Surabaya, Metropolitan yang Kekurangan Jamban (Bagian 2)
Surabaya dikenal sebagai kota yang bersih, nyaman, karena memiliki banyak taman. Namun di balik itu, Surabaya sebenarnya punya masalah soal Open Defacation Free (ODF) alias masih ada warga yang masih pup bukan di jamban sehat. Apa penyebabnya?
Lain Wonokromo lain di Kelurahan Tegalsari. Warga kurang mampu di Kelurahan Tegalsari termasuk beruntung. Mereka mendapat bantuan dari donatur yang disalurkan melalui Habitat for Humanity. Lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pemukiman ini, awalnya hanya menyalurkan bantuan untuk bedah rumah warga kurang mampu.
“Namun setelah kami lihat, masalahnya bukannya hanya rumah tak layak saja, namun juga urusan jamban. Maka tahun sekitar 2015 awal, kami mulai membangun septitank untuk warga,” kata Agus Arianto, Community Organizer dari Habitat for Humanity.
Urusan membangun septitank oleh Habitat for Humanity ini, hampir sama dengan arisan septitank yang dijalankan oleh warga Wonokromo. Mereka memberikan bantuan langsung berupa septitank. Bedanya, warga Tegalsari tak perlu lagi membayar angsuran, karena pembangunan septitank gratis.
Meski biaya gratis, kata Agus bukan berarti tanpa peran serta warga. Kata dia, Habitat for Humanity hanya bertanggungjawab atas pembangunan septitanknya saja. Sedangkan tanggungjawab, memberikan makan siang untuk dua atau tiga orang tukangnya, membersihkan tanah galian dan mengembalikan lantai keramik, menjadi tanggungjawab pemilik rumah.
“Jangan dikira ongkos membuang gragal (tanah bekas galian), menyediakan karung untuk gragal dan mengembalikan keramik itu murah. Hitungan kami setidaknya warga harus mengeluarkan sejuta, untuk bersih-bersih,” kata Agus.
Sejak mulai membangun septitank pada tahun 2015 sampai sekarang, Habitat for Humanity sudah berhasil membangun untuk 250 rumah warga di Kelurahan Tegalsari. Sedangkan untuk kakus komunal, Habitat for Humanity sudah membangun 8 unit.
“Sekarang kita sedang mendorong lurah untuk menetapkan Kelurahan Tegalsari sudah Open Defacation Free (ODF). Program kita akan bergeser ke kelurahan sebelahnya, yaitu Wonorejo,” kata Agus.
Nurabidah perempuan paruh baya warga Pandegiling V/206, Tegalsari, adalah salah satu warga yang merasakan manfaat dari kegiatan Habitat for Humanity ini. Sudah belasan tahun dia tinggal di rumah itu, namun belum punya jamban sendiri. Keterbatasan ekonomi menjadi penyebabnya. Suaminya hanya bekerja sebagai tukang sapu tak di SD Negeri tak jauh dari rumahnya.
Terpaksa, untuk kegiatan mandi dan pup, dia dan seluruh keluarganya menggunakan WC umum yang ada di samping rumahnya. Orang menyebutnya WC umum, tapi sebenarnya penggunaanya tidak untuk umum-umum amat. Karena kamar mandi ini hanya digunakan untuk terbatas untuk sepuluh rumah rumah kontrakan yang ada di sekitar rumah Nurabidah.
Sudah bisa dibayangkan, bagaimana rasanya menggunakan kamar mandi umum yang harus rela mengantri. Terutama di pagi hari. Belum lagi menjelang musim hujan seperti sekarang. Setiap kali musim penghujan, jamban selalu meluap. Hal yang wajar, karena jamban ini tak memiliki septitank. Hanya kloset, sedangkan kotoran langsung mengalir ke tanah.
“Kalau musim hujan biasanya airnya nyumber. Makanya meluap. Saya senang karena ada bantuan dari Habitat ini,” kata Nurabidah. (bersambung)