Surabaya Next Level atau Meneruskan Kebaikan?
Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Surabaya tinggal selangkah lagi. Siapa yang akan terpilih menjadi pemimpin kota berjuluk kota pahlawan, 9 Desember 2020 mendatang?
Yang pasti satu di antara dua. Eri Cahyadi-Armuji atau Machfud Arifin-Mujiaman. Inilah pilkada yang akan seru karena hanya diikuti oleh dua pasangan yang sama-sama baru.
Sebetulnya, pilkada Surabaya 2015 lalu juga hanya diikuti dua pasangan. Yakni pasangan Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana dan Rasiyo-Lucy Kurniasari.
Namun, pertarungan pilwali saat itu tak berlangsung seru. Sebab, pasangan petahana terlalu kuat. Sementara pasangan penantang hanya ala-ala. Hasil tukar konsesi politik dengan Pacitan.
Pilkada sebelum itu selalu diikuti lebih dari dua pasangan. Seperti Pilkada tahun 2005 dan 2010. Hasilnya, pasangan yang diusung PDI Perjuangan selalu menjadi pemenang.
Mengapa demikian? Sebab, PDI Perjuangan Surabaya dikenal memiliki massa yang solid. Mereka adalah pemilih loyal yang selalu datang ke TPS saat coblosan.
Ketika suara dipecah ke semakin banyak pasangan, peluang calon PDI Perjuangan menjadi semakin besar. Sebaliknya, modal dasar partai saja tidak akan cukup jika hanya kontestasi diikuti dua pasangan.
Saat ini, semua partai non PDI Perjuangan bersatu mendukung satu pasangan yang disingkat dengan MAJU. Akankah dengan tampilnya MAJU bersama 8 partai ini, PDI Perjuangan kehilangan kursi walikota Surabaya?
Secara hitungan di atas kertas demikian. Berdasarkan hasil Pemili 2019, PDI Perjuangan meraup 28 persen suara. Ditambah dengan PSI 6 persen, maka modal dasar suara ERJI --singkatan Eri Cahyadi-Armuji hanya 34 persen.
Sementara itu, parpol lainnya mengusung MAJU. Total modal dasar suara penantang calon PDI Perjuangan ini mencapai 66 persen suara. Jika semua pemilih partai pendukung MAJU mencoblos calonnya partai, diperkirakan pasangan ini menang mudah.
Namun, perilaku pemilih dalam pilkada biasanya tidak seiring dengan perilaku pemilih dalam pemilu legislatif. Ada faktor-faktor lain non partai yang mempengaruhinya. Misalnya, figur calon, soliditas tim, dan progam maupun janji yang ditawarkan.
Dalam hal janji-janji pasangan, MAJU menawarkan isu perubahan. Mereka mengusung tagline Surabaya Next Level. Surabaya yang naik tangga dari sekadar yang seperti sekarang. Menjadikan Surabaya unggul dan mengejar ketertinggalan dari Jakarta.
Bagi MAJU, Surabaya tak hanya cukup dengan indah dan bersih. Tapi juga harus ada lompatan dalam hal ekonomi. Mereka menawarkan program menyulap kampung-kampung kumuh dan pemerataan kemajuan.
Sementara itu, ERJI sebagai pasangan yang diusung partai penguasa menawarkan meneruskan kebaikan yang telah dirintis walikota sebelumnya. Meneruskan Kebaikan Tri Risma Harini. Eric memang "anak kesayangan" walikota perempuan pertama Surabaya itu.
PDI Perjuangan kini menghadapi pilkada yang tak ringan. Lawannya cukup berat. Selain didukung 8 partai politik, sosok Machfud Arifin bukan sosok sembarangan. Ia adalah mantan Kapolda di tiga wilayah. Juga mantan Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Jokowi-Ma'ruf Amin.
MAJU juga harus kerja keras untuk berebut suara dengan lawannya yang hanya diusung satu partai. Sebab, ERJI selain disokong Walikota Tri Rismaharini yang masih berkuasa saat coblosan, mereka harus menghadapi perlawanan "hidup dan mati" partai penguasa.
Karena itu, penentunya tinggal pada kemampuan tim suksesnya dalam adu strategi sampai detik terakhir pilkada. Apakah mereka mampu menggaet suara, mendatangkan suara, dan mengamankan suara.
Bagi saya, pemilu tidak hanya adu figur dan program. Tapi juga strategi dan taktik yang digerakkan tim sukses maupun kandidat dalam memenangkan kontestasi. Figur dan program hanya penting dalam menggaet pemilih.
Strategi 3M menjadi sangat penting. Yakni, mendapatkan suara, mendatangkan suara, dan mengamankan suara. Survei yang berlangsung sampai detik ini baru hanya bisa memetakan masing-masing kandidat untuk mendapatkan suara.
Persoalannya, apakah orang yang sudah cenderung memilih salah satu kandidat akan datang ke tempat coblosan? Inilah pentingnya strategi mendatangkan suara. Bagaimana menggerakkan orang yang sudah cenderung memilih juga datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Apalagi ini pilkada dalam situasi pandemi. Diperlukan usaha ekstra keras untuk mendorong para pemilih tak takut datang ke TPS. Juga sejauh mana penyelenggara pemilu menyediakan TPS yang aman: mengikuti protokol Covid-19.
Di Amerika Serikat ada mekanisme mencoblos surat suara melalui surat. Sehingga tingkat partisipasi memilih jauh melampaui beberapa pilpres di negeri itu sebelumnya. Joe Bidden memecahkan rekor perolehan suara dari presiden sebelumnya. Trump yang kalah pun masih mendapat 70 juta suara.
Ketika pencoblosan masih seperti Pilkada dalam situasi normal, ada kemungkinan partisipasi pemilih akan lebih sedikit dibanding pilkada sebelumnya. Apalagi di daerah perkotaan. Mengharap kelas menengah dan swing votter datang ke TPS, seperti mengharap hadirnya laron di musim kemarau.
Maka, kandidat yang berhasil membangun loyalitas dan soliditas dukungan pemilih yang lebih mempunyai peluang menang. Atau mereka yang punya cara jitu dalam menerapkan strategi 3M: Menggaet Suara, Mendatangkan Suara dan Mengamankan Suara.
Jadi siapa yang akan unggul? Surabaya Next Level atau Surabaya Meneruskan Kebaikan? Kayaknya masih akan seru sampai penetapan pemenang kelak. (Arif Afandi)
Advertisement