Syaikh Abdul Sattar Edhi, Pembawa Ambulans dan Penyelamat Manusia
Abdul Sattar Edhi seorang peduli sosial. Ia mendidikan yayasan yang kini merupakan organisasi layanan sosial terbesar di negara Pakistan.
Ihsan Ali Fauzi menulis tentang "Belajar pada Abdul Sattar Edhi". Seorang yang dikenal sebagai Wali Abdal karena laku sufistik.
Berikut penuturan Ihsan Ali Fauzi, Belajar pada Abdul Sattar Edhi:
Salah satu momen penting dalam karir Abdul Sattar Edhi terjadi pada Mei 2002, ketika polisi menemukan jasad Daniel Pearl, reporter Wall Street Journal yang dibunuh jaringan teroris di Karachi.
Ketika tak seorang pun mau mengurusnya, Abdul Sattar Edhi tampil mengumpulkan sisa-sisa tubuhnya (maaf: yang tercerai-berai menjadi sepuluh potongan), “membersihkannya”, dan membawanya ke bandara.
Karachi memang salah satu kota dengan tingkat kekerasan tertinggi di dunia. Tapi bahkan di kota ini pun kelompok-kelompok yang biasa saling serang tunduk kepada satu “kode etik”: jika ambulans Edhi tiba, semua tembak-menembak harus berhenti, agar para relawan Edhi bisa mengumpulkan mereka yang mati atau terluka dan membawa mereka pergi.
Pemerintah Pakistan wajib malu kepada Edhi dan yayasannya, karena yayasan itu kini merupakan organisasi layanan sosial terbesar di negara itu.
Sejak didirikan, yayasan itu telah menampung sekitar 20.000 bayi yang ditelantarkan, merawat sekitar 50.000 anak yatim, dan melatih lebih dari 40.000 perawat. Dan yang paling Edhi kagumi: jumlah armada ambulansnya kini terbesar yang dijalankan organisasi non-pemerintah di dunia. Jika Anda di Pakistan dan sekarat tanpa sejawat sama sekali, telepon saja Edhi!
“Ambulans Saya lebih Muslim dibanding Kalian”
Banyak orang menyebut Edhi seorang “filantropis”. Mungkin semacam miliarder Bill Gates di Amerika Serikat atau lembaga Dompet Dhuafa di Indonesia. Meski tak pernah menemukan informasi bahwa Edhi terang-terangan menolak penyebutan itu, saya duga dia belum tentu gembira mendengarnya.
Yayasan Edhi tak bergerak seperti umumnya filantropi modern bekerja. Selain bukan orang kaya, dia sendiri hanya mengumpulkan donasi langsung yang diberikan kepadanya. Hingga wafatnya, Edhi terus menunggu donatur yang datang—dan tak seorang pun minta bukti pembayaran darinya.
Abdul Sattar Edhi menolak dana dari pemerintah dan pergi ke mana-mana dengan ambulansnya, siapa tahu ada seseorang yang butuh bantuan di perjalanan. Pada 1991, dia pernah minta supaya dia tidak diundang ke banyak acara, karena “itu hanya akan menghabiskan waktu saya untuk membantu orang-orang lain.”
Dalam Yayasan Edhi, tidak ada birokrasi yang ruwet dan makan biaya, dan semua orang bekerja sebagai sukarelawan. Para dokter, perawat, dan sopir ambulans diharapkan membantu tanpa bayaran. Dalam satu adegan These Birds Walk (2013), film dokumenter tentang Edhi, kita menyaksikan bagaimana seorang sopir ambulansnya keteteran harus menjemput seorang anak yang kabur dari panti asuhan tapi hendak kembali lagi.
Yayasan Edhi juga dikenal imparsial, tidak memihak kelompok mana pun. Ketika suatu kali ditanya mengapa dia melayani semua orang tanpa pandang bulu, tanpa mendahulukan mereka yang Muslim, Edhi menjawab, “karena ambulans saya lebih Muslim dibanding kalian.”
Ini pula yang mendorong Edhi untuk tak membatasi kiprahnya hanya di Pakistan. Pada 2005, ketika Hurricane Katrina menghantam Amerika Serikat, Yayasan Edhi mendonasikan US$100.000 kepada para korban.
Karena keteguhannya memegang prinsip ini, Edhi sering menjadi target serangan kalangan konservatif dan radikal Muslim di Pakistan, yang menuduhnya atheis atau “kafir”. Tak heran jika dia kerap diancam mau dibunuh.
Edhi tak pernah menggubris kecaman-kecaman seperti ini. Umum dikenal berkat janggut putihnya yang tebal dan sorot matanya yang tajam, dia hanya menjawab, “Agama saya adalah mengabdi kepada kemanusiaan dan saya percaya bahwa semua agama di dunia punya dasar-dasar kemanusiaan.”
Kitab suci, katanya lagi, “harus terpancar dari jiwamu… Bukalah hatimu dan lihatlah para hamba Tuhan ini. Dalam penderitaan mereka, kamu akan menemukan-Nya.”
Nobel Perdamaian
Edhi kadang disebut “The Mother (Father) Teresa of Pakistan”, merujuk kepada kerja-kerja kemanusiaan Bunda Teresa di India, yang dianugerahi Nobel Perdamaian (1979). Meskipun dimaksudkan sebagai pujian, perbandingan ini tidak fair dan tidak memadai, karena keduanya bekerja dalam konteks yang berbeda.
(Ini mengingatkan saya pada Abdul Ghaffar Khan, pemimpin Muslim perbatasan India-Afghanistan yang memang kawan dan pengikut Gandhi, yang sering sekali disebut “The Frontier Gandhi”, seakan tidak ada yang khas dari Khan dibanding Gandhi.)
Banyak pula orang mengusulkan agar Edhi dianugerahi Nobel Perdamaian. Selain oleh para aktivis kemanusiaan di Pakistan dan seluruh dunia, usulan itu juga disampaikan Malala Yousafzai, perempuan belia Pakistan yang dianugerahi hadiah itu pada 2014 (bersama Kailash Satyarthi, aktivis hak-hak anak dari India). Hingga akhir hayatnya, Edhi tak memperoleh penghargaan itu.
Saya duga Edhi juga tak pusing dengan sebutan dan penghargaan di atas. Dalam satu kesempatan dia menyatakan, “Saya mengharapkan hadiah yang lebih baik dari Allah, ketika nanti tiba saatnya saya berjumpa dengan-Nya.”
Pada diri Edhi, saya menyaksikan contoh bagaimana Islam yang benar, yang merupakan rahmat bagi semesta alam itu, dijalankan dengan baik. Dengan sendirinya tanpa pamrih dan kesombongan, riya’. Terima kasih, Sattar Edhi. (2016)
Advertisement