Syair-syair Cinta Aminah Quthb
Oleh: Ady Amar
"Ia seorang perempuan yang berperangai tenang, acap larut pada kenangan masa lalu. Seorang penyair dengan intelektualitas lebih tinggi dari kemampuan sastranya." -- Sayyid Quthb.
Itulah testimoni Sayyid Quthb atas sang adik, Aminah Quthb, tentu pujian sewajarnya. Itulah pandangan obyektif yang tidak melebih-lebihkan.
Namun perjalanan selanjutnya, Aminah menunjukkan bakat sastra yang juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Syair-syair tulisannya terasa esoteris. Setiap kata yang dirajutnya unik dan berkarakter. Manifestasi kerinduan yang tajam dan kuat.
Quthb Empat Bersaudara
Adalah Quthb Ibrahim dan Fatimah Hussain Utsman, pasangan yang berbahagia. Bagaimana tidak, keempat anaknya menjadi pribadi kuat dan punya nilai tersendiri dalam kancah pergulatan pemikiran dan dakwah.
Sayyid Quthb (1906-1967), Muhammad Quthb (1919-2014), Aminah Quthb (1927-2007) dan Halidah Quthb (1937-2012). Empat bersaudara dengan intelektualitas tinggi, kuat dalam pemikiran dan aqidah.
Aminah Quthb, anak ketiga, lebih memiliki persamaan dengan sang kakak Sayyid Quthb, kuat dalam bidang sastra, khususnya syair. Dan memang, Sayyid Quthb, sebelum sebagai aktivis Ikhwanul Muslimin, ia seorang sastrawan dan kritikus sastra yang diperhitungkan.
Sebagaimana penuturan Ayyub Musallam, dalam disertasinya di Michigan University (1983), yang menulis, dimana sekitar tahun 1940-an, Sayyid Quthb memimpin Jurnal Sastra prestisius di Mesir, Ar-Risalah.
Sedang Muhammad Quthb, anak kedua dari keluarga Quthb, lebih dikenal sebagai penulis, cendekiawan dan pendidik.
Sedang si bungsu, Hamidah Quthb, lebih dikenal sebagai daiyah (sebutan untuk da'i perempuan). Itu setelah ia bergabung dengan Ikhwanul Muslimin, mengikuti jejak kakak-kakaknya.
Hamidah dan Aminah dikenal juga sebagai motivator dan penyemangat bagi kaum perempuan, khususnya yang tergabung dalam Ikhwanul Muslimin.
Empat beesaudara keluarga Quthb ini, dikenal saling kompak dan menguatkan di antara mereka satu dengan lainnya. Mereka berempat menulis buku Al-Athyaf al-Arba'ah ( Empat Spektrum).
Akad Nikah di Penjara
Pemerintahan Mesir di bawah presiden Gamal Abdul Nasser dijalankan dengan watak oteriter militeristik. Membungkam demokrasi dan hak asasi manusia. Para aktivis Ikhwanul Muslimin ditangkap dan dipenjarakan tanpa proses pengadilan yang fair.
Di tahun 1954, 160 ribu aktivis Ikhwanul Muslimin di seluruh negeri ditangkap dan dipenjarakan, diperlakukan dengan sewenang-wenang.
Tidak terkecuali Sayyid Quthb dan Aminah, sang adik. Aminah hanya dipenjara beberapa tahun saja, dan lalu dilepaskan. Tapi sang kakak yang dituduh melakukan makar pembunuhan terhadap presiden Nasser, diputus pengadilan dengan hukuman mati.
Hingga lima tahun Sayyid Quthb tidak diperkenankan bersosialisasi dengan tahanan lainnya, bahkan dari membaca dan menulis. Sampai pada waktunya ia jatuh sakit, dan harus di rawat di RS Tura.
Di rumah sakit itulah Sayyid Quthub berkenalan dengan aktivis Ikhwan generasi pertama, murid Syekh Hasan Al-Banna. Dia bernama Kamal As-Sananiriy, yang juga tengah dirawat. Kamal termasuk mereka yang ditangkap massal di tahun 1954.
Kamal secara diam-diam sudah mengenal dan mengamati Aminah, lewat syair-syairnya yang mengkritik rezim kala itu. Lewat sang kakak, Sayyid Quthb, ia mengkhitbah Aminah. Sayyid Quthb menghubungi sang adik, dan menceritakan pinangan aktivis yang masih meringkuk di penjara Qana bersamanya.
Kamal pada awalnya dituntut hukuman mati, tapi lalu diputus hukuman penjara 25 tahun. Ia baru menjalani hukumannya sekitar 5 tahun.
Mendengar penjelasan sang kakak, Aminah menerima pinangan Kamal itu, dan lalu berangkat dari Kairo dengan kereta api ke Qana. Pernikahan itu pun dilangsungkan, tentu dengan amat sederhana.
Setelah itu Aminah kembali ke Kairo meneruskan aktivitasnya, dan setidaknya sebulan sekali ia kunjungi suaminya itu, menempuh perjalanan cukup jauh dengan kereta api. Lewat pertemuan singkat, mereka saling menguatkan satu dengan lainnya. Selalu Aminah meninggalkan syair indah untuk sang suami.
Sampai suatu ketika Kamal merasakan perasaan iba pada Aminah, dan lalu dia sampaikan kalimat kiasan halus, yang ia tidak ingin menyinggung perasaan sang istri. Kalimat halus, yang itu mengisyaratkan bahwa Aminah boleh meminta untuk dilepasnya, jika itu harus dilepasnya. Dan ia rela untuk melepasnya, semata karena kasih cintanya.
Kalimat yang disampaikan Kamal itu bisa ditangkap perempuan bijak ini, dan lalu ia membalas dengan kalimat indah, yang meneguhkan sikapnya untuk bersama-sama memasuki jannah-Nya:
"Izinkan aku bersamamu di jalanmu... Jalan jihad dan jannah, keteguhan, pengorbanan dan komitmen pada keimanan, bahwa kami mendedikasikan diri tanpa ragu dan penyesalan."
Sungguh jawaban mempesona dari perempuan matang, memilih jihad untuk bersama-sama dalam jannah-Nya. Jawaban yang menjadikan Kamal, sang suami, sesenggukan menangis tanda haru dan bahagia.
Sampailah saatnya, di tahun 1973, Kamal menghirup udara bebas, dan ia langsung mendatangi sang istri. Aminah hidup bahagia bersama Kamal. Berdua bersama melakukan aktivitas dakwah. Sesekali Kamal melakukan perjalanan ke luar negeri dalam urusan dakwah. Aminah mengizinkan, dan mengetahui bahwa sang suami memang dibutuhkan, dan milik umat.
Di awal 80-an, Kamal.berangkat ke medan jihad Afghanistan, berkumpul bersama para Mujahid Afghan. Senioritas Kamal mampu menyatukan friksi-friksi di antara para pimpinan gerakan di sana. Suara Kamal didengar mereka.
Tahun 1981, Kamal balik ke Mesir, dan lalu ditangkap oleh militer. Saat itu presiden Mesir sudah berganti. Dialah Anwar Sadat.
Kamal diinterogasi dengan siapa saja dia berangkat ke Afghan, dan siapa saja yang ditemuinya di sana, dan hal-hal lainnya ditanyakan khas interogasi. Tentu Kamal menolak membuka apa saja yang ditanyakan, yang itu nantinya akan memberatkan perjuangan mereka, dan juga jika nantinya mereka akan kembali ke Mesir.
Karenanya, siksaan demi siksaan dialaminya dengan amat mengerikan. Usia Kamal sudah tidak muda lagi, sudah tidak sekuat dulu lagi. Maka siksaan yang diterimanya itu mengantarkan ke kematiannya, syahid in Syaa Allah. Tapi rezim biadab itu memfitnahnya dengan mengatakan, bahwa Kamal mati dengan jalan bunuh diri. Seantero negeri tidak mempercayai berita versi rezim itu, apalagi sang istri, yang tahu betul kegigihan sang suami dalam medan jihad.
Rasail Ila Asy-Syahid
Kamal As-Sananiriy, menemui ajalnya pada tanggal 8 November 1981. Tidak bisa dibayangkan kesedihan Aminah, yang baru merasakan nikmatnya hidup bersama sang suami, tapi mesti melepas takdirnya untuk selamanya.
Aminah sedih dan terpukul. Dan karenanya, kesedihan itu ia lampiaskan dengan menulis syair. Ada 20 syair dicipta untuk sang suami. Syair-syair kerinduan yang ditulis tidak cuma dengan hati membuncah, tapi juga dengan air mata kesedihan mendalam.
Syair-syair itu kemudian diterbitkan dengan judul Rasail Ila Asy-Syahid ( Surat untuk Sang Syahid). Buku syairnya itu mendapat sambutan dan apresiasi luar biasa dari para kritikus sastra dan khalayak.
Salah satu syair dari 20 syair di buku itu, "Hal Turaana Naltaqi" ("Apakah Engkau Melihat Kita Berjumpa"), disenandungkan oleh Syaikh Sa'ad Al-Ghamidhi, dan termasuk salah satu nasyid yang direkam dalam album Ad-Damaam 2.
Mungkinkah kita akan bertemu lagi?
Ataukah hanya bertemu di alam fatamorgana?
Lalu (bayanganmu) berpaling, dan sedikit demi sedikit sirna
Berubah menjadi kenangan yang menyiksa
Hatiku selalu bertanya
Hari-hari begitu panjang, setelah engkau berpulang
Tiba-tiba bayanganmu menatap, tersenyum
Seakan-akan kudengar jawaban
Mengapa kita tak berjalan bersama
Bergandengan tangan menegakkan kebenaran
Agar kembali kebaikan di bumi
Lalu kita pergi, meniti jalan berduri
Meninggalkan semua ambisi kita
Mengubur hasrat jarak ke dalam diri
Dan kita bertahan dengan keikhlasan
Hanya berharap pahala-Nya...
Aminah Quthb meninggal di tahun 2007, saat usianya menginjak 98 tahun. Usia lanjut dengan sarat prestasi. Dialah perempuan asketik, simbol perlawanan dan cinta, yang akan dikenang sepanjang masa.**
*Ady Amar, penikmat dan pemerhati buku, tinggal di Surabaya.
Advertisement