Surabaya Butuh CEO, Bukan Bos
Sungguh saya beruntung bisa tinggal di Kota Surabaya. Kota yang hari ini, 31 Mei 2020, telah berumur 727 Tahun. Kota Pahlawan yang melegenda.
Lebih beruntung lagi saya pernah ikut merasakan mengelola pemerintahannya. Menjadi wakil walikota saat Pak Bambang DH menjadi walikotanya.
Kali pertama saya menginjakkan bumi Surabaya saat masih kelas 5 SD. Ketika diajak nenek saya menonton MTQ Nasional di Tugu Pahlawan, dengan naik kereta dari Blitar.
Sejak saat itu, menjadi mimpi untuk bisa tinggal di kota ini. Lah, ternyata mimpi itu jadi kenyataan. Bekerja di sini, tinggal di sini, bahkan punya kesempatan menjadi orang kedua di kota ini. Puji Tuhan.
Sungguh kota ini mengagumkan. Legendanya, sejarah perjuangannya, karakter warganya, dan kemajuannya. Dari sini, para pejuang nasional lahir. Tjokroaminoto, Bung Karno, Bung Tomo dan masih banyak lagi.
Banyak modal yang bisa membuat kota kita tercinta seperti ini. Gairah warganya, karakter keterbukaannya, dan bondo nekatnya. Semua itulah yang menjadikan kota kita melegenda.
Secara khusus saya perlu berterima kasih kepada Pak Bambang DH. yang mengajak saya untuk membantunya. Juga memberi ruang gerak berkreasi, berinovasi, sehingga banyak hal bisa saya perbuat karenanya.
Tapi itu semua tak mungkin berjalan tanpa modal dasar warganya. Watak dasar orang Surabaya bukan hanya bonek, tapi juga terbuka dan mudah digerakkan untuk kebaikan bersama. Jancukan tapi juga gampangan, he...he...
Gampang diajak maju asal bisa mengetuk hatinya. Gampang diajak berjuang asal untuk kepentingan bersama. Gampang digerakkan asal jelas manfaatnya. Bergerak tanpa diperintah kalau untuk kebersamaan.
Saya ingat betul betapa warga ini gotong-royong mengatasi sampah kota saat digerakkan media tempat saya bekerja. Bahkan, keindahan dan ijo royo-nya kota ini bermula dari gerakan rakyat.
Seperti mereka bergerak bersama mengusir tentara sekutu di zaman perjuangan, yang melahirkan gerakan rakyat 10 Nopember yang kemudian dijadikan sebagai Hari Pahlawan. Itulah tonggak sejarah perlawanan rakyat Surabaya memperjuangkan negerinya.
Karakter pejuang dan rela mati untuk bumi yang dipijaknya itu tak pernah padam. Ini pula yang membuat warga kota ini begitu bangga terhadap kotanya. Tak ada warga kota yang kecintaannya kepada kotanya melebihi Surabaya.
Saya pernah berkelakar di depan para pejabat Kota Surabaya saat menjadi wakil walikota. "Sebetulnya, tanpa pemerintah pun Surabaya ini akan maju. Apalagi kalau kita mampu melayani dan menggerakkan warga dengan sukarela," kata saya.
Itu saya buktikan ketika menggerakkan dunia pariwisata saat itu. Salah satu bidang yang ditugaskan Pak Bambang DH kepada saya. Saat itu, geliat pariwisata bergerak bukan karena kehebatan pemerintah kota, tapi semata karena partisipasi penuh warganya.
Saat itu, kami siapkan kelembagaannya. Dibikinlah Surabaya Tourism and Promotion Board. Yang isinya para profesional pariwisata dari swasta. Pemerintah hanya menjadi fasilitatornya. Juga sedikit membiayai promosinya.
Dari situ lahirlah kegiatan tahunan yang gegap gempita. Surabaya Shopping Festival sebulan penuh, berbagai konser musik yang tersiar ke seluruh nusantara. Juga beragam kegiatan warga yang penuh ceria.
Berbagai kegiatan yang menghabiskan dana miliaran rupiah. Bukan dana dari APBD yang bersumber pajak rakyat. Tapi ditopang kalangan swasta, warga dan berbagai kalangan. Mereka rela menopang semua itu karena percaya dan nyata manfaatnya.
Pengalaman lima tahun mendampingi Pak Bambang DH mengelola kota, saya berkeyakinan gampang mengelola kota ini. Asal kita mengambil hatinya warga. Asal kita mampu menunjukkan kepercayaan kepada mereka. Asal kita bisa menggerakkan potensi yang ada.
Karena itu, yang dibutuhkan untuk Surabaya sebetulnya bukan seorang bos. Tapi seorang penggerak. Seseorang yang bisa mengkoordinasi potensi warga untuk bergerak bersama. Untuk memajukan kotanya secara bersama-sama.
Dengan modal sosial warganya, yang dibutuhkab kota ini bukan seorang majikan. Bukan seorang bos yang memerintah ke sana kemari. Seseorang yang menempatkan dirinya sejajar dengan warga untuk bersama-sama menjaga kotanya.
Mengelola Surabaya tak perlu juragan. Yang tampil sendirian dengan memonitisasi kesan. Tapi seorang yang mampu memberi ruang gerak semua sumberdaya dan potensi yang ada.
Yang diperlukan kota ini adalah seorang CEO (Chief Executive Officer). Seseorang yang mengorganisasi semua sumberdaya dan potensi yang ada untuk maju bersama. Bukan pemimpin yang sekadar memajukan dirinya sendiri.
Perjuangan rakyat 10 Nopember adalah contoh bagaimana menuai sukses dari perjuangan. Para kiai menggerakkan santrinya, rakyat bergerak dengan komando seseorang "hanya" penyiar radio Bung Tomo, para pengusaha menyokong logistiknya. Hasilnya, arek Suroboyo menyelamatkn Indonesia dari penjajahan kembali.
Tahun ini -- atau awal tahun depan-- kita akan memilih pemimpin baru. Karena itu, Hari Jadi ke 727 ini perlu menjadi momentum kembali kebutuhan kita akan kepemimpinan ke depan.
Dirgahayu Kotaku. Jayalah Suroboyo kita. I Love You Full❤️❤️