Syams-i Tabrizi, Sufi Pengembara Guru Jalaluddin Rumi
Jalaluddin Rumi menjadi tokoh sentral dalam memahami masalah kesufian. Setidaknya, itulah ranah semesta sufi yang populer karena tarian darwisy yang terkenal.
KH Husein Muhammad, beruntung karena berkesempatan berkunjung ke tempat-tempat yang terkait dengan sang tokoh. Selain berziarah, ulama yang aktivis sahabat Gus Dur ini, menulis catatan:
Konya, Anatolia, Turki, 2013, usai ziarah ke Maulana Rumi, di peristirahatan abadinya dengan jalan kaki aku menyusuri jalan cahaya menuju makam Syeikh Syams-i Tabrizi, seorang darwisy pengembara.
Ia adalah guru yang mengubah jalan hidup Maulana Jalaluddin Rumi, seorang sufi penyair paling terkenal sampai kini. Aku ditemani dua orang mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh kuliah Doktoral, Yanuar Agung dan Hary Pebriantok.
Konon Syams dibaringkan di kota antik, syahdu dan romantik itu. Pandangan lain menunjuk tempat lain. Aku menemukan jejaknya yang terakhir itu di sebuah masjid (Cami) mungil yang sepi tetapi menyimpan misteri spiritual yang tinggi.
Manakala aku diberitahu “masjid” itu, aku tercenung dalam suasana hati yang mengharu biru. Masjid itu mungil dan sepi. Tak banyak pengunjung di sini. Mengapa ?.
Aku masuk ke dalam. Di samping mihrab yang posisinya lebih tinggi aku melihat tabut jenazah dan di situ tertulis nama Syams-i Tabrizi. Ia bergitu bersahaja, jauh tak semegah jenazah murid tercintanya: Maulana Rumi dan ayahnya Syeikh Bahauddin Walad.
Usai salat Tahiyyah Masjid, aku mendekat dan menyampaikan salam: Assalamu’ alaika ya Waliyallah, Syeikh Syams al-Tabrizi. Lalu berzikir, menyebut Nama Allah berkali-kali, merenungkan-Nya dan Munajat dan berdoa.
Sambil memandangi pusara yang bersahaja itu aku teringat buku "Qawaid al-Isyq al-Arbaun", (40 Kaidah Cinta), sebuah novel yang bercerita tentang pertemuan antara Syams Tabrizi dan Maulana Rumi. Ia merupakan karya sastra seorang perempuan asal Perancis tapi tinggal di Turki: Elif Syafaq.
Dan mengingat penuh kata-kata Syams Tabrizi yang indah sekaligus menghentakkan nurani dan amat mengesankan. Aku selalu mengingat kata-kata indah itu.
Kata-kata itu, konon disampaikannya suatu hari kepada murid kesayangannya itu, Maulana Rumi:
لَمْ يَكُنِ المَوْتُ هُوَ الّذِى يُقْلِقُنىِ . ِلاَنَّنِى لَمْ اَكُنْ اَعْتَبِرُهُ نِهايَة . بَلْ مَا كَان الذی يُقْلِقُنى هو اَنْ أمُوت مِنْ دُون اَنْ أُخَلّفَ تُراثًا.
أُرِيدُ اَنْ اَنْقُلَ المَعارِف التى تَوَصَّلْتُ اليها الى شَخْصٍ آخر . سَوآء كان أُستاذا ام تِلْميذا
“Bukanlah kematian yang menggelisahkan jiwaku. Bagiku, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Tetapi aku gelisah manakala mati, aku tidak meninggalkan warisan ilmu pengetahuan (Ketuhanan). Aku ingin mengalihkan pengetahuan yang telah aku peroleh itu kepada orang lain; guru maupun murid”. (Syams al-Tabrizi).
Demikian catatan KH Husein Muhammad. (27.02.2021)