Surabaya, Metropolitan yang Kekurangan Jamban (Bagian 3)
Masalah ODF ini sebenarnya bukan hanya terjadi di wilayah Wonokromo dan Tegalsari. Dua wilayah ini sebenarnya masih masuk wilayah pusat kota. Apalagi Tegalsari, yang hanya brjarak 200 meter dari pusat perbelanjaan legendaris Plasa Tunjungan dan pusat perkantoran. Ketersediaan jamban sehat sebenarnya masih menjadi masalah Surabaya secara keseluruhan. Karena masih banyak kelurahan lain yang juga belum bebas BAB sembarangan atau minimal BAB di jamban sehat.
Jika melihat data Profil Kesehatan Surabaya 2014 dan 2015, Dinas Kesehatan Kota Surabaya mengklaim jika persentase warga yang mengakses jamban sehat sudah di atas 90 persen. Kecuali wilayah Sidotopo yang masih 78,6%. Tapi jangan girang dulu dengan data itu. Karena data ini adalah yang berhasil dijangkau oleh ibu-ibu Dasa Wisma di masing-masing kelurahan. Bisa jadi data tersebut tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya di lapangan.
Misalnya saja, berdasarkan data Profil Kesehatan 2015 menyebut, jumlah rumah yang ada di kota Surabaya pada tahun 2015 adalah sebanyak 654.451 rumah. Namun tak semua rumah itu bisa dijangkau oleh Dasa Wisma. Mereka hanya menjangkau 34,09 % dari jumlah jumlah keseluruhan rumah yang ada di Surabaya. Dari rumah yang berhasil dijangkau itu, Dasa Wisma melaporkan rumah yang masuk dalam kategori rumah sehat sebesar 83,91%. Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Surabaya tahun 2015 yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Surabaya jamban sehat yang ada di Surabaya ada 699.475 unit.
Persoalan akurasi data ini juga yang pernah dialami Agus, saat Habitat for Humanity akan memberikan bantuan pembangunan septitank. Saat itu, kata Agus berdasarkan data dari Puskesmas, rumah yang belum memiliki septitank katanya hanya 46 atau 64 rumah saja. Agus agak lupa angka persisnya. Namun dalam kenyataannya setelah masing-masing Ketua RT mengumumkan soal bantuan septitank ini, ternyata ada 250 rumah yang belum memiliki.
“Angkanya jadi membengkak karena bisa jadi mereka terlewat saat didata atau mereka bohong karena malu dalam memberikan keterangan. Tapi saat diberitahu gratis, mereka berbondong mendaftar,” kata Agus.
Berdasarkan data Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (http://stbm-indonesia.org), dari 154 Kelurahan yang ada di Surabaya, ternyata baru 54 yang sudah ODF. Padahal jika melihat angka akses warga Surabaya ke fasilitas jamban sehat, angkanya rata-rata sudah di atas 90 persen. Harusnya, semakin tinggi akses warga ke jamban sehat, maka semakin banyak pula kelurahan-kelurahan di Surabaya yang sudah bebas BAB sembarangan.
Jika dibanding dengan kota dan kabupaten lain di Jawa Timur soal ODF, Surabaya kalah dengan Pacitan, Kota Madiun, Ngawi, dan Magetan. Empat daerah ini sudah mengantongi predikat ODF dari Kementerian Kesehatan.
Namun kata Eddy S. Soedjono, Ketua Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, membandingkan Surabaya dengan empat kota yang sudah ODF itu dianggap tidak sebanding.
“Surabaya kota besar. Masalahnya tentu lebih kompleks. Meski mempunyai APBD yang lebih besar dari empat kota itu, masalah ODF ini tak bisa semuanya diintervensi oleh APBD,” kata Edot panggilan akrab Eddy Soedjono.
Kata dia, secara teknik sebenarnya ketersediaan septitank di rumah rumah warga bisa diatasi dengan membangun cubluk yaitu dengan membuat galian dalam tanah sedalam sekitar tiga meter kemudian dimasukan bis. Pembangunan cubluk ini juga berbiaya murah antara Rp. 300-500 ribu saja.
Meski demikian, kata dia cubluk secara kesehatan lingkungan memang tak memenuhi syarat karena akan tetap mencemari tanah karena tinja. “Ada level of technology. Cubluk adalah teknologi yang paling sederhana dalam mengatasi ketersediaan septitank. Yang terpenting itu kan, kotoran manusia tak terpapar secara terbuka kemudian dihinggapi lalat dan tidak meluber,” ujar dia.
Namun dia juga tak yakin, meski cubluk berbiaya murah dan bisa menjadi solusi untuk warga miskin dan rumah berlahan sempit. Dia meragukan Pemerintah Kota Surabaya mau membangun cubluk di rumah-rumah warga yang belum punya septitank untuk atasi ODF.
“Persoalannya, rumah-rumah warga yang belum berseptitank itu biasanya rumah-rumah ilegal yang berdiri di atas tanah bukan miliknya. Mana bisa APBD digunakan untuk membangun di atas tanah ilegal,” kata dia.
Soal akurasi data ini ternyata juga menyulitkan bagi Dinas Cipta Karya yang kebagian membangun jamban sehat. Secara nasional, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengeluarkan Program 100-0-100 Program ini menargetkan pemerintah bisa mencapi 100 persen akses air minum, 0 persen kawasan pemukiman kumuh dan 100 akses sanitasi layak termasuk di dalamnya jamban sehat. Program ini ditarget tuntas pada 2019 nanti.
Namun dalam kenyataannya, program ini belum berjalan di Surabaya. Eri Cahyadi, Kepala Dinas Cipta Karya mengatakan baru akan tahun depan dijalankan. Itu pun baru sebatas perencanaan (action plan) yang akan melibatkan tim ahli dari Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS).
“Untuk air minum dilaksanakan oleh PDAM, sedangkan untuk kawasan kumuh lagi disinkronkan datanya karena saat ini ada perbedaan luasan antara data yang dimiliki Kementerian PUPR dengan SK Walikota. Sedangkan untuk sanitasi lagi dibuat action plan,” kata Eri.
Lalu berapa lama lagi Surabaya bisa menyandang predikat ODF?
Advertisement