Surabaya, Metropolitan yang Kekurangan Jamban (Bagian 1)
Surabaya dikenal sebagai kota yang bersih, nyaman, karena memiliki banyak taman. Namun di balik itu, Surabaya sebenarnya punya masalah soal Open Defacation Free (ODF) alias masih ada warga yang masih pup bukan di jamban sehat. Apa penyebabnya?
Suatu saat terjadi cekcok antarwarga di Kelurahan Wonokromo, Surabaya. Dua keluarga rumahnya bersebelahan ini bahkan sempat mengacung-acungkan senjata tajam saat berselisih. Beruntung, pertengkaran mulut berhasil didamaikan oleh warga lainnya. Setelah ditelusur, ternyata penyebab pertengkaran menyangkut barang yang menjijikan yaitu kotoran manusia.
Ceritanya, saat seorang warga asyik makan di teras rumahnya, ia melihat kotoran manusia terapung di saluran got depan rumahnya. Nafsu makan pun menjadi buyar karena pemandangan itu. Tetangga sebelah rumah pun menjadi tertuduh.
Bukan rahasia lagi, jika tetangga sebelah tak mempunyai septitank, karena mereka dari keluarga kurang mampu. Setiap buang air besar, kotorannya langsung mengalir ke saluran got depan rumah. Kata warga yang terganggu, kejadian semacam ini bukan hanya sekali. Makanya dia, menjadi cepat emosi. Akhirnya setelah didamaikan, warga sepakat untuk membuatkan septitank secara bergotong-royong.
Sudah menjadi hal yang biasa jika rumah warga di Kelurahan Wonokromo Surabaya ada yang tak mempunyai septitank. Apalagi rumah-rumah yang berdiri di tepi-tepi sungai. Status rumah-rumah warga di tepi sungai di sekitar Wonokromo ini pun sebenarnya ilegal, karena berdiri di tanah irigasi. Tapi bukan berarti rumah yang jauh dari sungai sudah mempunyai septitank. Setali tiga uang, banyak di antara mereka yang juga belum mempunyai septitank.
Namun sekarang rumah-rumah tanpa septitank di Kelurahan Wonokromo itu, berangsur-angsur mulai berkurang. Adalah Lutmainah, perempuan paruh baya yang bekerja di bagian kesehatan lingkungan Puskesmas Wonokromo menggagas arisan jamban untuk warga.
Bu Lut, panggilannya bahkan sampai merelakan uang pribadinya sebesar Rp 10 juta nyemplung dijadikan modal awal arisan jamban. Itu terjadi sekitar 2014 lalu. Dibantu oleh Endah Retnowati, Ketua Kelurahan Siaga Wonokromo dan Upik Astuti, Ketua Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), mereka bertiga menjadi motor arisan jamban di Kelurahan Wonokromo.
“Saya bersyukur, karena memiliki kader militan seperti mereka-mereka,” kata Bu Lut memandang dua orang rekannya.
Dengan arisan jamban, warga yang rumahnya belum mempunyai septitank bisa mengajukan pinjaman untuk pembuatan septitank. Tapi jangan dibayangkan pinjaman yang diberikan kepada warga dalam bentuk uang, melainkan langsung dibangunkan septitank. Kata Endah, mereka sengaja tidak memberikan pinjaman dalam bentuk uang, karena mereka khawatir uangnya sudah habis, tapi septitanknya belum terbangun.
“Makanya, langsung kami bangun saja. Berapa total biaya yang dihabiskan, itu nanti yang akan menjadi pinjaman dan harus dibayarkan warga,” kata Endah.
Setiap septitank yang dibangun di rumah warga menghabis biaya yang bervariasi, antara Rp 900 ribu sampai dengan Rp 2,1juta. Bergantung spesifikasi jamban di masing-masing rumah. Dari biaya yang dihabiskan itu, warga bisa mencicil pinjaman tanpa dibebani bunga.
“Awalnya, kami menargetkan cicilan harus dilunasi tiga sampai lima bulan. Namun kenyataannya, meleset. Bahkan ada yang sampai setahun baru lunas,” kata Astuti.
Makanya tak heran, meski sudah berjalan sekitar tiga tahun, namun arisan jamban baru berhasil menjangkau sekitar 76 rumah yang tak berseptitank. Kredit macet pernah sampai Rp. 6 juta. Padahal modalnya hanya 10 juta. Itu pun tanpa bunga.
“Tapi sekarang, sudah jauh berkurang. Kredit macet hanya sekitar 2jutaan,” kata Astuti.
Untuk meminimalisasi angsuran macet, tak ada jalan lain bagi Lutmainah, Endah dan Astuti selain harus telaten menagih kepada warga yang masih mempunyai hutang. Berapa pun uang disetorkan warga, mereka terima, meski jumlahnya tak signifikan.
“Berapa pun tetap kami terima, yang penting arisan jamban bisa tetap berjalan, untuk menjangkau warga lain yang belum punya septitank,” kata Astuti.
Kurangnya kesadaran warga Surabaya soal jamban yang sehat menjadi salah satu penyebab mengapa warga masih enggan membangun septitank di rumahnya. Selain itu, kata Lutmainah, Surabaya di bawah kepemimpinan Walikota Tri Rismaharini, dianggap terlalu memanjakan warga Surabaya dengan berbagai kebijakan gratisnya. Sehingga seolah-olah, membangun septitank ini adalah program gratisan dari Pemerintah Kota Surabaya.
“Kita selalu mengeluh soal ini kepada Bu Risma saat dia berkunjung kemari. Kami sebenarnya juga menginginkan ada sanksi yang tegas untuk rumah yang tak memiliki septitank. Warga selalu bertanya, kenapa kami harus dibebani dengan angsuran septitank, sedangkan tetangga sebelah rumah walau tak punya septitank tidak diberikan sanksi,” kata Lutmainah.
Selain mendorong warganya agar ikut dalam arisan jamban, Lutmainah, Endah dan Astuti juga rajin mencarikan donatur dari perusahaan-perusahaan melalui corporate social responbility (CSR) dan bedah rumah yang biasa dilakukan oleh TNI.
“Tapi ya gitu, bantuan dari perusahaan-perusahaan biasanya kecil. Paling hanya bisa untuk 20 rumah. Sedangkan, yang belum punya septitank masih ratusan,” kata Endah. (bersambung)
Advertisement