Surat-Surat Kartini dan Inspirasi Al-Quran, Ini Faktanya
Eksistensi Kartini adalah kesadaran literasi. Ia menulis surat. Menyampaikan renungan, kontemplasi akan kegelisahan intelektualnya.
Sejumlah buku menjadi bukti adanya surat menyurat Kartini, perempuan kelahiran Jepara, 21 April 1879 (meninggal dunia pada 17 September 1904). Yang populer adalah Habis Gelap Terbitlah Terang (diterjemahkan Armyn Pane).
Kajian tentang surat-surat Kartini terus berlangsung hingga kini. Seperti dilakukan Sulastin Sutrisno, dalam Surat-Surat Kartini Renungan tentang dan untuk Bangsanya, dan Kartini: Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya.
Sedang biografi Kartini, cukup populer karya Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja dan Siti Soemandari Soeroto, Kartini: Sebuah Biografi.
Sejarah Surat-Surat
Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “Door Duisternis Tot Licht” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Ajaran Islam yang ada di lingkungan Kartini sangat terbatas dan dibatasi gerak-geriknya oleh Belanda karena hal ini bisa membahayakan kekuasaannya. Sehingga wajar saja bila Kartini tidak mengerti tentang Islam kecuali hanya kulit semata tanpa diberi maksud mengapa atau apa maksud kata atau mengerjakan amalan yang ada dalam Islam.
Kartini, menurut Pramoedya, adalah seorang yang religius, tanpa berpegang pada bentuk-bentuk keibadahan atau syariat. Jadi, ia termasuk golongan javanis Jawa, atau golongan kebatinan. Dalam pandangan Kartini, Tuhan dipahami sebagai sumber hidup yang mengikat setiap orang dengannya, tak peduli apapun agama yang dianut.
Bahkan bagi si ateis sekalipun, sebagaimana jelasnya dinyatakan dalam hubungan dengan buku Edna lyall We Two. Ia dapat menerima agama apapun, dan ia tidak dapat menerima pemutarbalikan atas agama apapun, sebagaiman halnya pernyataannya dalam hubungan dengan buku Sienkiewicz Qua Vadis?
“……agama yang sesungguhnya ialah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk, baik sebagai Nashrani maupun Islam dan lain-lain.”
“Agama dimaksudkan supaya memberi berkah. Untuk membentuk tali silaturrahim antara semua makhluk Allah, berikut putih maupun cokelat. Tidak pandang pangkat perempuan atau laki-laki, kepercayaan, semuanya kita ini Anak Bapak seorang itu, Tuhan yang Maha Esa! Tiada Tuhan selain Allah! Kata kami orang Islam, dan bersama-sama kami semua yang beriman, kaum monotheis, Allah itu Tuhan, Penciptam Alam Semesta.
Anak Bapak yang Maha Esa, laki-laki dan perempuan jadi saudara harus saling mencintai, yaitu menolong dan membantu. Saling menolong dan membantu, serta saling mencintai, itulah dasar segala agama.
Aduhai! Seandainya agama itu dipahami dan dipatuhi, maka akan terwujudlah maksud yang murni bagi umat manusia, ialah Berkah!
Meski agama itu baik, tapi yang membuat kami tidak menyukai agama, bahwa pemeluk agama yang satu menghina, membenci kadang-kadang mengejar-ngejar pemeluk agama yang lain.
Kartini sangat mengecam tindakan yang tidak mencerminkan kasih sayang yang dilakukan oleh orang yang memeluk agama. Entah orang Islam atau selain Islam, jika perbuatannya tidak mencerminkan kasih sayang dan menggunakan kedok agama, Kartini sangat mengecam perkara tersebut.
Bukan hanya penganut Islam yang dikritik, akan tetapi Kristen pun juga tidak luput dari kritikannya. Hal ini disebabkan karena Kartini memandang bahwa penganut agama itu adalah mewakili dalam tafsiran agamanya tertentu.
“Kami tidak peduli agama mana yang dipeluk orang atau bangsa mana dia,jiwa besar tetap jiwa besar , akhlak tetap tetap akhlak mulia. Hamba Allah ada pada tiap-tiap agama, ditengah-tengah tiap bangsa”
“Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, langkah baiknya, jika tidak pernah ada agama. Sebab agama yang seharusnya mempersatukan semua manusia, sejak berabad- abad lalu menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan darah. Orang-orang seibu sebapak ancam mengancam berhadap-hadapan, hanya berlainan cara mengabdi kepada Tuhan yang Maha Esa dan yang sama. Orang-orang berkasih-kasihan dengan cinta yang amat mesra, dengan sedihnya bercerai-berai. Perbedaan gereja, tempat menyeru Tuhan yang sama, juga membuat dinding pembatas bagi dua hati yang berkasih-kasihan. “Betulkah agama itu berkah bagi umat manusia?”
Tanya saya ketika bimbang dengan diri sendiri. Agama yang seharusnya menjauhkan kita dari perbautan dosa, justru menjadi alsan yang sah kita berbuat dosa. Coba berapa banyaknya dosa yang diperbuat atas nama agama itu?".
Lambat laun, ilmu dan pengalaman Kartini semakin bertambah, sehingga, nama Allah yang asalnya hampa, sebuah kata hanya sebutan saja, kini menjadi bermakna baginya dan membuat hatinya tenang. Kartini merasakan sebuah kebahagiannya dalam beragama.
“Allah atau Tuhan, bagi kami sekarang bukanlah ucapan hampa lagi. Kata itu, aduhai sangat banyak diucapkan orang tanpa dipikirkan. Kini bagi kami bunyinya kudus, suci. Terima kasih, terima kasih sekali, bahwa nyonya telah menyingkapkan tirai yang ada dihadapan kami, sehingga dapat menemukan yang lama kita cari.
Seandainya saya dapat mengatakan, betapa tenangnya, betapa damainya sekarang di dalam diri kami. Betapa bahagianya kami, bahagia hening, aman sentosa. Tidak ada rasa takut, tidak ada rasa gentar lagi. Kami merasa sangat aman, sangat tenang! Ada dzat yang melindungi kami. Ada dzat yang selalu dekat dengan kami. Dan dzat itu akan menjadi pelindung hati kami, pendukaung kami, tempat kami berlindung dengan aman dalam hidup kami selanjutnya. Itu sudah terasa oleh kami.
Ya, sesungguhnyalah, Tuhan tidak memb eri seorang pun kewajiban yang amat berat. Tuhan member masing- masing kekuatan untuk pekerjaan yang ditugaskannya kepada tiap orang.”
Meskipun Kartini menganut ajaran Islam, ia tidak mau menciderai teman-temannya yang beragama lain. Jika menjelaskan tentang sebuah ketuhanan, Kartini berusaha menggunakan kalimat atau istilah yang dipaham oleh sahabat-sahabat penanya.
Dalam masalah teologi, Kartini sering memakai kata-kata Allah atau Tuhan. Kartini pernah memakai kata Bapak, Anak dia, yang bertahta di ataslangit. Hal ini bertujuan untuk memahamkan orang yang diajak berbicara, baik secara langsung maupun melalui sebuah surat.
Agama Kartini adalah Islam. Jika Kartini beragama Islam, Tuhannya pasti Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah telah diakuinya sendiri. Kartini tidak pernah berikrar bahwa Tuhannya selain Allah. Barang siapa yang berikrarla ilaa ha illAllah (tidak ada Tuhan selain Allah), maka dia dihukumi Islam secara lahirnya.
Ya, meskipun awal perjalanan teologi Kartini hanya sebuah sebutan hampa, yang mana ia tidak mengenal makna dan tujuannya, akan tetapi dengan perjalanan waktu, akhirnya ia dapat mengetahui rasa buah keimanannya yang selama ini terbungkus.
Kartini, meskipun dalam surat-suratnya sering mengkritisi ajaran Islam sebab adanya oknum yang menyalahgunakan dan memang sengaja dijauhkan dari Islam, dengan penuh kesabaran ia mengamalkan syariat Islam sesuai dengan kemampuannya, seperti berpuasa, ziarah kubur, dan dipoligami.
Pada awalnya, Kartini memang sangat mengecam poligami, bahkan boleh dikata, poligami adalah musuh besarnya. Akan tetapi, karena kedalaman Kartini terhadap agama Islam semakin tinggi, akhirnya ia mau untuk dipoligami.
“Pada awal bulan Puasa, kalau orang tuanya (Kartini) pergi berziarah, dia dan saudara-saudara yang perempuan boleh ikut.”
“Selamat ulang tahun Berthie yang manis dan budiman.semoga panjang umur dan sehat selalu. Saya mohon maaf jika hanya bisa mengirim kartu. Sebenarnya saya ingin menulis surat yang panjang lebar, tetapi karena berbagai keadaan tidak mengizinkannya sehingga saya berbuat demikian.
Bagi kami orang Islam, bulan Puasa adalah bulan yang penuh dengan kesibukan. Sekarang ini pertengahan bulan dan banyak hal lain yang tidak mungkin saya katakan. Sampai sesudah tahun baru, akan tiba surat yang panjang untuk menjawab suratmu Berthie.”
Dalam suratnya di atas, Kartini mengatakan bahwa ia tidak bisa membalas surat Berthie karena kesibukanya dalam menjalankan agenda yang di bulan puasa. Di bulan puasa memang banyak kegiatan yang bermakna ibadah. Seorang yangmenjalankan ibadah puasa harus menahan lapar dan dahaga mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Wajar saja bila aktivitas ini membuat lelah kartini. Surat panjang lebar yang seharusnya di tulis terpaksa ditundanya terlebih dahulu. Biasanya umat Islam yang mengerjakan puasa mengurangi aktifitasnya untuk fokus menjalankan ibadah puasa dan amalan–amalan yang sudah menjadi tradisi di bulan ramadhan seperti ibadah Shalat Terawih.
Dalam kajian, judul Habis Gelap Terbitlah Terang, sesungguhnya diambil dari Al-Quran, minazzulumati ilan nur (dari kegelapan menuju cahaya) (QS Ibrahim [14]: 1).
Dan memang, dalam kenyataan Kartini mendapat ilmu keagamaan Islam dari KH Sholeh Darat (Semarang). Ulama yang menjadi guru dua kiai besar Indonesia: KH Muhammad Hasyim Asy'ari (Pendiri Nahdlatul Ulama) dan KH Ahmad Dahlan (Pendiri Persyarekatan Muhammadiyah).
Demikian wallahu a'lam.
Advertisement