Surabaya Cuma Punya Calon Tunggal, Lebih Baik Pilwali Ditiadakan Saja
Surabaya akan menggelar pemilihan walikota 2024. Ini adalah pemilihan langsung pucuk pimpinan Kota Surabaya yang ke-5 pasca reformasi. Namun dalam sejarahnya, ini juga pertama kali di Surabaya pemilihan walikota tanpa lawan alias kotak kosong. Ya, Eri Cahyadi dan Armuji yang petahana akan menjadi calon tunggal. Sebab, mereka sudah daftar ke KPU dengan diusung semua partai politik di Surabaya. Baik PDI Perjuangan maupun parpol koalisi KIM Plus.
Tak ada calon lain yang diajukan parpol di luar PDI Perjuangan tahun ini. Padahal di 2005 misalnya, pemilihan walikota Surabaya yang juga diikuti oleh petahana yakni Bambang DH, muncul 4 pasangan calon yang ikut dalam kontestasi. Mereka adalah Bambang DH-Arif Afandi, Alisjahbana-Wahyudin Husein, Erlangga Satriagung-A.H. Thony, dan Gatot Sujito-Benyamin Hilly. pemilihan walikota saat itu dimenangkan oleh Bambang-Arif dengan perolehan hampir 500ribu suara.
Lima tahun berikutnya tepatnya tahun 2010, dua petahana yakni Bambang DH dan Arif Afandi maju lagi, meski beda gerbong partai. Namun menarik, di tahun 2010 ada 5 pasang calon yang ikut serta. Pilwali meriah. Siapa saja? BF Sutadi-Mazlan Mansur, Fandi Utomo-Yulius Bustami, Arif Afandi-Adies Kadir, Tri Rismaharini-Bambang DH, dan Fitradjaja Purnama-Naen Soeryono. Di tahun itulah lahir walikota perempuan pertama di Surabaya. Tri Rismaharini terpilih dengan total suara 350ribu lebih.
Pada tahun 2015 ketika Risma menjadi petahana, dengan popularitas dan elektabilitas yang 'nyundul langit', Pilwali Surabaya masih asyik. Sebab, di balik popularitas Risma, masih ada yang berani menjadi lawan. Risma yang berpasangan dengan Whisnu Sakti Buana, head to head dengan Rasiyo yang merupakan mantan Sekdaprov Jatim berpasangan dengan Lucy Kurniasari, politisi perempuan Partai Demokrat. Pastinya, Risma-Whisnu menang telak dengan 86,34% total suara atau sekitar lebih dari 893ribu suara. Meski kuat, masih ada penantang. Parpol lain masih berani menantang calon dari PDI Perjuangan.
Lompat ke tahun 2020, pilwali ke-4 Surabaya. Eri Cahyadi dan Armuji diusung PDI Perjuangan melawan koalisi besar Machfud Arifin-Mujiaman. Pilwali Surabaya yang seru. PDIP Surabaya dengan tiga partai pendukung lain harus menahan gempuran dari 11 partai politik yang mendukung MA-Mujiaman. Pertarungan darat dan langit renyah. Kader parpol ada yang keluar demi mendukung calon di luar partainya. Bahkan Jagad Hariseno kader PDI Perjuangan yang juga anak dari mantan Sekjen DPP PDI Perjuangan Alm Soetjipto mendukung MA-Mujiaman. Lawan dari Eri-Armuji. Lawan dari PDI Perjuangan. Juga ada kader-kader PDI Perjuangan yang membentuk kelompok 'Banteng Ketaton alias Banteng Tersakiti'. Sebab DPP PDIP lebih memilih mengusung calon nonkader ketimbang kader usulan dari akar rumput.
Pertarungan keras yang berlangsung berbulan-bulan itu berakhirnya menarik. Eri-Armuji yang dianggap 'penerus' Bu Risma hanya bisa meraih suara 597ribuan atau 56,94%. Sedangkan lawannya yang merupakan mantan Kapolda Jatim dan profesional (Direktur Utama PDAM Surya Sembada Surabaya) berhasil mendapatkan 43,06% suara. Padahal mereka baru terjun ke Pilwali kali ini. Bahkan Mujiaman baru mundur dari kursi Dirut PDAM Surabaya hanya 3 bulan sebelum Pilwali digelar, tepatnya pada bulan Agustus 2020.
Kini, pilwali 2024, Kota Surabaya landai-landai saja. Tak ada yang menarik. Eri-Armuji maju sendiri. Tiada lawan yang berani mengusik. Menurut pengamat politik dan akademisi Universitas Trunojoyo Madura Surokim Abdussalam, pilwali Surabaya 2024 adalah bukti bahwa partai politik sudah gagal menjalankan tugasnya sebagai pencetak calon pemimpin. Apalagi sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi terbaru terkait pemilihan kepala daerah yang membuat partai politik lebih leluasa mencalonkan.
"Rekomendasi partai lain untuk melawan Eri Cahyadi dan Armuji tidak ada. Calon independen ya tidak ada. Menurut saya kok sudah saja, langsung disahkan saja tidak usah digelar pilwali. Daripada kita menghambur-hamburkan duit. Ndak mungkin kotak kosong di Surabaya bisa menang. Jadinya ya sudahlah sudah selesai ini pilwali Surabaya," kata Surrokim kepada ngopibareng.id, Jumat 30 Agustus 2024.
Baginya, pemilihan Walikota Surabaya 2024 lebih baik tak usah digelar. Langsung penunjukan atau aklamasi saja. Sebab, ia 'eman' dengan dana Rp 114Miliar lebih jika hanya digunakan untuk menggelar pilwali melawan kotak kosong. Lebih baik dana itu diberikan untuk kebutuhan rakyat. Baik pendidikan, sandang, pangan, dan papan.
Dengan tidak adanya lawan, maka kata Surokim, Pilwali ini tak bisa dikatakan pertarungan atau kontestasi. Apalagi jika ada jadwal debat publik, baginya itu bukan jadwab debat publik. Namun lebih ke ujian disertasi atau kuliah. Tak ada pihak lain yang mengcounter program, visi, misi, dan gagasan Er-Ji.
Padahal menurutnya, munculnya putusan Mahkamah Konstitusi itu membuka pintu yang lebar bagi parpol lain, bahkan parpol yang punya suara minoritas di Surabaya untuk mencalonkan calon pemimpin baru bagi Surabaya. Sebab dalam bayangannya sebagai pengamat dan akademisi, kontestasi itu ada lawan yang dipertandingkan. Jika yang dipertandingkan ini melawan kotak kosong, maka hanya sesuai dengan demokrasi secara prosedural. Tapi secara demokrasi substantif, pilwali Surabaya 2024 tidak bermakna.
Jika hasilnya seperti ini, ia mempertanyakan untuk apa tahapan-tahapan pilkada pasca pendaftaran itu dilakukan. Hingga ada debat publik dan pengundian nomor calon. Kan hanya calon tunggal.
“Bayangkan di debat publik, moderator bilang 'Silahkan Kotak Kosong menyangga pendapat dari paslon nomor urut 1, Eri-Armuji'. Bayangkan, bayangan saya begitu. Kan boleh saya menyebut ini DAGELAN. Hahahah,” tutup Surokim.