Sunnah dan Bukan Sunnah, Belajar Hadis dan Fikih Lalu Ilmu Tasawuf
Seorang pakar ilmu-ilmu dalam khazanah pesantren, Abdul Wahab Ahmad, mengingatkan bahwa belajar hadis dan ilmu fikih harus didahulukan. Baru kemudia bisa belajar ilmu tasawuf.
Belajar Hadis dan Fikih dulu baru boleh Belajar Tasawuf
من حصل الحديث والعلم ثم تصوف أفلح ومن تصوف قبل العلم خاطر بنفسه
"Siapa yang menguasai hadis dan ilmu fikih kemudian baru belajar tasawuf, maka dia beruntung. Siapa yang bertasawuf sebelum belajar ilmu fikih, maka dia mengkhawatirkan" (al-Ghazali, Ihya').
Ada dua orang yang sering tidak punya patokan standar dalam bertindak tapi bisa punya pengikut fanatik, yakni: Orang yang ngaku makrifat dan seniman. Kalau dikritik, keduanya biasanya bilang bahwa yang mengkritik belum sampai ke levelnya.
Berikut ini contoh hidayah sunnah bukan hidayah marah, dari catatan Aris Munandar.
Sunnah dan Bukan Sunnah
سئل فضيلة الشيخ رحمه الله تعالى: ماذا يفعل الجالس عند المُحتضر؟ وهل قراءة سورة «يس» عند المحتضر ثابتة في السنة أم لا؟
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mendapatkan pertanyaan, apa yang semestinya dilakukan oleh orang yang duduk di dekat orang yang sedang sakaratul maut? Apakah membaca surat Yasin di dekat orang yang hendak meninggal dunia itu berdasarkan hadis yang valid?
وأما قراءة «يس» عند المحتضر فإنها سنة عند كثير من العلماء لقوله صلى الله عليه وسلم: «اقرأوا على موتاكم يس» ، لكن هذا الحديث تكلم فيه بعضهم وضعفه، فعند من صححه تكون قراءة هذه السورة سنة، وعند من ضعفه لا تكون سنة. والله أعلم.
Jawaban beliau, “Membaca surat Yasin di dekat orang yang hendak meninggal dunia adalah sunnah menurut banyak ulama mengingat sabda Nabi SAW, ‘Bacakan surat Yasin kepada orang yang hendak meninggal dunia di antara kalian’. Akan tetapi hadis ini diperbincangkan derajatnya dan dinilai dhaif oleh sejumlah ulama. Jadi kesimpulannya menurut pihak yang menilai hadis tersebut shahih, membaca surat Yasin di dekat orang yang hendak meninggal dunia itu sunnah. Lain halnya menurut pihak yang menilai hadis tersebut dhaif, membaca surat Yasin itu bukan sunnah” Majmu Fatawa wa Rasail al-Utsaimin 17/71-72.
Label sunnah atau bukan sunnah untuk suatu amalan tertentu itu bisa bersifat relatif. Amalan tersebut sesuai sunnah menurut sebagian orang namun bukan sunnah bagi sejumlah orang yang lain. Sehingga dimungkinkan suatu amalan itu sunnah menurut ulama A dan orang-orang yang sepaham denganya namun bukan sunnah bahkan bid’ah menurut ulama B dan orang-orang yang sepaham dengannya.
Jika label suatu amalan itu turunan dari sebuah hadis sedangkan hadis tersebut diperselisihkan validitasnnya maka label amalan tersebut pun diperselisihkan. Sebagai contoh apakah membaca surat Yasin di dekat orang yang hendak meninggal dunia itu sunnah ataukah bid’ah adalah turunan dari kualitas hadis tentang hal ini.
Kualitas hadis dalam hal ini diperselisihkan, ada ulama yang menilainya sebagai hadis dhaif namun ada juga ulama yang menilainya sebagai hadis yang kuat (hasan). Oleh karena itu kesunnahan atau kebid’ahan hal ini diperselisihkan.
Jawaban di atas adalah contoh jawaban bijaksana dalam menyikapi perbedaan di kalangan ulama. Jawaban bijak semisal ini mendukung terwujudnya kerukunan hidup di masyarakat majemuk semisal negeri kita tercinta.
Selayaknya hal-hal yang diperselisihkan ulama kebid’ahannya diberi jawaban semisal ini, amalan ini sunnah sekaligus bid’ah. Artinya sunnah menurut ulama yang pro dan bid’ah menurut ulama yang kontra.
Model jawaban semisal ini mencegah kalangan akar rumput membuat kegaduhan dalam hal-hal yang tidak perlu diributkan. Semestinya masing-masing orang tinggal beramal sebagaimana keyakinannya tanpa perlu menimbulkan konflik sosial.
Demikian wallahu a’lam. Semoga bermanfaat. Amiin.