Sebagai dokter, saya selalu mengupayakan tindakan medis terhadap pasien, tak pernah memberikan jaminan keberhasilan suatu tindakan medis, termasuk kepada Pasturi Tommy Han dan Evelyn Saputra yang menginginkan bayi laki-laki pada program bayi tabung. Seperti halnya, pada pasien-pasien lain, kepada pasturi tersebut, saya juga memberikan penjelasan dan pernyataan sejak konsultasi hingga ketika henak menjalankan penanaman embrio, termasuk adanya kemungkinan miss-diagnosis seperti bayi lahir tidak sesuai jenis kelaminnya yang tidak bisa dihindarkan juga telah saya sampaikan. Pasangan Tommy dan Evelyn datang pertama kali ke praktek saya di RS Siloam, pada bulan November 2014 dan ingin program hamil. Namun, saat itu putri pertamanya masih berusia bayi. Saya sarankan untuk penundaan sampai setahun lagi karena ada pertimbangan infertilitas. Setelah itu, pasturi tersebut masih datang hingga tiga kali setelahnya. Sampai kemudian pada November 2015 (setahun kemudian), pasien memutuskan untuk mengikuti program bayi tabung dan dalam kesempatan tersebut menyebutkan menginginkan bayi laki-laki. Pada kesempatan tersebut pula, saya sampaikan bahwa saya akan mengupayakan dan kemudian saya terangkan resiko program pemilihan bayi tabung dengan teknik preimplantation genetik diagnosis/screening (PGD/S) yang memiliki kemungkinan meleset atau missdiagnosis bisa mencapai 10-15 persen. Setelah pasien menandatangani informed consent secara sukarela dan mengetahui segala resiko yang mungkin terjadi, proses dimulai. Tim bayi tabung kami telah memberikan penanaman satu embrio yang terbaik dengan teknik preimplantation genetik diagnosis/screening (PDG/S) tersebut. Awalnya, hasil PGD/S menunjukkan hasil normal dan kemungkinan laki-laki. Sesuai dengan penjelasan saya sebelumnya, hal ini bukan sebagai jaminan atau kepastian kelahiran bayi berjenis kelamin sesuai yang diinginkan. Kami berhasil melakukan program bayi tabung dan pada bulan Desember 2015 pasien dinyatakan hamil. Setelah itu, pasien tidak lagi melakukan konsultasi kepada kami di klinik ataupun laboratorium Siloam Hospital. Pada April 2016, pasien kembali datang berkonsultasi dan cek kandungan ke beberapa dokter. Hasilnya, janin yang dikandung ternyata perempuan. Dalam perjalanannya, pada 30 Mei 2016 Tim kami pindah praktek di Klinik Ferina yang kemudian menjadi RSIA Ferina pada 4 April 2017. Sejak itu saya beberapa kali menerima tekanan berupa SMS dan telpon dari pasturi tersebut. Karena adanya keprihatinan terhadap kekecewaan pasien pasturi tersebut, kami kemudian bekerja sama dengan mediator untuk merundingkan masalah yang dihadapi pasturi Tommy dan Evelyn, sampai akhirnya didapatkan kesepakatan yang dituangkan dalam surat pernyataan yang ditandatangani oleh pasturi tersebut bahwa pasturi secara sukarela menjadi peserta bayi tabung, mengetahui resiko terhadap kemungkinan misdiagnosa 15 persen dan menyesal atas terjadinya miskomunikasi, minta maaf dan tidak akan mempermasalahkannya dimasa-masa yang akan datang. Dalam kesepakatan tersebut, diberikan uang sebagai ganti rugi atas kekecewaan dan tuntutan dari pasien tersebut sebesar Rp 100 juta. Terkait masalah kesehatan pada bayi yang dilahirkan, sebagaimana bayi dalam kehamilan normal, bayi dalam program bayi tabung juga dapat mengalami berbagai kemungkinan yang sama dengan kehamilan normal. Namun, hal itu bukan menjadi kompetensi dan kewenangan kami atau bukan lantaran adanya malpraktek. Bayi yang lahir bisa saja kondisinya buruk karena perawatan sebelum, selama dan setelah kelahiran, maupun penyebab lainnya. Masalah belum selesai, pasturi Tommy dan Evelyn beserta pengacaranya kemudian mengajukan laporan kepolisan di Polda Jatim, pada Maret 2017, yang oleh Polda kemudian dilimpahkan kepada Polrestabes Surabaya. Laporan diberikan atas tuduhan penipuan, penggelapan dan kelalaiannya yang menyebabkan orang lain luka. Kami menjalani penyelidikan selama dua bulan oleh Polrestabes yang menerima pelimpahan berkas perkara dari Polda. IDI Surabaya juga berperan dalam menyelidiki adanya unsur malapraktik. Saya selalu berusaha taat hukum, semua proses hukum kami ikuti dari awal, sesuai prosedur yang ada di Kepolisian. Tidak berhenti di situ saja, pada tanggal 2 Mei 2017, pasturi tersebut juga melayangkan gugatan keperdataan ke PN Surabaya dengan tuntutan kerugian materiil sebesar Rp 3 Miliar, kerugian imaterial sebesar Rp 30 Miliar dan denda serta bunga sebesar Rp 100. Total senilai 33 Miliar 100 juta rupiah. Setelah dilakukan penyelidikan atas laporan tindak pidana oleh pasturi tersebut dengan pengacaranya, Polrestabes akhirnya berkesimpulan bahwa tidak cukup bukti, sehingga mengeluarkan surat penghentian penyidikan pada 14 Juni 2017. Untuk kasus perdata tersebut, saya telah memberikan kuasa kepada Ibu Ening Swandari, SH dengan pesan agar terus mengikuti jalannya proses sidang yang bergulir. Ibu Ening sesuai dengan kesepakatan, selalu hadir, sebaliknya menurut laporan Ibu Ening, pihak penggugat beberapa kali tidak menampakan keberadaannya selama sidang. Bahkan dalam persidangan pada tanggal 11 Juli 2017, pengacara saya Ibu Ening hadir, demikianpun penggugat. Sidang akan dilanjutkan kembali pada tanggal 1 Agustus 2017. RS Siloam