Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi, Guru Para Ulama Nusantara
Ulama-ulama Nusantara mempunyai jalinan keilmuan (geneologi keilmuan) yang jelas, bersambung dengan ulama-ulama di Makkah al-Mukarramah. Sebagaimana Syaikh Nawawi bin Umar an-Bantani, Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy'ari, Syaikhona Kholil bin Abdul Lathif Bankalan, dan ulama-ulama pesantren di Nusantara lainnya.
Berikut data dan perjuangan Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi, di antara, ulama yang tinggal di Makkah dan menjadi guru ulama Nusantara yang terjaga kesinambungan ilmunya hingga sekarang.
Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi lahir pada tahun 1780 M di Bima Nusa Tenggara Barat dan wafat pada tahun 1270-an H/1853 M dimakamkan di Ma’la Makkah al-Mukarramah. Tidak ada catatan yang terang mengenai kapan hari lahirnya, ia berasal dari lingkungan keluarga ulama yang memiliki perhatian yang sangat tinggi dalam mengkaji al-Qur’an.
Syaikh Ghani merupakan putra dari Syaikh Subuh, sosok yang pernah menjadi imam Masjidil Haram. Ia menikah dengan gadis asal Dompu dan melahirkan seorang putra yang bernama Syeikh Mansur atau biasa disapa Sehe Jedo.
Syaikh Mansur memiliki dua orang putra yaitu Syaikh Mahdali atau lebih masyhur dengan sebutan Sehe Boe dan Syaikh Muhammad. Syaikh Boe sempat menjadi Qadhi Kesultanan Dompu di masa-masa akhir kesultanan Dompu.
Muslimin Hamzah dalam Ensiklopedi Bima menjelaskan bahwa karena putra-putra Syaikh Subuh ini memiliki kemampuan yang mumpuni dalam bidang agama juga memiliki karomah, maka mereka dianggap setara dengan sultan. Panggilan atau sebutan yang disematkan kepada mereka pun sama dengan sebutan untuk sultan.
Ulama Kelahiran Baghdad
Kakek buyutnya bernama Syaikh Abdul Karim berasal dari Makkah al-Mukarramah kelahiran Baghdad. Konon Syaikh Abdul Karim datang ke Indonesia dalam rangka mencari saudaranya. Daerah Nusantara pertama kali yang beliau datangi adalah Aceh, lalu ke Banten dan Sumbawa.
Setelah Abdul Ghani tumbuh besar dan menyerap ilmu agama dari keluarga dan ulama-ulama yang ada di sekitarnya, Syaikh Ghani meminta izin kepada ayahnya untuk pergi haji yang selanjutnya menuntut ilmu di tanah Hijaz.
Di Haramain Syaikh Ghani belajar kepada ulama-ulama di serambi Masjidil Haram dengan halaqoh ilmiahnya. Ia mengaji kepada ulama-ulama ternama di antaranya: al-Allamah al-Sayyid Muhammad al-Marzuki dan saudaranya Sayyid Ahmad al-Marzuqi, pengarang kitab Aqidatul Awam, Muhammad Sa’id al-Qudsi -mufti madzhab syafi’i-, dan al-‘Allamah ‘Utsman Ad-Dimyathi. Khairuddin Az-Zirikli dalam kamus tarajimnya, al-A’lam, mencatat bahwa Syaikh Abdul Ghani banyak mengambil ilmu dari ulama-ulama tersebut di atas.
Keilmuan Syaikh Ghani sudah terlihat menonjol sedari belajar dasar-dasar ilmu agama Islam terlebih ilmu Fiqih dan ilmu Falak, maka tidak mengherankan jika ia ditunjuk oleh para gurunya agar ikut serta mengajar di Masjidil Haram.
Sebagai pengajar di Masjidil Haram, Syaikh Abdul Ghani banyak membantu para pencari ilmu terutama dari Nusantara, baik dari urusan keilmuan maupun perekonomiannya. Hal ini terjadi karena pada waktu itu, kiriman biaya hidup pelajar nusantara sangat bergantung pada orang-orang yang berangkat haji.
Selama mengajar di Masjidil Haram, banyak dikerumuni para pelajar dari penjuru dunia, di antara murid-muridnya Syaikh Muhammad Bin Muhammad bin Wasi al-Jawi, Syaikh Abdul Hamid bin Ali al-Qudsi, Syaikh Ahmad Khathib bin ‘Abdul Ghaffar As-Sambasi, Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar al-Bantani, penulis Tafsir Muroh Labid, Tafsir al-Munir li Ma’alimit Tanzil.
Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar al-Bantani adalah guru dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama, TGH. Zainuddin Abdul Majid (maulana Syaikh) pendiri Nahdlatul Wathan di Lombok, Syaikh Tubagus Ahmad Bakri dari Purwakarta, Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Kyai Agung Asnawi Banten, Abuya Dimyati Banten, Syaikh Mubarok bin Nuh Muhammad Tasikmalaya, KH. Abdul Karim Kediri, KH. Muhammad Falak dari Bogor, dll.