Suram Ramadhan di Jalur Gaza
Rakyat Palestina di Jalur Gaza memasuki Bulan Suci Ramadhan dengan kepedihan yang besar akibat kondisi ekonomi yang memburuk dan pembunuhan baru-baru ini puluhan orang yang mereka cintai oleh tembakan Israel.
Sedikitnya 63 orang Palestina telah tewas dan lebih dari 3.000 orang lagi cedera dalam tiga hari belakangan dalam bentrokan berdarah dengan tentara Israel di sepanjang perbatasan dengan Israel.
Protes anti-Israel yang berlangsung di Jalur Gaza, yang dikenal dengan nama "Pawai Akbar Kepulangan", diluncurkan pada 30 Maret dan membuat tak kurang dari 111 orang Palestina menemui ajal.
Pertemuan terbuka tersebut mencapai puncaknya pada Senin, 14 Mei 2018, hari ketika Israel memperingati deklarasi kemerdekaannya, dan mengakibatkan 60 orang Palestina tewas dan ratusan lagi cedera.
Protes pada Senin juga dilancarkan sebagai reaksi atas pemindahan Kedutaan Besar AS untuk Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem. Palestina ingin bagian timur kota suci tersebut sebagai Ibu Kota Negara masa depan mereka.
Sementara itu, gerakan komersial di pasar Jalur Gaza telah sangat terbatas di tengah kemerosotan parah ekonomi akibat blokade Israel selama satu dasawarsa.
Ramadhan adalah perayaan agama Islam, saat umat Muslim tidak makan, minum dan melakukan hubungan seksual dari fajar sampai senja.
Dalam persiapan bagi bulan suci itu, rakyat Jalur Gaza mengunjungi pasar untuk membeli bahan makanan dan berbagai jenis manisan, permen serta minuman dingin.
Namun, kurangnya uang kontan akibat tingginya angka pengangguran dan kemiskinan telah membuat rakyat Jalur Gaza hanya mampu membeli makanan pokok dan bukan barang kesenangan lain.
"Ramadhan tahun ini menyedihkan. Hidup sangat sulit buat rakyat di Jalur Gaza," kata Saeed Al-Bitar, seorang pedagang mainan di pasar tua Kota Gaza, kepada Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Sabtu pagi.
Al-Bitar, yang menjual lentera Ramadhan dan mainan, mengatakan orang cuma datang ke pasar dan melihat-lihat barang-barang. Mereka tidak mempunyai uang untuk membeli barang.
Pemotongan gaji pegawai pemerintah, yang mencapai 30 persen dari gaji kotor mereka dan telah berlangsung selama lebih dari satu tahun, membuat keadaan bertambah parah.
"Rakyat berharap mereka bisa membeli apa saja, tapi mereka tak memiliki pekerjaan, tak mempunyai uang sama sekali. Situasi di Jalur Gaza sangat sulit," kata pedagang itu.
Menurut Biro Pusat Statistik Palestina, angka pengangguran di Jalur Gaza mencapai 43,9 persen dibandingkan dengan 17,9 persen di Tepi Barat Sungai Jordan.
Kamar Dagang dan Industri Jalur Gaza memperingatkan dalam laporannya belum lama ini bahwa Jalur Gaza tak bisa menciptakan lapangan kerja mengingat tingginya angka kemiskinan dan pengangguran di kalangan dua juta warganya.
Laporan tersebut mengatakan sektor swasta di Jalur Gaza tak mampu menyediakan lapangan kerja baru dan juga tak ada pekerjaan baru di sektor pemerintah karena perpecahan politik internasional yang terus berlangsung dan kegagalan untuk mencapai perujukan nasional.
Jalur Gaza telah menghadapi blokade ketat Israel sejak Gerakan Perlawanan Islam (HAMAS) merebut wilayah itu melalui kekerasan, setelah mengusir pasukan keamanan yang setia kepada Presiden Mahmoud Abbas pada 2007.
Blokade tersebut telah mendorong warga Jalur Gaza lebih jauh lagi ke dalam kemiskinan sebab ekonomi di Jalur Gaza menunjukkan kemiskinan parah mencapai 53 persen pada 2017 dibandingkan dengan 37 persen pada 2011.
"Ramadhan tahun ini tampak berbeda. Kami dulu biasa mempersiapkan diri untuk menyambutnya dua atau tiga pekan sebelum kedatangannya," kata Fathi Abu Ayed, seorang warga yang tak memiliki pekerjaan di Jalur Gaza kepada Xinhua.
Abu Ayed menambahkan banyak orang yang tewas dan cedera baru-baru ini dalam bentrokan dengan tentara Israel di sepanjang perbatasan serta blokade membuat sulit warga Jalur Gaza untuk menyambut Bulan Suci Ramadhan.
Faida Al-Essi, ibu rumah tangga yang berusia 40-an tahun di Jalur Gaza, bertanya-tanya bagaimana rakyat Palestina di Jalur Gaza dapat merayakan Ramadhan dengan demikian banyak darah yang mengalir dan kemiskinan.
"Ini adalah Ramadhan yang sangat menyedihkan buat semua orang Palestina," kata Faida Al-Essi. (ant/frd)