Syekh Ahmad Surkati dan Sekeping Surga Bernama Indonesia: Menjejak Novel Tapak Mualim
Oleh : Dhimam Abror
Syekh Ahmad Surkati adalah mozaik penting dalam bangunan sejarah perjuangan Indonesia menuju kemerdekaan. Namun mozaik itu menjadi obscure, kabur, tak banyak orang mengenalnya.
Indonesia adalah serpihan surga yang diturunkan Allah ke muka bumi. Itulah ungkapan yang dilontarkan Rektor Al-Azhar Mesir, Syekh Mahmud Syaltut saat berkunjung ke Indonesia pada 1960-an. Ungkapan itu menunjukkan betapa mengagumkannya keindahan Indonesia. Menyebabkan mereka yang datang berkunjung akan mudah jatuh cinta pada pandangan pertama.
Jauh sebelum Syekh Syaltut datang dan jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Indonesia, sudah ada satu orang syekh lagi yang jatuh cinta kepada Indonesia. Syekh itu berkunjung ke Indonesia untuk mengajar dan berdakwah, kemudian cinta mati kepada Indonesia. Lalu memutuskan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk Indonesia.
Syekh itu tidak lain Ahmad Surkati. Ketika itu bahkan Indonesia belum lahari. Indonesia masih bernama Hindia Belanda, dan berada pada cengekeraman penjajah Belanda hampir tiga abad.
Ada slogan heroik yang diucap Syekh Surkati,"Bagiku mati di Jawa dengan berjihad lebih mulia daripada mati di Mekah tanpa jihad". Ungkapan Syekh Surkati itu menunjukan kecintaannya yang mendalam terhadap tanah yang dijejaknya, dan keteguhannya yang kokoh untuk membantu perjuangan bangsa melalui pendidikan.
Syekh Ahmad Surkati adalah mozaik penting dalam bangunan sejarah perjuangan Indonesia menuju kemerdekaan. Namun mozaik itu menjadi obscure, kabur, tak banyak orang mengenalnya.
Namanya tidak banyak dikenal dalam lanskap sejarah Indonesia dibandingkan dengan K.H Hasyim Asy’ari, K.H Ahmad Dahlan, K.H Mas Mansur, HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Sukarno. Padahal, Syekh Surkati hidup pada masa-masa perjuangan merintis kemerdekaan bersama nama-nama besar itu. Anehnya nama-nama besar itu mengakui kiprah Syekh Surkati dan kontribusinya dalam mozaik perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Legasi yang ditinggalkan Syekh Surkati bisa dilihat dari eksistensi organisasi kemasyarakatan Al-Irsyad Al-Islamiyah, yang sampai sekarang menjadi salah satu organisasi Islam paling konsisten dalam perjuangan di bidang pendidikan. Syekh Surkati ialah pendiri Al-Irsyad di Batavia pada 1914, tiga tahun setelah ia menjejakkan kaki di tanah jajahan Hindia Belanda
Sejak itu Syekh Surkati tidak pernah lagi menoleh ke belakang. Ia menghabiskan seluruh waktu dan hidupnya untuk berjuang sampai menutup mata di tahun.1943.
Sudah cukup banyak buku ditulis mengenai perjuangan Syekh Ahmad Surkati, tapi lebih pada karya akademis tesis atau disertasi, yang itu bukan konsumsi publik luas. Kali ini, Ady Amar, menuliskan epic perjuangan Ahmad Surkati dalam bentuk novel sejarah berjudul Tapak Mualim, Syekh Ahmad Surkati (1875-1943) , yang Minggu, 3 November 2024 dilaunching di Aula PDS H.B. Jassin, TIM, Jakarta. Satu terobosan untuk mengenalkan Syekh Surkati kepublik yang lebih luas.
Ahmad Surkati lahir di Sudan pada 1875 dari keluarga cendekiawan. Baik ayah maupun kakeknya sama-sama cinta terhadap ilmu dan pernah menuntut ilmu di Al-Azhar, Mesir. Di Sudan, Ahmad tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berpikiran tajam. Ia diperlakukan istimewa oleh sang ayah dengan diajak bepergian menghadiri majelis-majelis ilmiah.
Sebagaimana anak-anak pada umumnya, Ahmad sering melanggar peraturan di sekolah. Ia tertangkap basah membolos dan dihukum oleh gurunya. Dari hukuman itulah kecerdasan Ahmad terungkap. Ia bisa menghafal ayat-ayat Al-Quran maupun hadits hanya dengan sekali dengar
Suatu ketika ia membolos selama dua hari. Petugas sekolah memergoki dan melaporkan kepada kepala sekolah untuk dihukum. Kebetulan teman sekelas Ahmad sedang menyetorkan hafalan pelajaran kepada kepala sekolah. Ketika giliran Ahmad diminta menyetorkan hafalan ia bisa melakukannya tanpa kesalahan sedikitpun. Padahal ia tidak mengikuti pelajaran itu karena membolos. Ternyata Ahmad bisa menghafal semuanya tanpa ada kesalahan hanya dengan sekali dengar dari teman yang melantunkan hafalannya tadi.
Surkati kemudian pindah ke Hijaz pada 1896 dan melaksanakan haji ke Mekkah. Ia belajar ilmu agama di Madinah selama empat tahun. Setelah itu ia menuntut ilmu di Darul Ulum Mekkah selama 11 tahun untuk memperdalam fikih. Kecerdasannya diakui oleh para ulama besar di Mekkah, dan pada 1909 Surkati diangkat menjadi mufti.
Di Mekkah pula ia bersinggungan dengan ide-ide pembaruan Islam yang dibawa Muhammad Abduh, yang kemudian diteruskan muridnya Rasyid Ridho ke seluruh dunia. Syekh Ahmad Surkati jatuh cinta terhadap gagasan pembaruan itu dan bertekad untuk mendedikasikan hidupnya untuk memperbarui pemikiran Islam dan melepaskannya dari kejumudan.
Pucuk dicinta ulam tiba. Syekh Surkati menerima tawaran dari Jamiatul Khair di Batavia untuk menjadi guru. Ketika itu penjajah Belanda melakukan pengawasan yang ketat terhadap setiap gerakan yang dianggap berbahaya, termasuk gerakan pendidikan.
Syekh Ahmad Surkati tiba di Jawa pada 1911. Ia menjadi pengawas di sekolah-sekolah Jamiat Khair dan memperkenalkan gagasan pembaruan Islam yang mendapat sambutan antusias dari publik. Surkati hanya bertahan tiga tahun di Jamiat Khair. Pada 1914 ia memutuskan hubungan kerja akibat perbedaan pandangan dengan para pembesar organisasi itu. Keputusan Surkati itu berdampak pada organisasi, karena guru-guru pendukung Syeikh Ahmad Surkati yang berhaluan reformasi Islam turut mengundurkan diri.
Atas dorongan dari pada pendukungnya, ia memutuskan membuka sekolah sendiri di Batavia yang diberi nama Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Ia juga mendirikan yayasan untuk mendukung keuangan organisasi (hal 86).
Melalui Al-Irsyad Surkati bertekad melanjutkan perjuangannya melalui pendidikan. Saat pertama kali tiba di Batavia, Surkati mendapati kaum Muslim di Hinda Belanda terjebak dalam keterbelakangan dan kejumudan. Sejak 1915, Al-Irsyad secara konsisten menggalang dana untuk kebutuhan program-program bimbingan dan pemurnian Islam. Sepanjang dasawarsa 1920-an hingga 1930-an, Al-Irsyad berhasil membangun gedung-gedung pertemuan, sekolah, dan perpustakaan. Sedang cabang-cabang Al-Irsyad di penjuru Jawa mulai bermunculan sejak 1917. Pembukaan sekolah di Tegal, Pekalongan, Cirebon, dan kemudian di Surabaya. Al-Irsyad kembali berkembang di Bogor, Bondowoso hingga Banyuwangi.
Novel ini mengungkap hubungan Syekh Ahmad Surkati yang akrab dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia. Syekh Surkati secara tidak sengaja bertemu dengan Kiai Haji Ahmad Dahlan dalam sebuah perjalanan kereta api (hal 72). Dari perkenalan singkat itu muncul persahabatan yang tulus. Surkati mengagumi kepribadian Ahmad Dahlan. Keduanya sama-sama disatukan oleh gagasan pembaruan Islam yang dikembangkan oleh Abduh.
Surkati bersahabat erat dengan HOS Tjokroaminoto sebagai tokoh Sarekat Islam yang memperjuangkan pembaruan umat melalui pendidikan dan perdagangan. Syekh Surkati juga terlibat aktif dalam Congres Al Islam Hindia di Cirebon pada 1922. Pada kongres itulah Surkati menjalin hubungan akrab dengan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan (hal 147).
Surkati banyak belajar dari Sarekat Islam (SI) yang ketika itu menjadi organisasi Islam paling pesat perkembangannya. Surkati bergaul akrab dengan Haji Agus Salim dan Haji Misbach yang kemudian mendirikan SI Merah yang menjadi cikal bakal PKI di Indonesia.
Pergaulan Surkati yang luas dan luwes ditunjukkannya melalui interaksinya yang baik dengan Semaun. Dalam kongres di Cirebon itu Surkati terlibat dalam perdebatan terbuka dengan Semaun. Keduanya sama-sama menginginkan kemerdekaan, tetapi jalan yang ditempuh berseberangan. Surkati meniti jalan Islam, Semauh menapaki jalan komunisme.
Debat berlangsung seru, tetapi saling menghormati. Debat berakhir dan keduanya bersepakat untuk tidak bersepakat. Pulang dari acara kongres Surkati dan Semaun bersama-sama naik delman menuju stasiun kereta api. Perbedaan pendapat tidak membuat persahabatan terputus. Publik Cirebon kagum oleh pameran keakraban itu (hal 157).
Novel ini merupakan karya pertama Ady Amar. Ia sudah berpuluh tahun menulis dan mengedit puluhan buku. Tapi baru kali ini menulis novel sejarah. Kendati demikian, Ady Amar bisa menghasilkan novel sejarah yang memadukan fiksi dan fakta dengan bahasa sastrawi yang indah. Teknik penulisan dengan mempergunakan orang pertama "aku" menjadikan novel ini akrab dengan pembaca, seolah pelakunya berbincang akrab dengan pembaca.
Teknik itu dipakai oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi Pulau Buru yang masyhur itu. Pram menunjukkan kepiawaiannya dalam mengolah sejarah dan fiksi menjadi ramuan karya yang berkelas Nobel Sastra.
Novel Ady Amar ini menunjukkan detail yang cermat dan dipadu dengan riset dokumen sejarah yang teliti. Sangat enak dibaca dan pesan yang disampaikan mudah dicerna. Selamat mambaca.
*) Jurnalis dan penikmat buku