Syahadah Fulitikiyyah, Ini Catatan Kiai Ghofur Maimoen
“Saya ingin menyebut beberapa di antaranya, lalu akan saya coba mengandaikan pengajuan pertanyaan politis kepada mereka,” kata Dr. KH. Abdul Ghofur bin Maimoen Zubair.
Ada sejumlah sosok yang saya kenal saat sekolah di Mesir dahulu. Mereka sekarang di Indonesia menjadi tokoh-tokoh penting.
“Saya ingin menyebut beberapa di antaranya, lalu akan saya coba mengandaikan pengajuan pertanyaan politis kepada mereka,” kata Dr. KH. Abdul Ghofur bin Maimoen Zubair, Pengasung Ponpes Al Anwar Sarang Rembang.
Cukup menarik ulasan Kiai Ghofur Maimoen ini, menjelaskan tentang kiprah dan pandangannya terhadap para tokoh yang kini tampil ke publik itu. Ini catatannya:
1. Prof. Quraysh Shihab.
Ia adalah azhari angkatan Gus Mus dan Gus Dur, generasi jauh di atas kami. Akan tetapi, saat reformasi ia ditugaskan sebagai Dubes Indonesia di Mesir. Saya mengenalnya karena ia aktif membimbing forum diskusi kami saat itu, FORDIAN. Banyak kesamaan, tapi perbedaan juga tak sedikit. Diskusi-diskusi kami saat itu tak jarang berjalan alot. Guru dan murid tak selamanya harus sama. Alhamdulillah, akhir-akhir ini saya memiliki kemiripan dengannya dalam memahami QS. Al-Maidah 51 yang memenjarakan Ahok tempo lalu.
2. Dr. Surahman Hidayat.
Lulusan s3 Al-Azhar Kairo Fakultas Syariah ini sekarang aktif di DPR RI dan menjabat sebagai Ketua Dewan Syariah Pusat PKS. Meski cukup jauh di atas saya, saya mengenalnya karena sesama peraih beasiswa ICMI aktif di diskusi semacam Bahsul Masail--meminjam istilah NU--yang berlangsung beberapa kali.
"Jika itu diletakkan dalam ruang akademik-ilmiyah, maka perbedaan pandangan ini akan menjadi pemandangan yang lumrah."
3. Dr. Nursamad Kamba.
Lulusan S3 Al-Azhar Program Studi Akidah dan Filsafat ini sekarang aktif di Maiyyahnya MH. Ainun Najib dan dosen di UIN Bandung. Meski ia adalah senior, mungkin angkatan Surahman Hidayat, saya cukup mengenalnya sebagai pemikir progresif dalam forum kajian karya Imam Syafii, Ar-Risalah, di mana saya awal datang ke Kairo aktif di dalamnya.
4. Zainuddin Tambuala.
Alumni Al-Azhar dari Sulawesi Tengah ini adalah Ketua Partai Keadilan saat di Mesir. Ia juga adalah Ketua DPW PKS Sulteng era Anis Matta sebelum akhirnya dilengserkan oleh kekuatan Ketum yang baru, Sohibul Iman. Saya mengenalnya karena sering ketemu di masjid. Saya tak mengerti, kenapa sepengetahuanku, aktifis-aktifs NU sepertinya tak akrab dengan masjid. Setiap kali salat berjamaah di masjid di Kairo yang saya temui adalah kader-kader lain. Aktifis-aktifs NU sering kali berkelakar, "maklum Islam kawakan!" Saya berharap kader-kader NU di mana saja tak pernah merasa kawakan sebagai Muslim.
5. TGB Zainul Majdi.
Ia lulus S3 Tafsir dan ilmu-ilmu Al-Quran saat menjabat sebagai gubernur NTB periode pertama. Saat melanjutkan S3 ini saya justru mulai mengenalnya lumayan baik. Sekarang ia adalah ketua IAAI (Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional) Indonesia menggantikan Prof. Quuraysh Shihab, di luar kesibukannya sebagai ketua Nahdhatul Wathan. Tempo lalu, ia ikut aktif dalam gerakan 212 menggulingkan Ahok yang menaikkannya pada taraf setingkat Imam Mahdi, lalu tiba-tiba saja ia mendukung Jokowi sehingga ia dinistakan bak Dajjal.
6. Dr. Muchlis Hanafi.
Salah satu santri Al-Azhar yang gemilang. Lulusan S3 Tafsir dan ilmu-ilmu Al-Quran ini sekarang manjabat sebagai kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran Kemenag RI. Saya mengenalnya karena sesama peserta pascasarjana di Al-Azhar dan sesama aktivis NU Mesir. Sekarang juga bersama-sama, dengan anggota Tim lainnya, melakukan pengembangan terjemahan Al-Quran versi Kemenag. Tulisannya tentang ayat 51 Al-Maidah mirip dengan rumusan yang kami, Tim Bahsul Masail Ansor, putuskan tahun lalu.
7. Dr. Ahmad Zain An Najah.
Ia adalah alumni Pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo yang didirikan oleh diantaranya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir. S1-nya ia selesaikan di Madinah. Di sini ia belajar di antaranya kepada Syekh Utsaimin, pimpinan Wahhabi. Di Mesir, ia aktif di DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) sebagai ketua. Santri-santri Ngruki di Mesir dikenal dengan kritiknya yang tajam tethadap sistem pemilu, termasuk yang dianut Indonesia.
Tentu masih banyak orang-orang sukses yang saya temui di Mesir. Ada Dr. Yunus Masruhin ahli Tasawwuf dari Kajen, Abdul Somad dai Kondang dari Riau, dan seterusnya. Mereka yang saya tulis kiranya cukup mewakili.
Saya hanya ingin mengajukan kepada senior dan sahabat-sahabat saya: Siapa yang terbaik memimpin Indonesia periode mendatang, Pak Jokowi atau Pak Prabowo?
Tentu banyak variabel yang harus dihadirkan untuk menilai keduanya. Mulai dari partai pendukungnya, kebersihannya, keterterimaannya oleh masyarakat yang majmuk, kecakapannya, hingga tentu saja ketaatannya terhadap agama. Hampir pasti masing-masing akan punya pandangan yang sedikit-banyak berbeda dari lainnya.
Jika itu diletakkan dalam ruang akademik-ilmiyah, maka perbedaan pandangan ini akan menjadi pemandangan yang lumrah. Keluar dari diskusi semua tetap guyup. Akan tetapi, lain soal jika itu diletakkan dalam ruang politik. Yang hari ini waliyullah, karena beda pilihan politik, besok bisa jadi munafik. Hanya karena Anda memilih Jokowi, besok status ulama bisa hilang. Mungkin demikian pula sebaliknya.
Dalam dunia politik, tampaknya dua syahadat belum cukup. Harus ada syahadat ketiga:
Waasyhadu anna Jokowi .. wa anna Prabowo..
Jika tidak melafalkan syahadat ketiga ini, seakan Islam kurang sempurna. Bekakangan, bahkan ada shalawat anti-Jokowi. Karena urusan politik, pembuatnya seakan yakin dan berani bersaksi bahwa Kanjeng Nabi benar-benar sudah menentukan pilihan dalam pilpres Indonesia 2019.
Wallaahu a'lam.
Ditulis di Sarang, sekadar ingin Indonesia lebih baik. Amin. (adi)
Advertisement