Suro Sisik
Meski baru bersifat informal, pertemuan tiga kepala daerah baru ini menggembirakan. Mereka adalah Walikota Surabaya Eri Cahyadi, Bupati Sidoarjo Muhdlor, dan Bupati Gresik Fandi Ahmad Yani.
Ketiganya pemimpin kota dan kabupaten hasil Pilkada Serentak 2020. Semuanya masih muda-muda. Politisi didikan perguruan tinggi ternama di Surabaya. Kini menjadi orang pertama di daerah penggerak ekonomi Jawa Timur.
Seminggu sebelum pelantikan, ketiganya bertemu sebuah hotel di Surabaya. Mereka membuat komitmen bersama untuk meningkatkan kerjasama yang makin erat antara ketiga daerah ini.
Tiga daerah yang sejak lama saling menyangga. Yang mobilitas penduduk di ketiga daerah administrasi pemerintahan ini sangat tinggi. Yang potensial menjadi kawasan Megapolitan ke depan.
Biar gampang kita sebut saja Suro Sisik: Surabaya-Sidoarjo-Gresik.
Eri Cahyadi, walikota Surabaya yang berlatar belakang birokrat murni. Ia lama menjadi Kepala Badan Perencanaan Kota (Bapeko). Terbiasa bikin planning matang.
Eri bisa diharapkan menjadi inisiator aktif menggandeng Sidoarjo dan Gresik untuk kerjasama yang lebih baik. Khususnya kerjasama dalam perencanaan pembangunan yang saling tersambung satu sama lain.
Harapan itu makin besar dengan pemimpin baru di Gresik dan Sidoarjo.
Fandi Ahmad Yani, Bupati Gresik basisnya pengusaha-politisi. Mantan Ketua DPRD Gresik ini berasal dari keluarga pengusaha asli kota santri itu.
Latar belakangnya yang pengusaha akan lebih lincah dalam membangun kolaborasi dan sinergi. Sesuatu yang semakin utama dalam dunia bisnis modern.
Ahmad Muhdlor, Bupati Sidoarjo debutan baru. Pendidik dan putra kiai besar KH Agus Ali Mashuri. Sarjana Fisip Universitas Airlangga. Memenangkan pertarungan karena mampu menggerakkan para santri muda.
Pokoknya inilah tiga sosok pemimpin muda yang akan menentukan kawasan ini lebih ruwet seperti Jakarta dan sekitarnya atau semakin tertata. Harapan besar terpikul di pundak ketiganya.
Sebelum era otonomi daerah, gagasan membangun kluster pembangunan Ibukota Jawa Timur sudah digaungkan. Melalui sebutan Gerbang Kertosusila. Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya dan Lamongan.
Saat itu inisiatif kerjasama antar daerah muncul dari gubernur. Bersifat top down. Model pembangunan yang menjadi pendekatan di zaman Orde Baru. Ketika Presiden Soeharto berkuasa 32 tahun.
Sebelum otonomi daerah, Gubernur memang betul-betul menjadi wakil pusat di daerah. Bupati dan walikota seperti anak buahnya. Sehingga otoritas untuk memaksa kabupaten dan kota kerjasama sangat besar.
Isu pengembangan Gerbang Kertosusila hilang bersamaan dengan desentralisasi pemerintahan. Dengan menjadikan kota dan kabupaten sebagai daerah otonom melalui UU Otonomo Daerah yang berlaku sejak 2001.
Bahkan, pemberlakuan UU tersebut sempat melahirkan raja-raja baru di daerah. Yang membuat gubernur seakan tak punya tangan untuk ikut mengatur kota dan kabupaten. Makin menjadi-jadi setelah Pilkada Langsung sejak 2005.
Ini sisi kelam pemberlakuan otonomi daerah.
Sisi terangnya, kompetisi untuk memajukan daerahnya masing-masing makin kuat. Bupati dan walikota harus kerja keras untuk berbuat baik agar bisa terpilih kembali. Bersaing lebih unggul dari daerah lain dan menarik hati rakyat untuk dipilih kembali.
Namun, model pembangunan yang egosentris tidak menyelesaikan masalah di lapangan. Kemajuan di sebuah kota akan menciptakan problemnya sendiri yang selalu membutuhkan daerah pendukung lainnya.
Surabaya, misalnya. Ia tak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan Sidoarjo dan Gresik. Mobilitas manusia dari dan ke dua kabupaten yang berdekatan ini sangat tinggi.
Bahkan, industri jasa di kota terbesar kedua di Indonesia ini sangat tergantung kepada keduanya. Karena itu, akses jalan maupun alat transportasi publik perlu direncanakan matang bersama.
Dalam konteks inilah, kerjasama yang makin erat antara Pemkot Surabaya dengan Pemkab Sidoarjo dan Gresik menjadi sangat siginifikan. Kesadaran masing-masing kepala daerah tersebut untuk berkolaborasi sangat penting.
Karena itulah, pertemuan Eric Cahyadi, Fandi Ahmad Yani dan Ahmad Muchdlor sebelum mereka dilantik sangat menggembirakan. Pertemuan itu menjanjikan kepemimpinan kolaboratif yang sejak otonomi daerah pernah hilang.
Tampaknya pembangunan yang lebih baik di wilayah Suro Sisik bukan sesuatu yang tak mungkin. Bahkan bisa menjadi awal dari perwujudan Megapolitan baru di Indonesia yang lebih nyaman dan ramah.