Survei Kebabasan Pers, Jurnalis Dirundung Beragam Masalah
Kemerdekaan pers di Indonesia masih menghadapi sejumlah persoalan disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang dimulai pada Maret 2020 sampai saat ini.
Dampak Pandemi
Yaitu bekurangnya pendapatan perusahaan pers sehingga berakibat pada kesejahteraan wartawan, masih terjadinya kekerasan terhadap wartawan, makin tergerusnya audiens media massa karena peran media sosial sebagai sumber informasi sehingga ketergantungan kepada media massa berkurang.
Temuan ini muncul dari hasil survei Indeks Kemerdekaan Pers yang dilakukan di 34 provinsi, di lingkungan Fisik dan Politik, Lingkungan Ekonomi, dan Lingkungan Hukum pada 12 responden di setiap provisi, yang terdiri dari wartawan, pengusaha pers, pemerintah, dan masyarakat.
Dilansir dari siaran pers Dewan Pers, ditemukan pula ketergantugan perusahaan pers di daerah yang besar pada kerja sama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten-kota, untuk menghidupi opersionalnya. Hal ini secara langsung atau tidak langsung memengaruhi independensi pers berhadapan dengan kekuasaan.
Wakil Ketua Dewan Pers Henry Ch Bangun dalam pembukaan acara “Peluncuran Hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers 2021”, Rabu 1 September 2021, mengungkapkan, pandemi Covid-19 membuat banyak perusahaan pers mengalami penurunan pendapatan karena merosotnya kegiatan perekonomian.
Kondisi ini menurutnya juga ditemukan pada hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers 2021. Sehingga mendorong perusahaan pers mencari sumber pemasukan antara lain dari anggaran iklan pemerintah daerah.
Survei Kemerdekaan Pers
Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Pers, Dewan Pers, Ahmad Jauhar, pada sambutan pengantarnya menjelaskan bahwa sejak tahun 2016 Dewan Pers melakukan survei untuk menyusun indeks kemerdekaan pers (IKP), dengan tujuan mengetahui perkembangan kondisi kemerdekaan pers di Indonesia.
Survei IKP pada tahun 2021 dimaksudkan untuk mengetahui kondisi kemerdekaan pers di Indonesia selama tahun 2020. Terpilih selaku pelaksana teknis survei pada tahun 2021 yaitu PT Sucofindo.
Mengutip hasil survei, Ahmad Jauhar menyatakan, selain ketergantungan yang cukup tinggi perusahaan pers pada pemasukan dari iklan pemerintah daerah, juga ada masalah kekerasan terhadap wartawan yang masih terjadi di beberapa daerah.
“Juga ada soal terkait penanganan beberapa perkara pers, menggunakan jalur hukum pidana, padahal mestinya melalui mekanisme di Dewan Pers sesuai Undang - Undang nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” ujarnya.
Acara “Peluncuran Hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers 2021” menghadirkan penanggap Usman Kasong dari Kementerian Kominfo, Dewi Sri Soetijaningsih dari Bappenas, Wapemred harian Kompas Tri Agung Kristanto, serta akademisi dari UGM Kuskridho Ambardi.
Hasil Survei IKP 2021
Sementara peneliti dari PT Sucofindo, Ratih Siti Aminah menyampaikan bahwa nilai IKP 2021 mencapai angka 76,02, artinya bahwa kehidupan pers selama tahun 2020 termasuk “cukup bebas”. Rentang nilai yang masuk kategori “cukup bebas” adalah 70-89.
Sedangkan nilai 90-100 merupakan kategori “bebas”. Selanjutnya berturut-turut kategori “agak bebas” yaitu 56-69; “kurang bebas” (31-55) dan tidak bebas (1-30). Dibanding nilai hasil survei IKP 2020 yang mencapai 75,27, nilai IKP 2021 naik sangat tipis yaitu 0,75.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa secara umum kondisi kemerdekaan pers selama tahun 2020 – yaitu kondisi yang diamati dalam survei tahun 2021 – tidak mengalami perubahan signifikan dibanding tahun sebelumnya. Namun,dilihat nilai per indikatornya terjadi pergerakan cukup dinamis.
Kebebasan Media Alternatif
Pada kondisi Lingkungan Fisik dan Politik, indikator Kebebasan Berserikat bagi Wartawan memiliki peringkat tinggi pada survei IKP 2019 – 2021. Selama tiga tahun berturut- turut (2019 – 2021) indikator Kebebasan Berserikat bagi Wartawan selalu menempati peringkat pertama, yang mengindikasikan bahwa tidak banyak ditemukan adanya intervensi perusahaan pers terhadap wartawan untuk mengikuti organisasi wartawan maupun serikat pekerja di daerah.
Kebebasan Media Alternatif yang menempati urutan ke 2 tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat cukup bebas untuk menciptakan media alternatif dengan kegiatan jurnalisme warga hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Merebaknya media alternatif beriringan dengan penetrasi teknologi informasi secara nasional, akses internet yang berkembang hampir merata, telah membuka kran informasi lebih luas, termasuk bagi kelompok rentan.
Kualitas Jurnalistik Buruk
Namun, terkait isi informasi yang dihasilkan oleh jurnalisme masih perlu ditingkatkan kualitasnya. Pada kondisi Lingkungan Fisik dan Politik terdapat dua indikator, yaitu Akurat dan Berimbang (#16) dan Kesetaraan Akses bagi Kelompok Rentan (#17) yang masih memiliki permasalahan.
Permasalahan pada indikator Kesetaraan Akses bagi Kelompok Rentan terutama terkait dengan belum terlaksananya media massa daerah dalam menyiarkan berita yang dapat dicerna oleh penyandang disabilitas, misalnya, bagi penyandang tunarungu dan tunanetra.
Pada Lingkungan Ekonomi, rendahnya nilai indikator Independensi dari Kelompok Kepentingan yang Kuat terutama disebabkan oleh subindikator yang terkait dengan ketergantungan perusahaan pers pada sumber pendanaan dari pemerintah, partai politik, kekuatan politik lain, maupun perusahaan besar.
Hal ini semakin nyata karena melemahnya situasi ekonomi pada situasi pandemi Covid-19 yang menyusutkan jumlah pendapatan dari iklan-iklan komersial. Sehingga ketergantungan perusahaan pers pada sumber pendanaan, terutama dari pemerintah semakin besar. Ketergantungan yang besar ini memengaruhi independensi ruang redaksi dan kualitas pengelolaan perusahaan pers.
Kesejahteraan Wartawan Buruk
Pada Lingkungan Ekonomi masih terdapat satu lagi indikator yang memiliki persoalan, yaitu Tata Kelola Perusahaan yang Baik.
Pada indikator ini, persoalan yang paling banyak dibahas adalah kesejahteraan wartawan. Banyak wartawan di daerah yang tidak mendapat gaji ke-13 atau tunjangan hari raya (THR) setara upah minimum provinsi (UMP) dalam satu tahun, beserta jaminan sosial lainnya sebagaimana di atur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers.
Hal ini menyebabkan ketergantungan media pada dana pemerintah daerah, maraknya praktik amplop, dan penerimaan bantuan dari pihak lain yang dapat tengganggu independensi wartawan.
Pada kondisi Lingkungan Hukum, terdapat dua indikator dengan nilai yang rendah, yaitu Etika Pers (#15) dan Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas (#20).
Persoalan etika pers banyak terkait dengan praktik wartawan menerima amplop meski ada yang menyatakan bahwa hal tersebut tidak memengaruhi independensi kerja wartawan.
Pemberitaan Bombastis
Persoalan lainnya yang masih sering muncul adalah pemberitaan yang tidak sesuai etika jurnalistik, yaitu pemberitaan yang tidak berimbang, mengabaikan akurasi, dan sensasional.
Sementara itu, hasil IKP tahun 2017-2020 menunjukkan adanya satu indikator, yaitu Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas yang secara konsisten berada pada nilai paling rendah.
Memang, nilai pada indikator sempat mengalami kenaikan. Pada IKP 2017, indikator ini mendapat nilai 34,22, IKP 2018 mendapat nilai 43,92, IKP 2019 mendapat nilai 56,77, dan pada IKP 2020 mendapat nilai 63,56.
Namun pada IKP 2021 mendapat nilai 60,66. Artinya, nilai Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas ini masih tetap berada dalam kategori “Sedang” atau pada kondisi kebebasan pers “Agak Bebas”.
Penilaian ini sesuai dengan fakta bahwa di 34 provinsi yang disurvei, belum ada peraturan yang mendorong media massa untuk menyiarkan berita yang dapat dicerna oleh penyandang disabilitas, seperti penderita tunarungu dan tunanetra.
Masih seperti tahun-tahun sebelumnya, persoalan indikator Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas tak pernah tuntas diatasi. Pemerintah daerah dari tahun ke tahun belum memprioritaskan pada persoalan ini.
Di sisi lain, perusahaan pers umumnya juga beum memprioritaskan upaya untuk melayani kepentingan para penyangdang disabilitas ini.
Advertisement