Syamsul Anwar: Perlu Meresapi Kembali Makna Islam
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syamsul Anwar mengatakan, Muhammadiyah merasa perlu untuk meresapi kembali makna Islam. Hal itu terkait dengan Musyawarah Tarjih (Munas) Tarjih ke-31 akan dilaksanakan secara online. Hal tersebut dilakukan lantaran darurat pandemi Covid-19 belum juga berakhir.
Pada awalnya, Munas ke-31 ini akan dilaksanakan pada tanggal 14-17 April 2020 di Universitas Muhammadiyah Gresik, Jawa Timur, namun kemudian dialihkan secara online dari 29 November sampai 20 Desember 2020.
“Ada pun rencana semula, Musyawarah Nasional Tarjih ini sedianya dilaksanakan pada bulan April 2020 secara luring. Tetapi perkembangan situasi adanya wabah Covid-19, maka kami menunggu dengan harapan bulan Agustus atau September wabah berakhir tapi kenyataannya masih tetap berlangsung dan tak ada tanda landainya,” kata Syamsul Anwar, terkait dengan Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI, dikutip Selasa 24 November 2020.
Syamsul menegaskan, Musyawarah Nasional Tarjih bukanlah Musyawarah Majelis Tarjih, melainkan Musyawarah Muhammadiyah dalam bidang keagamaan. Peserta sidang Munas dihadiri para pakar keagamaan di Muhammadiyah yang terdiri dari Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pimpinan dan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid tingkat pusat, perwakilan Majelis, Lembaga, Biro, dan Organisasi Otonom Tingkat Pusat, Perwakilan Wilayah, dan undangan khusus dari kalangan ahli atau pakar. Karenanya Syamsul menyebut bahwa Majelis Tarjih hanya sebagai instansi yang menyelenggarakan Munas tersebut.
Selain itu, Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini menerangkan tentang tema Munas Tarjih ke-31 yang berbunyi Mewujudkan Nilai-nilai Keislaman yang Maju dan Mencerahkan. Menurutnya, pengangkatan tema tersebut lantaran Muhammadiyah ingin kembali meresapi makna ‘islam’ itu sendiri.
“Muhammadiyah merasa perlu meresapi kembali makna Islam itu apa dan bagaimana. Dan makna pertama dari kata ‘islam’ adalah damai,” jelas Syamsul.
“Jadi, kata Islam itu memiliki beberapa arti, pertama: damai. Jadi, Mewujudkan Nilai-nilai Keislaman yang Maju dan Mencerahkan adalah kehidupan yang damai, dengan jalan tengah yang seimbang, dengan dialog, saling menghargai,” terang Syamsul.
Kata triliteral semitik ‘sin-lam-mim’ menurunkan beberapa istilah terpenting dalam pemahaman keislaman, yaitu “Islam” dan “Muslim”. Semuanya berakar dari kata “salam” yang berarti kedamaian. Syamsul kemudian mengutip Hadis Nabi yang berkaitan dengan definisi ‘islam’. Hadis tersebut berbunyi ‘al-muslimu man salima al-muslimuna min lisanihi wa yadihi’ yang berarti seorang muslim adalah orang yang mendapat kedamaian dan terhindar dari kekerasan lidah dan tangan orang lain.
“Jadi orang muslim itu sumber kedamaian, dan selalu menghindarkan orang lain dari kekerasan yang dia lakukan baik melalui mulut seperti di medsos apalagi melalui kekerasan fisik,” tutur Syamsul.
Muslim yang baik adalah orang yang damai dalam dirinya dan selalu menebarkan kedamaian untuk orang lain. Kedamaian akan memberi kehidupan yang adil, maslahat, tentram, dan penuh dengan kebahagiaan. Karenanya, jelaslah bahwa kekerasan, kebencian, dan permusuhan bukan bagian dari ajaran Islam.
Selain bermakna ‘damai’, kata ‘islam’ juga berarti keluar dari satu tempat menuju ruang baru. Dalam pepatah Arab dikatakan ‘kuntu ra’iya ibilin fa aslamtu ‘anha’ yang berarti ‘dulu aku seorang pengembala lalu aku keluar mencari kehidupan yang baru’. Dalam pepatah tersebut kata ‘aslamtu’ dimaknai dengan ‘perubahan menuju yang baru’.
“Jadi dalam kata ‘islam’ itu terdapat kemajuan yaitu orang yang selalu mengubah kondisi yang sekarang menuju kondisi yang lebih baik,” kata Syamsul.
Karenanya, tidak heran jika muncul sebuah adagium ‘Islam sholihun li kulli zaman wa makan’ atau Islam itu sesuai dengan waktu dan tempat. Artinya keluwesan inilah yang menjadikan Islam arif dan mudah didakwahkan kepada umat manusia. Ajaran yang terkandung di dalamnya bijaksana yang meninggalkan kesan kaku dan tidak dapat beradaptasi. Tetapi justru Islam mampu menjawab tantangan kontemporer.
Makna ketiga dari kata ‘islam’ selain ‘damai’ dan ‘ke tempat yang baru’ juga berarti ‘sullam’ atau ‘tangga’. Dari pengertian tersebut, Syamsul menerangkan bahwa kata ‘islam’ bermakna selalu meningkatan kualitas kehidupan manusia.
Advertisement