Surabaya Pernah Berjuluk Negari Surapringga
Sebelum Surabaya ditaklukkan oleh Mataram pada tahun 1625, tersebut bahwa Surabaya merupakan sebuah wilayah yang kaya dan kuat. Bahkan Surabaya tersebut sebagai sebuah negara. Status ini terlihat pada penyebutan Negari Surapringga.
Gambaran Surabaya bagai sebuah negara ini terlihat ketika VOC mulai masuk mendirikan pos perdagangan di Gresik, yang kala itu merupakan wilayah dari Surabaya. Pun demikian dengan pos perdagangan, yang didirikan di Surabaya sebagai cikal bakal berdirinya sebuah benteng, Fort Belvedere, di tepian sungai Kalimas, di utara pusat pemerintahan pribumi yang disebut Keraton.
Pos, yang awalnya merupakan pos perdagangan ini, akhirnya beralih fungsi menjadi pos pertahanan. Hal ini terjadi seiring dengan perkembangan kepentingan VOC di tanah Hindia Belanda, termasuk di Surabaya.
Pada 1620 seorang penulis Belanda mendeskripsikan Surabaya sebagai negara yang kaya dan kuat dengan 30.000 tentara lapangan. Kotanya yang berukuran 37 kilometres persegi (23 mil), dikelilingi oleh kanal dan dilindungi dengan tembok-tembok kuat dan tebal, yang lengkap dengan persenjataan artileri berupa meriam-meriam.
Kehadiran bangsa Eropa, melalui serikat dagang Belanda Vereningging Oost Indies Compagnie (VOC) di Surabaya, mengawali sebuah tatanan baru yang selanjutnya menjadikan Surabaya lebih moderen. Pun demikian dengan sistim pemerintahan, yang awalnya berbentuk Kadipaten, kemudian menjadi Kabupaten. Bahkan, dikemudian hari menjadi kota, yang sekaligus sebagai ibukota propinsi Jawa Timur.
Seiring dengan dinamika perubahan dan variasi bentuk kepemimpinan di Surabaya, maka nama jabatan pun ikut berubah. Dari jabatan pangeran, adipati berganti menjadi bupati, selanjutnya muncul jabatan walikota. Belum lagi jabatan residen hingga gubernur, mengingat Surabaya tidak hanya menjadi sebuah kota otonom (hasil desentralisasi) di awal abad ke-20, tapi juga sebagai ibukota propinsi.
Kehadiran sebuah benteng, yang didirikan di tepi barat Kalimas, yang tidak jauh dari perkampungan Pecinan dan kampung Arab, pada paruh kedua abad 17 atau tahun 1677, keberadaan benteng itu juga menjadikan kawasan sekitar benteng menjadi tempat dimulainya administrasi baru, khususnya bagi orang Eropa.
Ada muncul pengurusan bea cukai, kesekretariatan kota, pemerintahan kota (stad van Soerabaja), perdagangan, perbankan, kenotariatan, gereja, sekolah, rumah sakit, galangan kapal hingga pabrik uang. Tidak ketinggalan rumah sakit, kantor kantor dan perumahan militer.
Surabaya, yang kita kenal sekarang, juga pernah berjuluk negari Surapringga. Penyebutan negari Surapringga untuk Surabaya seperti tersebut di atas diperkuat dengan beberapa bukti inskripsi. Pertama, yang masih bisa dilihat hingga sekarang, adalah sebuah inskripsi di prasasti Masjid Kemayoran. Pada isi prasasti itu disebutkan kata “Surapringga”. Bahkan disebutkan dua kali pada frase kalimas “Residen in Surapringga” dan “Negari Surapringga”.
Penyebutan Negari Surapringga sebagai gambaran sebuah negara Surabaya dapat dilihat dari keberadaan mata uang koin Jawa, yang dibuat di masa pendudukan Inggris di Hindia Belanda. Mata uang koin Jawa, yang dibuat pada tahun 1813 itu, pada salah satu sisinya berbunyi: "Kempni Hingglis, jasa ing Sura-pringga”. Artinya Perusahaan Inggris, dibuat di Sura-pringga (Surabaya).