Surabaya Jadi Kota Pelanggar HAM Tertinggi di Jatim
Kota Surabaya menjadi penyumbang terbanyak kasus pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM) di Jawa Timur. Dari 436 permohonan kasus yang diterima LBH Surabaya, 75 persenmya pelanggaran berada di Surabaya.
"Sebagian besar masyarakat yang datang ke LBH Surabaya adalah warga Kota Surabaya, sebanyak 75 persen," kata Direktur LBH Surabaya, Abd Wachid Habibullah, saat ditemui di kantornya, Senin 17 Desember 2018.
Berdasarkan monitoring dan catatan LBH Surabaya, sepanjang 2018, salah satu permasalahan di Kota Surabaya yang paling menonjol adalah soal pelanggaran HAM yakni, ada di sektor miskin kota, terkait penggusuran paksa dan penertiban pedagang kaki lima.
Wachid mengatakan, berdasarkan tracking media LBH Surabaya terdapat 8 kasus penggusuran rumah/bangunaan liar di Surabaya di antaranya adalah Keputih, Medokan Semampir, Osowilangon, Dinoyo, Sepanjang Kali Jagir, Tidar Gunawangsa, dan Tambang Boyo.
"Dari 8 kasus tersebut, modus penggusurannya antara lain normalisasi sungai, penaataan kota dan pelebaran jalan raya," kata dia.
Dari penggusuran paksa tersebut, jumlah korban yang terdata LBH Surabaya bahkan mencapai lebih dari 841 kepala keluarga.
Data itu, kata Wachid bisa saja bertambah karena ada beberapa kasus yang belum terdeteksi korbannya antara lain yang di Tambang Boyo, Dinoyo, Osowilangon dan Sarioso.
Selain itu kata Wachid, ada pula kasus pelanggaran yang terjadi dalam sektor penertiban pedagang kaki lima sepanjang tahun 2018 di Surabaya.
Hal itu kata Wachid membuktikan bahwa Pemerintah Kota Surabaya selama ini abai dengan keadilan rakyat miskin kota.
Sekaligus pula sebagai cerminan bahwa pemkot belum optimal layanan bantuan hukum, sebagai mana yang diamanatkan dalam UU nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum dan penerbitan perda bantuan hukum.
"Ini menjadi catatan bagi Surabaya yang selama ini disebut sebagai kota ramah HAM dan kota toleran, ternyata Surabaya masih belum bisa memenuhi hak masyarakatnya," kata Wachid.
Perda bantuan hukum itupun di kota Surabaya tahun kemarin baru diinisiasi, dan tajun ini masih dalam tahap pembahasan di DPRD. "Belum berfungsi dan belum disahkan," ucap Wachid.
Pihaknya pun mendorong agar Pemkot Surabaya sesegera mungkin membuat kebijakan untuk memastikan akses keadilan yang meluas kepada masyarakat miskin dan marjinal di Surabaya. (frd)