Surabaya Ambyar
Betapa sepi
Seorang nenek sendiri di tepi lalu coba menyapa
Lewatnya hari kota lama ini
melebar tak berakar kaca-kaca miskin jiwa
(Tepi Surabaya, karya Leo Kristi)
Lirik lagu Leo Kristi berjudul Tepi Surabaya mengingatkan kami untuk memikirkan kembali pertumbuhan Kota Surabaya. Agar kota ini dibangun tidak hanya merayakan pertumbuhan sisi ekonomi dan gincu-gincu keindahan sebagai ornamen tanpa makna. Masyarakat tak mengenal jati diri kotanya yang ramah. Jangan sampai menjadi asing di kotanya sendiri. Sudah saatnya kota ini dibangun dengan memperhitungkan ekosistem yang membuat warga kotanya lebih bahagia dan bermartabat.
Gedung-gedung bersejarah dipertahankan dan direvitalisasi. Museum-museum diperbanyak sebagai penyimpanan data sejarah warisan Kota Surabaya. Masyarakat dibentuk dengan budaya lokal yang berkarakter meski pertumbuhan di sektor lain berkembang pesat. Surabaya menjadi perlintasan dan penampung masyarakat pendatang. Demikian pula juga New York.
Seperti yang ditulis James Dennis Hoff diunggah 3 Agustus 2019 lalu di sebuah majalah daring leftvoice.org, berjudul New York City is Falling Apart, disebutkan Capitalism is to Blame. Kurang lebih diartikan “Kota New York Hancur Berantakan”, “Kapitalisme Harus Disalahkan.”
Seolah sejak terjadi perubahan infrastruktur kuno dirombak secara radikal dan restrukturisasi layanan publik di atas kepentingan dan keuntungan modal, terjadi berbagai hal di luar kejutan dari kebanyakan orang.
Belum lagi dipicu oleh terjadinya dampak kenaikan harga sewa rumah dan harga tanah melonjak tinggi, tunawisma merajalela. Kesempatan memperoleh pekerjaan sangat kecil dan pengangguran di mana-mana. Kemacetan lalu lintas membuat manusia menjadi pemarah. Gedung-gedung tinggi, penduduk yang heterogen, gemerlap Lampu LED periklanan, kejahatan juga terjadi di mana-mana. Demikianlah gambaran garis besar kota New York saat ini.
Miris bila membaca pembangunan yang tak terkontrol itu akan terjadi di Surabaya. Sejak tahun 1975, hari jadi Surabaya dinyatakan berdiri tanggal 31 Mei 1293, memiliki luas sekitar ±326,81 km², dan jiwa penduduk pada tahun 2019 sebanyak 3.158.943. Usia Kota Surabaya pada 2020 ini 727 tahun. Sangat tua sekali.
Dibandingkan Kota New York masih berusia 412 tahun. Itu bila dihitung dari permulaan pemukiman Eropa dimulai dengan Belanda pada tahun 1608. Maka lebih tua kota ini. Semestinya Surabaya lebih maju ketimbang New York.
Surabaya sejak di zaman Kolonial Belanda, 1916 menjadi Gemeente (otonomi terbatas) dan Staads Gemeente (otonomi penuh) hingga 2020, mengalami pergantian wali kota sebanyak 22 kali masih menghadapi permasalahan yang sama. Kota dibangun dengan ego masing-masing pemimpin tiap periode berbeda-beda. Apa yang dilakukan kemarin dan hari ini tidak berkesinambungan. Tidak memiliki satu irisan yang sama.
Semestinya masyarakat menjadi makmum bagaimana para pemimpin merencanakan kota Surabaya menjadi lebih baik. Sesuai dengan konsep pengembangan kota, baik baru maupun regenerasi atau revitalisasi pusat kota lebih dahulu harus mengkaji dan menilai fungsi yang saat ini diembannya.
Jangan sampai kehilangan kendali, riset kajian yang sistematis dan konstruktif. Bukan berdasarkan ego sektoral, ego kepemimpinan, tanpa koordinasi, tanpa keberpihakan kepentingan masyarakat secara umum melainkan kepentingan swasta sebagai pemilik modal.
Dengan keadaan seperti itu, bisa jadi “Surabaya Ambyar.” Surabaya bisa-bisa kehilangan karakter kampung arek Suroboyo yang memiliki nilai-nilai kultur gotong royong, guyup, dan nasionalisme heroik 10 November Surabaya. Bila kampung-kampung mulai terkikis dengan penataan kota dan pergerakan zaman yang sangat cepat tanpa pengelolaan yang baik. Surabaya sungguh benar-benar ambyar bila tidak mempertahankan ciri khas kearifan lokalnya.
Semestinya kota tidak hanya sibuk memperingati hari heroik tiap 10 November. Tapi mestinya lebih dari itu. Sebab banyak PR yang harus dilakukan. Termasuk bagaimana harus menampung karakter dan warisan budaya lain-lainnya. Katakanlah dari sekadar permainan anak-anak gobak sodor, patilele, koprol, sekitan, engkle, nekeran dan sejumlah permainan lainnya.
Dalam bentuk apa pemerintah kota menyelamatkan seluruh warisan budaya itu?
Apakah tindakan kongkritnya sudah berjalan dan berkesinambungan?
Bagaimana kota menghargai almarhum Bubi Chen, almarhum Mus Mulyadi, almarhum Gombloh, almarhum Leo Kristi, almarhum Naniel, mereka terhenyak disapu angin. Kemaestroannya di belantika musik tidak memperoleh apresiasi yang layak. Bahkan anak cucu kelak tak mengenalnya.
Belum lagi Ita Purnamasari, Ahmad Dhani, Ari Laso, Maia Estianti, dan masih banyak tokoh musik yang dilahirkan di Surabaya tidak dibangun komunikasinya agar tidak ambyar ke Jakarta. Sekali-kali mereka wajib membesarkan kota kelahirannya.
Lalu apa yang Surabaya punya agar mereka tertarik dengan Surabaya?
Belum lagi seniman ludruk, Srimulat, dan seni tradisi lainnya. Mereka tidak dikelola dengan sebaik-baiknya. Kalau pun difasilitasi tidak dipikirkan sisi-sisi lain yang membuat mereka terus memiliki harapan berkarya dan berekspresi secara berkualitas. Hal ini juga memerlukan peranan dari semua pihak pengelola kota termasuk legislatif.
Di sektor pendidikan, juga sudah jarang mengangkat tema-tema budaya sebagai akar penanaman karakter terhadap pelajar dan mahasiswa. Di kampus-kampus sendiri sudah jarang ada kegiatan diskusi, teater, baca puisi, menari, waktunya habis untuk mengerjakan tugas kuliah dan cepat lulus agar segera bekerja. Mereka sudah kehilangan kekritisan terhadap aspek sosial yang ada di lingkungan sekitarnya. Di kampus-kampus pun mereka kehilangan ruang berekspresi.
Lalu bagaimana pemangku kota merespons hal ini?
Untuk itu melalui Forum Diskusi BMS, kami berharap memperoleh masukan dan pencerahan. Tak sekadar omong-omong namun harus dicatat sebagai gerakan budaya mencintai Kota Surabaya dengan melibatkan pemuda yang menimba ilmu di Surabaya, pelaku seni dan budaya, jurnalis, pengamat, pemikir, politisi, pedagang, dan semua warga Kota Surabaya ikut andil berbicara tentang kegelisahan yang sama terhadap kota ini.
Diskusi berseri, dilakukan secara virtual, dimulai dengan menghadirkan pakar perkotaan, Prof. Dr. Ir. Johan Silas, hari Jumat 18 September pukul 19.00 sd 21.00 dengan topik "Kampung; Pembentuk Karakter Kota".
Ke depan pada hari esok, kita harus mulai melihat bahwa peningkatan kota tidak hanya masalah reformasi sepihak dan hanya pada hal-hal kecil. Tugas mendesain kota melibatkan pihak yang lebih luas untuk membangun kembali peradaban warga Kota Surabaya yang berkarakter.
Kita harus mengusir parasitnya dan mengubah mode kehidupan predator yang sekarang memainkan peran sangat besar. Kita harus secara efektif bersimbiosis, hidup bersama yang kooperatif. Jangan pernah mereka mengambil keuntungan sepihak dengan menghancurkan sendi-sendi Kota Surabaya.
(ist)
Advertisement