capital Mobilization for Climate Investments in Emerging Markets and Developing Countries (EMDCs) dalam rangkaian pertemuan Paris Summit 2023, dalam keterangan tulis, Minggu 2 Juli 2023 (Redaksi):
Dalam menghadapi perubahan iklim, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Dibutuhkan kerja sama global untuk menghadapi tantangan ini, baik dari sisi pembiayaan, teknologi, dan keahlian untuk mencapai transisi yang adil dan terjangkau bagi semua.
Saat ini banyak negara berkembang memiliki keterbatasan dalam pendanaan perubahan iklim. Pengalaman Indonesia terkait kemajuan dan tantangan implementasi program transisi energi atau Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform yang telah diluncurkan pada Presidensi G20 Indonesia tahun lalu, sebagai bentuk capaian dan pembelajaran bersama terutama untuk mendukung transformasi ekonomi. Begitu pun masih terdapat sejumlah tantangan dalam menjalankan transisi energi di Indonesia.
Beberapa tantangan transisi energi, antara lain biaya pinjaman (cost of borrowing) yang masih tinggi dan kebutuhan investasi energi yang tinggi yang melibatkan sektor publik dan swasta.
Maka itu, diperlukan dukungan sistem keuangan global termasuk bank pembangunan multilateral dalam mengatasi kesenjangan pembiayaan (financing gap) terutama untuk negara berkembang. Selain itu, langkah konkret dari negara maju sangat dibutuhkan untuk membantu pendanaan aksi iklim, termasuk melalui pemenuhan komitmen sebesar 100 miliar dolar AS per tahun yang hingga saat ini masih belum terpenuhi.
Di samping itu, diperlukan antisipasi dampak perubahan iklim dengan intensitas lebih tinggi yang berbahaya dan mengakibatkan kehilangan dan kerusakan (loss and damage) baik pada alam maupun manusia.
Berbagai upaya dan antisipasi yang dapat dilakukan, misalnya meningkatkan kapasitas bank pembangunan multilateral dan lembaga keuangan, termasuk memprioritaskan fasilitas hibah dan concessional financing lainnya.
Pemerintah Indonesia menanyakan janji negara maju untuk menyumbang 100 miliar dolar AS atau setara Rp 1.493 triliun (asumsi kurs Rp 1.4938 per dolar AS) per tahun digunakan transisi energi di Indonesia. Pencairan dana transisi energi yang berkepanjangan membuat berbagai proyek transisi energi terbengkalai.
Langkah konkret dari negara maju sangat dibutuhkan untuk membantu pendanaan aksi iklim, termasuk melalui pemenuhan komitmen sebesar 100 miliar dolar AS per tahun yang hingga saat ini masih belum terpenuhi.
Perubahan iklim tidak bisa dihadapi sendirian sehingga dibutuhkan kerja sama global. Kami menyoroti berbagai peran yang bisa dilakukan negara maju dunia, baik dari sisi pembiayaan, teknologi, dan keahlian.
Saat ini, banyak negara berkembang memiliki keterbatasan dalam pendanaan perubahan iklim. Maka itu, diperlukan dukungan sistem keuangan global, termasuk bank pembangunan multilateral dalam mengatasi kesenjangan pembiayaan (financing gap), terutama untuk negara berkembang.