Syu'bah Asa dan Kitab Usfuriah
Oleh: Ady Amar
Syu'bah Asa (1941-2011), adalah sastrawan dan jurnalis senior. Sejak Majalah Tempo terbit, Syu'bah Asa, terlibat bagian dari yang ikut mendirikan dan membesarkannya.
Sejak 1971, ia bersama Goenawan Mohamad, Fikri Jufri dan lainnya, adalah bagian utama dari Tempo. Sampai di tahun 1987, ia meninggalkan Tempo, konon semacam "pemberontakan" bersama puluhan jurnalis lainnya, dan lalu mendirikan majalah Editor.
Tapi, Syu'bah cuma mencukupkan bertahan setahun di Editor yang baru seumur jagung itu, entah kenapa. Setelahnya, di tahun 1988, Syu'bah bergabung di harian Pelita, sebagai Wakil Pemimpin Redaksi.
Di akhir penghujung karirnya sebagai jurnalis, Syu'bah di tahun 1997 bergabung dengan Panji Masyarakat. Panji Masyarakat versi baru, yang penampilannya cantik, tapi isi berubah total dari misi saat Buya Hamka mendirikannya. Jauh dari kesan majalah dakwah. Dan di situ, Syu'bah Asa diberikan tempat, tampaknya agar sedikit-sedikit majalah itu masih tampak nuansa Islaminya.
Syu'bah mengisi Tafsir Qur'an, yang rubriknya diberi nama "Dalam Cahaya Al-Qur'an". Tiap pekan bisa dijumpai tulisan Syu'bah. Penulisan tafsir dengan model tematik. Penekanan pada satu ayat, yang dianggap relevan dengan tema pembahasan. Lalu ayat itu dieksplor Syu'bah dengan begitu dalam dan indahnya.
Setiap ayat yang diangkat, merupakan respons atas peristiwa yang dianggapnya paling populer pada pekan saat tafsir itu ditulis.
Tafsir yang ditulisnya, jika diamati, seolah sesuai dengan semangat era reformasi. Dan memang rentang penulisannya, yang dimulai sejak 1997 hingga1999.
Saat Syu'bah di Panji Masyarakat, itu saya kerap "menyambanginya" jika ke Jakarta. Sekitar 4-5 kali bertemu dengannya. Saya berkeinginan menerbitkan "Tafsir" yang ditulisnya itu. Tapi ia katakan, bahwa sudah "dipesan" penerbit lain, bahkan sudah dipanjar katanya, sambil terkekeh.
Benar, ternyata tafsir tematiknya itu terbit, setelah ia sudah tidak lagi di Panji Masyarakat, karena majalah itu akhirnya gulung tikar.
Dalam Cahaya Al-Qur'an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, adalah judul buku tafsir tematiknya.
Syu'bah Penuh Warna
Syu'bah Asa itu sastrawan yang jadi wartawan. Banyak yang mengatakan demikian. Perjalanan Syu'bah, memang pekat dengan dunia sastra.
Syu'bah asli Pekalongan, yang di tahun 1960 kuliah di IAIN Sunan Kalijaga, fakultas Ushuluddin jurusan Filsafat, Yogyakarta. Hanya sampai sarjana muda. Dan setelah itu belajar privat kitab kuning pada seorang kyai di Lempuyangan. Juga akunya, sebagai santri kalong di PP Krapyak, Yogyakarta.
Aktif berkesenian di Teater Muslim, pimpinan Muhammad Diponegoro, dan Teater Bengkel WS Rendra, sejak 1960-1969.
Setelah itu di tahun 1971 hijrah ke Jakarta, sebagai jurnalis Tempo. Redaktur pada desk Agama dan Budaya.
Syu'bah adalah editor terbaik yang dimiliki Tempo, atau bahkan editor/penyunting terbaik, yang setidaknya itu penilaian saya.
"Di tangannya, berita yang diterima dari sumber berita biasa-biasa saja, yang harusnya, menurutnya, itu menjadi sesuatu. Maka Syu'bah menjadikan itu sesuatu dan berkelas," itu yang pernah disampaikan rekannya di Tempo, Bambang Bujono.
Di tangan Syu'bah, berita atau opini menjadi hidup. Pembaca bisa diajak menjadi terharu, atau serius, dan bahkan jenaka sekalipun.
Saat menjelang Revolusi Iran, Syu'bah yang dapat tugas ke Teheran. Melaporkan berita kedatangan Ayatullah Khomeini dari tanah pengasingannya di Prancis.
Syu'bah melaporkan hasil reportasenya dengan begitu baiknya. Kita yang membaca laporannya, seolah ikut hadir di sana, menyaksikan sendiri peristiwa itu, atau kita diajaknya seakan ikut bagian dari peristiwa itu.
Syu'bah juga menerjemahkan karya klasik Asyraful Anam, dan Qasidah Barzanji. Saya belum membaca dua buku terjemahannya itu. Masih mencari dan belum menemukan. Pastinya menarik, khas Syu'bah.
Syu'bah pernah juga bermain film, itu sekali-kalinya, dan didapuk sebagai aktor utama. Jika pernah menonton film dokumenter sejarah, "Pengkhianatan G30S PKI", akan menemukan Syu'bah dalam sosok DN Aidit.
Adalah sahabatnya berteater, Arifin C Noer, yang sebagai sutradara film itu, mengajak dengan setengah memaksanya main di film itu. Syu'bah lalu bermain menjadi Aidit. Main total penuh penjiwaan. Generasi yang lahir awal 50an, yang mengenal tampilan Aidit akan merasakan ada Aidit "merasuk" di tubuh Syu'bah.
Saya menyebut Syu'bah Asa, itu manusia penuh warna. Di tangannya semua menjadi berkelas.
Lalu, apa hubungan Syu'bah Asa dengan Kitab Usfuriah, sebagaimana judul opini ini? Baiklah.
Kitab Usfuriah
Nama kitabnya sebenarnya al-Mawa'idh al-Ushfuriyyah, karya Syekh Muhammad bin Abu Bakar al-Ushfury. Nama di belakang namanya al-Ushfury, bisa jadi dinisbatkan pada namanya agar orang mengenal dialah pengarang kitab dimaksud.
Tidak ada penjelasan tentang siapa Syekh Muhammad bin Abu Bakar itu, namanya tidak disinggung di kitab-kitab lainnya. Tampaknya Kitab al-Usfuriah, ini adalah satu-satunya karyanya.
Al-Mawa'idh (nasihat/petuah) hampir tidak pernah disebut-sebut, dan yang tersisa dan lebih populer disebut adalah Kitab Usfuriah. Dan itu bermakna "Burung Pipit".
Kitab Usfuriah biasa dikaji di pesantren-pesantren Salaf, diajarkan di tingkat madrasah. Sering juga dipakai dalam pengajian harian. Entah berapa belas penerbit yang menerbitkan Kitab Usfuriah dalam edisi Indonesia.
Kitab Usfuriah, berisi kumpulan 40 Hadis Nabi SAW yang dipilih oleh penulisnya. Ini tren penulisan di kalangan ulama-ulama Salaf. Misal, yang paling dikenal dan tentunya populer, Hadis Arba'in an-Nawawiyah (40 Hadis Imam Nawawi).
Tren dan pola penulisan 40 Hadis ini, konon, disandarkan pada Hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a, "Barangsiapa dari umatku yang menghafal 40 Hadis tentang perkara agamanya, maka Allah membangkitkannya bersama golongan fuqaha dan ulama."
Hadis ini dianggap dhaif (lemah) oleh kalangan ahli hadis. Tapi hadis ini menjadi ada, bersandar pada ijtima' ulama, yang mengatakan, bahwa hadis dhaif masih bisa dipakai sebagai landasan dalam fadhailul a'mal (keutamaan amal). Wallahu a'lam.
Dinamakan Kitab Usfuriah (Burung Pipit), itu berkenaan dengan Hadis Nomor 1, dari 40 Hadis yang dipilih penulisnya. Dan itu tentang "Anjuran Kasih Sayang kepada Makhluk".
Syahdan, saat Umar bin Khathab r.a. meninggal, ada beberapa sahabat yang berjumpa dengannya dalam mimpi, dan terjadi dialog demikian.
"Saat engkau menguburkanku, menutup liang lahat dengan gundukan tanah, lalu meninggalkanku. Datanglah dua orang gagah perkasa, sekujur tubuhku jadi gemetar. Kedua orang itu mendudukkanku dan akan bertanya. Saat itu aku mendengar suara, Tinggalkan hamba-Ku, jangan kalian menakutinya, karena Aku menyayangi dan memaafkannya. Itu karena dia telah menyayangi seekor burung di dunia, maka Aku menyayanginya di akhirat."
Abdullah bin Umar r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Orang-orang pengasih akan dikasihi Allah Sang Maha Pengasih. Kasihilah siapa pun di bumi, maka yang di langit akan mengasihimu."
Ada kisah tentang Umar r.a., berkenaan dengan itu. Saat berjalan di suatu tempat, Umar r.a. menemukan seorang anak lelaki yang di tangannya menggenggam seekor burung yang dimain-mainkannya. Melihat itu Umar r.a. menawar burung itu dan membelinya. Lalu burung itu dilepaskannya.
Dan karenanya, Umar r.a. terbebas dari pertanyaan kubur, dan tentu pula dari siksa kubur, bukan karena kedermawanannya, keadilannya, atau kezuhudannya, yang soal itu banyak kita dengar dan dikisahkan. Namun jika ditilik dari dialog dalam mimpi, itu hanya karena melepaskan seekor burung ke alam bebas. Subhanallah.
Pengantar yang Memukau
Adalah bang Amak Baldjun, dramawan dan aktor film (1942-2011), menghadiahi saya Kitab Usfuriah yang diterjemahkan dalam edisi Indonesia oleh penerbit Pustaka Firdaus. Buku itu jadi menarik, karena mendapat Kata Pengantar Syu'bah Asa.
Amak Baldjun dan Syu'bah memang berkawan dekat, juga seumuran. Dua kawan yang meninggalnya pun "memilih" tahun yang sama (2011). Suatu kebetulan yang jarang.
Mengundang Syu'bah memberi pengantar Kitab Usfuriah, yang edisi berbahasa Arabnya memang tergolong kitab tipis, adalah langkah pintar.
Syu'bah memberi pengantar yang tidak sekadar pengantar, tapi pengantar cukup panjang menawan. Menjadikan buku itu berkelas dan terasa lebih menjadi sesuatu.
Kitab Usfuriah itu jika diibaratkan bangunan rumah indah, maka pengantar Syu'bah Asa, itu bagai perabot rumah yang dipajang dan diletakkan sesuai dengan rumah itu.
Membaca pengantarnya, membuat setidaknya saya ekstase, sebelum memasuki materi 40 Hadis yang dikaji penulisnya. Syu'bah bicara tentang mengapa buku ini dinisbatkan dengan judul "Burung Pipit" (Usfuriah) dengan sentuhan teologis yang dalam.
Syu'bah mengumbar narasi-narasi segar lewat bahasa tulisnya. Mengajak kita mengarungi kisah "burung pipit" dengan indah memukau, sebelum kita memasuki materi isi buku.
Membaca pengantar Syu'bah, membuat mata tidak berkedip, kita diajak bak melayang memasuki ruang indah menawan nan berkilau... sulit diungkap dengan kata-kata. Maka, saya akhiri saja kisah tentang Syu'bah Asa dan Kitab Usfuriah , ini agar tidak dianggap lebay berlebihan... Maaf.**
*Ady Amar, penikmat dan pemerhati buku, tinggal di Surabaya.
Advertisement