Suryo Wiyono: Pupuk Sintetik dan Kurangi Pestisida Pakai Mikroba
Suryo Wiyono menerima penghargaan atas kiprahnya yang sejak 2018 mengembangkan mikroba untuk meningkatkan produksi pertanian sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Dosen Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) itu berhasil menemukan dan mengembangkan tiga jenis mikrob bermanfaat yaitu PGPR-Plant Growth Promoting Rhizobacteria (lysinibacillus fusiformis), cendawan pathogen serangga untuk wereng (Hirsutella) dan bakteri antifrost. Salah satu mikroba itu, PGPR, merupakan hasil dari risetnya di Ciremai.
Suryo Wiyono selaku Ketua Gerakan Petani Nusantara (GPN) telah mengaplikasikan mikroba PGPR Ceremai dan mikroba anti frost yang dikembangkan di Laboratorium Taman Nasional untuk dimanfaatkan oleh para petani di bawah naungan kawasan konservasi hutan Lindung Ceremai, Kabupaten Majalengka.
"Pemahaman selama ini bahwa Taman Nasional hanya bermanfaat menyimpan air, jasa lingkungan seperti kesejukan dan keindahan alam dan lain-lain. Sehingga tidak bisa dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar, akan tetapi para petani di kawasan konservasi Gunung Ceremai bisa memberikan peningkatan ekonomi masyarakat melalui beberapa penemuannya untuk peningkatan produksi hasil pertanian," tutur Suryo Wiyono.
Berkat kiprahnya meningkatkan produksi pertanian di kawasan konservasi hutan sekitar Gunung Ceremai tersebut, Suryo Wiyono meraih penghargaan kategori dedikasi pada penemuan sumber daya genetika bermanfaat pada ajang Anugerah Konservasi Alam 2021. Suryo menerima penghargaan itu pada acara Puncak Peringatan Hari Konservasi Alam Nasional Tahun 2021di Taman Wisata Alam Teluk Kupang, NTT, pada Rabu 24 November 2021.
"Dirjen KSDA Kementerian Lingkungan Hidup bersama Bapenas akan merencanakan bioprospekting atau pemanfaatan sumber daya hayati pada 2040 akan menjadi leading, yakni penggunaan sumber daya hayati yang akan berkembang di Indonesia nantinya," jelas dia.
Sumber daya hayati tersebut nantinya, menurut Suryo Wiyono, akan menjadi pendorong ekonomi yang penting. "Kalau harus menunggu tahun 2040 kapan masyarakat bisa merasakan manfaatnya," sambungnya.
Berdasarkan data Dirjen KSDA Kementerian Lingkungan Hidup, jumlah keluarga yang bernaung di kawasan hutan berjumlah 9 juta orang di seluruh Indonesia. Mereka berpotensi memberikan sumbangsih terhadap ketahanan pangan.
Sementara selama ini, penanganan konservasi kawasan hutan masih pada perspektif aspek legal seperti pada tataran pembahasan undang-undang masih pada tataran wacana dan teoritis.
Penggunaan mikroba untuk pertanian kawasan pegunungan terutama di kawasan konservasi hutan, menurut Suryo Wiyono akan segera bisa dirasakan manfaatnya secara langsung baik bagi kepentingan konservasi alam maupun kawasan konservasi alam bermanfaat langsung bagi petani di lahan penyangga konservasi.
"Bila pola budidaya pertanian di lahan penyangga konservasi tidak ramah lingkungan maka akan membahayakan kelangsungan hidup satwa di kawasan hutan lindung. Di Taman Nasional Ceremai terdapat tempat hidup satwa yang dilindungi sebagai Lambang Negara Indonesia Burung Elang," jelasnya.
"Kalau Burung Elang sebagai lambang negara mati akan bisa membahayakan simbol negara," sambung Suryo Wiyono.
Mikroba PGPR yang biangnya diambil dari pegunungan ceremai berbeda dengan PGPR pada umumnya. PGPR tersebut, menurut Suryo Wiyono, bisa meningkatkan produksi dari 30-40 persen, juga bisa mengurangi kebutuhan pupuk kimia serta petani di kawasan penyangga hutan lindung Gunung Ceremai sudah tidak menggunakan racun sama sekali.
Sedangkan biang bakteri anti frost tanaman pada ketinggian di atas 500 mdpl bisa menghalau tanaman pada cuaca dingin dengan suhu tertentu tidak mengakibatkan tanaman membeku.
Suryo Wiyono mengaku, biang bakterinya diambil dari ketinggian 500 mdpl, tapi bahan untuk hidup mikroba anti frost masih harus mendatangkan bahan dari luar negeri.
"Bahan tempat hidup bakteri anti frost sebetulnya hampir sama dengan bahan zat untuk membuat es," ujarnya.
Masyarakat sekitar hutan telah memanfaatkan mikroba hasil temuan Suryo Wiyono berupa PGPR yang isolatnya memang diambil dari kawasan konservasi hutan gunung Ceremai.
"PGPR tersebut bersama Taman Nasional Ceremai sudah diaplikasikan para petani di 57 Desa Penyangga, yaitu di Kuningan dan Majalengka. Aplikasi PGPR Ciremai dilakukan pada tanaman padi, ubi jalar, timun, tomat, bawang merah, bawang putih, kacang Panjang, jahe, jagung, kopi dan cengkeh,” ungkapnya.
Bakteri antifrost sebetulnya sudah banyak dikembangkan di luar negeri, tetapi di Indonesia pada tataran petani masih belum banyak yang menggunakan.
Selain di pegunungan Ceremai, Suryo Wiyono telah melakukan demplot bakteri antifrost di Pegunungan Dieng Jawa Tengah dan Gunung Bromo Jawa Timur. Tetapi upayanya di pegunungan Dieng mengalami kegagalan dalam aplikasi bakteri antiforst pada tanaman sayuran.
"Keluhan dari Dirjen KSDA apabila lahan pertanian penyangga kawasan konservasi tersebut kalau pola budidaya pertaniannya tidak ramah lingkungan akan membahayakan kawasan konservasi karena satwanya banyak yang mati. Seperti ular, dan elang akan mati apabila tidak ramah lingkungan. Lahan pertanian di desa penyangga kawasan konservasi hutan Cermai sudah 57 desa yang telah dibinanya sejak tahun 2018," tutur Suryo Wiyono.
Para petani yang menggunakan PGPR Ciremai telah merasakan manfaatnya. Para petani yang menggunakan mikroba besutan Suryo Wiyono ini sudah bisa mengurangi penggunaan pupuk sintetik hingga 50 persen. Selain itu para petani juga sudah bisa menurunkan penggunaan pestisida sampai 100 persen. Sementara pada sisi hasil, penggunaan mikroba ini mampu meningkatkan hasil 30-70 persen.
“Dengan penggunaan mikroba ini para petani mendapat manfaat langsung sekaligus juga bisa berkontribusi menjaga keseimbangan alam. Dengan menggunakan mikroba ini penggunaan input kimia sintetis jadi terbatas. Jadi ekosistem lebih terjaga” ujar Suryo Wiyono.