Tafsir Ibnu Katsir: Allah Menyukai Orang-orang Berbuat Kebajikan
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik dan berbuat kebajikan. Mari kita perhatikan pesan dalam Al-Quran:
Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Q. S. Al-Baqarah [2] : 195)
Ustaz Keman Almaarif menyampaikan pesan Al-Quran demikian, sehingga kita memperhatikan sesuatu yang disukai Allah Ta'al.
Penjelasan Tafsir Ibnu Katsir
Sehubungan dengan firman Allah: wa anfiquu fii sabiilillaaHi walaa tulquu bi aidiikum ilat taHlukati (“Dan belanjakanlah (harta bendamu) dijalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”) Imam al-Bukhari meriwayatkan, dari Hudzaifah, katanya, “Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan masalah infak.”
Al-Laits bin Sa’ad meriwayatkan dari Yazid bin Abi Habib, dari Aslam Abi Imran, katanya, ada seseorang dari kaum muhajirin di Konstantinopel menyerang barisan musuh hingga mengoyak-ngoyak mereka, sedang bersama kami Abu Ayub al-Anshari. Ketika beberapa orang berkata, “Orang itu telah mencampakkan dirinya sendiri ke dalam kebinasaan,” Abu Ayub bertutur, “Kami lebih mengerti mengenai ayat ini. Sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan kami. Kami menjadi sahabat Rasulullah, bersama beliau kami mengalami beberapa peperangan, dan kami membela beliau. Dan ketika Islam telah tersebar unggul, kami kaum Anshar berkumpul untuk mengungkapkan suka cita. Lalu kami katakan, sesungguhnya Allah telah memuliakan kita sebagai sahabat dan pmbela Nabi sehingga Islam tersebar luas dan memiliki banyak penganut. Dan kita telah mengutamakan beliau daripada keluarga, harta kekayaan, dan anak-anak. Peperangan pun kini telah berakhir, maka sebaiknya kita kembali pulang kepada keluarga dan anak-anak kita dan menetap bersama mereka, maka turunlah ayat ini kepada kami:
wa anfiquu fii sabiilillaaHi walaa tulquu bi aidiikum ilat taHlukati (“Dan belanjakanlah (harta bendamu) dijalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”) Jadi, kebinasaan itu terletak pada tindakan kami menetap bersama keluarga dan harta kekayaan, serta meninggalkan jihad.
Hadits di atas diriwayatkan Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Hibban dalam kitab Shahih, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, semuanya bersumber dari Yazid bin Abi Habib. At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih gharib. Sedangkan menurut al-Hakim hadits ini memenuhi persyaratan al-Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.
Abu Bakar bin Iyasy meriwayatkan, dari Abu Ishaq as-Subai’i, bahwa ada seseorang mengatakan kepada al-Bara’ bin Azib, “Jika aku menyerang musuh sendirian, lalu mereka membunuhku, apakah aku telah mencampakkan diriku ke dalam kebinasaan?” Al-Bara’menjawab, “Tidak, karena Allah Ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya [yang artinya]: “Berperanglah kamu di jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajibanmu sendiri.” (QS. An-Nisaa’: 84).
Infak...Infak..Infak
Sedangkan ayat (al-Baqarah: 195) ini berkenaan dengan infak.”
Hadits di atas diriwayatkan Ibnu Mardawaih, juga al-Hakim dalam Mustadrak, dari Israil, dari Abu Ishak. Al-Hakim mengatakan, “hadits ini shahih menurut persyaratan al-Bukhari dan Muslim, meskipun keduanya tidak meriwayatkan.”
Dan at-Tirmidzi juga meiwayatkan hadits tersebut, dari al-Bara’. Kemudian al-Barra’ menuturkan riwayat ini. Dan setelah firman Allah Ta’ala: laa tukallafu illaa nafsaka (“Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajibanmu sendiri,”) la mengatakan, “Tetapi kebinasaan itu apabila seseorang melakukan perbuatan dosa, maka ia mencampakkan dirinya ke dalam kebinasaan dan tidak mau bertaubat.”
Ibnu Abi Hatim mengemukakan, bahwa Abdur Rahman al-Aswad bin Abdi Yaghuts memberitahukan, bahwa ketika kaum Muslimin mengepung Damaskus, ada seseorang dari Azad Syanu’ah tampil dan dengan cepat bertolak untuk menyambut musuh sendirian. Maka kaum muslimin pun mencelanya karena perbuatannya itu. Kemudian mereka melaporkan kejadian itu kepada Amr bin al-‘Ash. Setelah itu Amr memerintahkan kepadanya agar kembali seraya menyitir firman Allah Ta’ala: walaa tulquu bi aidiikum ilat taHlukati (“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”)
Berkata Hawn al-Bashri, “Maksud dari ayat ini ialah bakhil (kikir).” Masih mengenai firman Allah Ta’ala tersebut, Samak bin Harb meriwayatkan dari an-Nu’man bin Basyir, “Ayat ini mengenai seseorang yang melakukan perbuatan dosa, lalu ia yakin bahwa ia tidak akan diampuni, maka ia pun mencampakkan dirinya sendiri ke dalam kebinasaan. Artinya, ia semakin berbuat dosa, sehingga binasa.”
Kebinasaan adalah Adzab Allah
Oleh karena itu diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas: “Bahwa kebinasaan itu adalah adzab Allah.”
Ibnu Wahab meriwayatkan dari Abdullah bin Iyasy, dari Zaid bin Aslam mengenai firman Allah Ta’ala: wa anfiquu fii sabiilillaaHi walaa tulquu bi aidiikum ilat taHlukati (“Dan belanjakanlah (harta bendamu) dijalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”) Bahwasanya ada beberapa orang yang pergi bersama dalam delegasi yang diutus Rasulullah tanpa membawa bekal (nafkah), lalu Allah memerintahkan mereka mencari bekal (nafkah) dari apa yang telah dikaruniakan-Nya serta tidak mencampakkan diri ke dalam kebinasaan. Kebinasaan berarti seseorang mati karena lapar dan haus atau (keletihan) berjalan.
Dan Allah swt. berfirman kepada orang-orang yang berkecukupan: wa ahsinuu innallaaHa yuhibbul muhsiniin (“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah meriyukai orang-orang yang berbuat baik.”) Ayat ini mengandung perintah berinfak di jalan Allah dalam berbagai segi amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah dan dalam segi ketaatan, terutama membelanjakan dan menginfakkan harta kekayaan untuk berperang melawan musuh serta memperkuat kaum muslimin atas musuh-musuhnya. Selain itu, ayat ini juga memberitahukan bahwa meninggalkan infak bagi orang yang terbiasa dan selalu berinfak berarti kebinasaan dan kehancuran baginya. Selanjutnya Dia menyambung dengan perintah untuk berbuat baik, yang merupakan tingkatan ketaatan tertinggi, sehingga Allah swt. pun berfirman: wa ahsinuu innallaaHa yuhibbul muhsiniin (“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”)