Syair Najib Mahfudz, Gairah Politik Demokrasi 2024
Satu syair dari satrawan dunia Arab Najib Mahfudz cukup menarik disimak. Peraih Nobel bidang Kesusasteraan asal Mesir.
اذا مات القلب ذهبت الرحمة
واذ ا مات العقل ذهبت الحكمة
واذا مات الضمير ذهبت كل شئ
Ketika hati nurani mati, tiada lagi kasih sayang
Ketika akal pikiran mati, tiada lagi sifat arif bijaksana
Ketika kita mati, maka semuanya sirna.
Pesan penting: Mari kita serasikan pikiran dan hati kita dengan memelihara amal ibadah dan memebrikan dharma bakti di masyarakat semaksimal mungkin dengan ikhlas.
Tulisan tahun lalu mungkin masih relevans dengan keadaan sampai saat ini , khususnya menghadapi Pilpres 2024. Siapakah tokoh nasional yang kita anggap mampu memperbaiki sistem politik nasional periode 2024 - 2029? Atau kita biarkan stagnan seperti sekarang ini?.
Politik, Pragmatisme atau Patriotisme
Kita sering mendengar kalimat “demokrasi transaksional dan prosedural“. Istilah yang menunjukkan keprihatinan publik terhadap perkembangan politik dan demokrasi sejak Reformasi 1998. Mengapa demikian ?.
Globalisasi dan Reformasi membawa berkah perkembangan ekonomi yang lebih cepat dari era sebelumnya. Meningkatnya proyek pembangunan pemerintah dan transaksi bisnis swasta mengakibatkan peredaran uang berlipat ganda. Dimanapun , pelaku bisnis tentu saja menikmati kue kemajuan ekonomi lebih dahulu dan lebih besar dibanding golongan masyarakat lainnya.
Pada saat yang bersamaan, beaya untuk menggerakkan roda politik meningkat pesat. Masyarakat awam juga ingin ikut serta menikmati kesejahteraan, akibatnya suara mereka mempunyai harga tersendiri. Kita tidak bisa menyalahkan , sepanjang ketimpangan ekonomi masih tinggi, maka kesadaran politik demokrasi merupakan suatu persoalan.
Mulai dari titik inilah berawal timbulnya pragmatisme dalam politik. Pada awalnya cukup puluhan atau lima puluhan ribu, kini harga suara meningkat menjadi lembaran ratusan ribu dalam setiap pilkada atau dalam pileg. Bagaimana memperoleh dana, itulah persoalan bagi politisi. Itu suatu realitas dan sekali lagi kita tidak bisa menyalahkan siapapun karena merupakan siklus perkembangan dalam pembangunan demokrasi yang harus dilewati.
Disinilah pentingnya ideologi negara Pancasila menjadi rujukan berpolitik seluruh warga bangsa dimanapun mereka berperan.
Pancasila yang mencerminkan ideologi tengah atau washatiyah menuntun kita untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan asas “Kebebasan, Keadilan dan Keberagaman“.
Otokritik diperlukan secara berkesinambungan utk mengawal proses demokratisasi kita hingga menjadi semakin matang dan dewasa. Hal ini karena sistem ekonomi kapitalistis secara teoritis mengandung unsur pragmatisme lebih besar dari idealisme yg menyertainya. Dan dalam era globalisasi, kita tidak mungkin menghindari realitas tersebut.
Dengan tetap berpegang pada Pancasila, suatu kesepakatan luhur para pendiri bangsa dan negara atau “misakon Gholidho” ( ميثاقا غليضا) , bangsa Indonesia tidak akan kehilangan arah perjuangan. Dengan kata lain “patriotisme” dan heroisme para pejuang yang telah mendahului, harus senantiasa kita kobarkan dalam diri masing masing untuk mengatasi hasrat “pragmatisme”.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial Politik, tinggal di Jakarta.