Superhero Indonesia
Pekan kemarin mulai diputar film superhero Indonesia: Dewa Brata Gatotkaca. Inilah film superhero yang diambil dari tokoh pewayangan.
Film karya Hanung Bramantyo. Sineas muda asal Yogyakarta yang beberapa karyanya telah moncer di dunia perfilman negeri ini. Tapi ini karya film superhero pertamanya.
Di gedung bioskop Ciputra World Surabaya, Dewa Brata Gatotkaca diputar bersamaan dengan film Hollywood: Jurasik Park World Dominion. Selain itu, ada Top Gun Maverick dan Ngeri Ngeri Sedap. Jurasik Park mendominasi 8 studio dari 11 yang ada.
Saya pantau di jaringan XXI, komposisi film yang diputar kurang lebih sama. Penempatan teaternya juga kurang menyenangkan. Film-film Indonesia ditaruh di belakang. Sementara film-film Holywood ditaruh di teater depan yang lebih strategis.
Akankah Gatotkaca bisa bersaing memikat penonton seperti film Hollywood? Bisakah tokoh superhero yang sudah sangat terkenal dalam jagat pewayangan --khususnya di Jawa-- ini juga disenangi banyak orang yang tak mengenal wayang?
Tentu masih perlu pembuktian. Indikator paling sederhana berapa lama film ini bisa bertahan tayang di gedung bioskop kelas menengah. Film mana antara Gatotkaca dan Jurasik Park yang akan turun layar lebih duluan.
Apa pun, langkah Hanung menciptakan film superhero berbasis cerita seni tradisi dengan sentuhan teknologi ini patut diapresiasi. Apalagi kita punya segudang tokoh superhero yang selama ini telah melekat dalam memori rakyat Indonesia.
Saya pernah bertemu Hanung di rumah Butet Kartaredjasa tahun lalu. Saat itu, saya menanyakan kenapa sineas Indonesia tak tertarik mengangkat kisah pewayangan dalam layar lebar. Sehingga bisa dikenali generasi baru yang menganggap wayang sebagai seni tradisi.
"Saya sedang memproduksi Gatotkaca," katanya spontan saat itu. Ia memang sedang sama-sama menjenguk Butet yang sedang dalam proses penyembuhan dari sakit. Penyakit yang bisa membuatnya lumpuh atau nyaris tewas.
Kebetulan sejak dua tahun lalu saya sering menonton pegelaran wayang. Dengan dalang almarhum Ki Seno Nugroho. Dalang cerdas yang merekam pertunjukannya di Youtube. Yang setiap pertunjukannya ditonton ratusan ribu orang.
Tidak hanya itu. Ketika awal pandemi berjalan, ia dalang pertama yang bikin pertunjukan streaming. Orang bisa mensponsori pertunjukan wayang Climen dengan harga murah. Pertunjukan wayang yang singkat. Hanya 2 jam.
Ia juga dalang yang piawai dalam membangun karakter tokoh pewayangan. Sosok punokawan, Sengkuni, Durna, dan Kresna begitu hidup di tangan Seno. Ia juga bisa memunculkan tokoh baru sosok waria.
Hampir tiap malam jelang tidur saya selalu menonton Dalang Seno. Terkadang diselingi menonton ngaji Gus Baha untuk memperkaya ilmu agama. Sebab, Gus Baha mengaji kitab dengan cara yang kocak.
Kembali ke Film Dewa Brata Gatotkaca
Film ini bercerita tentang sosok superhero dari Pandawa. Sosok yang punya kekuatan khusus dan ditakdirkan untuk membela kebenaran melawan angkara murka. Seperti kisah-kisah superhero di pewayangan maupun ciptaan Marvel.
Film berdurasi 2 jam 9 menit ini menarik. Saya cukup menikmati untuk menonton selama itu. Tidak bikin tertidur di dalam gedung bioskop. Film nasional yang sudah layak disandingkan dengan film-film superhero produksi Marvel.
Skenarionya ditulis Rahadi Mandra dan Hanung Bramantyo. Rahadi dikenal sebagai penulis dan sutradara yang hebat. Seperti halnya Hanung, dia adalah sineas muda yang karyanya bagus-bagus. Karya terakhirnya Kadet 1947. Film sejarah Angkatan Udara tentang serangan Maguwo Yogyakarta.
Film Gatotkaca menggunakan setting tokoh dan cerita dalam pewayangan. Tentu dengan tema yang dikinikan. Ada setting bangunan kota modern sekaligus setting hutan dan pedesaan. Sebagian besar setting tempat di Yogyakarta.
Seperti halnya tokoh pewayangan, Gatotkaca adalah tokoh superhero yang mendapatkan kekuatan otot kawat tulang besi. Sehingga ia punya kekuatan super untuk menghadapi tokoh jahat dari Astina. Persis setting cerita pewayangan maupun film superhero produksi Marvel.
Secara keseluruhan, film Gatotkaca tidak kalah dengan film superhero Barat. Dan yang pasti, tidak akan kekurangan cerita jika akan dibuat berseri. Masih banyak tokoh pewayangan yang bisa diangkat menjadi superhero asli dari Nusantara.
Kalau pun ada yang mengganjal itu terjadi saat memaksakan segmen goro-goro di cerita film ini. Peralihan dari segmen cerita ke tokoh-tokoh punokawan, Semar-Gareng-Petruk-Bagong sebagai adegan humor terasa kurang halus. Padahal, di situ ada aktor kawakan Butet Kartaredjasa yang berperan menjadi Semar.
Seperti inovasi cerita pewayangan yang dibawakan Ki Seno Nugroho, punokawan bisa tampil sejak awal cerita sampai akhir. Tidak harus dalam segmen goro-goro yang terpisah. Yang terkadang menjadi jeda untuk istirahat sang dalang.
Tantangan film fiksi aksi Gatotkaca ini adalah bagaimana menjadikan superhero asli Indonesia kembali digandrungi. Minimal untuk penonton dalam negeri sendiri --meski secara kualitas film Gatotkaca layak diekspor. Tampaknya perlu langkah ekstra yang tak hanya bisa dibebankan kepada insan perfilman.
Dibutuhkan kehadiran negara --khususnya Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif. Untuk apa? Pertama mengubah mindset kita yang masih menganggap bahwa segala produk Barat lebih baik dari produk dalam negeri. Ini lebih ke program rekayasa sosial yang negara seharusnya hadir.
Kedua, pemihakan terhadap karya kreatif bangsa sendiri yang lebih besar. Daya tahan industri kreatif dalam negeri tidak akan mungkin bertahan lama tanpa ada pemihakan. Tidak cukup hanya menjadi influencer dengan menonton. Tapi kebijakan yang lebih konkret dengan menghilangkan diskriminasi jaringan bioskop terhadap film nasional.
Saatnya menikmati superhero Indonesia asli. Saatnya berbuat sesuatu untuk menghidupkan industri kreatif karya bangsa sendiri. Ini akan lebih bermakna ketimbang ribut dengan soal remeh-temeh seperti mempersoalkan rendang babi. Ups...
Advertisement