Nafas Terakhir Sunaryo, Usai Kelelahan 27 Jam Bertugas di TPS
Suasana duka menyelimuti rumah berdinding keramik biru di bilangan Kapas Madya, Surabaya. Rumah itu adalah kediaman salah satu petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Kota Surabaya, Sunaryo.
Sunaryo, lelaki berusia 57 tahun itu diketahui meninggal dunia usai bertugas di tempat pemungutan suara (TPS) 13, Kapas Madya Barat, Tambaksari, saat Pemilu dan Pilpres 2019.
Sang anak, Hanif Arifinanda, mengatakan bapaknya itu telah bertugas selama 27 jam lamanya demi mengawal jalannya Pemilu 2019. Hal itu terhitung sejak hari pemungutan suara, Rabu 17 April 2019 , pukul 07.00 WIB, hingga Kamis 18 April 2019 pukul 10.00 WIB.
"Ayah dari pukul 07.00 sampai pukul 10.00 WIB besoknya bertugas di TPS, beliau mengantarkan logistik ke kelurahan, setelah itu istirahat satu jam setengah dan berangkat lagi untuk ngajar," kata dia.
Sehari-harinya Sunaryo adalah seorang guru olah raga di Sekolah Dasar (SD) Negeri Ploso 5, Surabaya. Bagi Hanif, ayahnya, itu adalah sosok yang bertanggung jawab pada tugasnya seberat apapun itu.
"Istirahat satu jam stengah. Ayah kemudian berangkat ngajar sampai pukul 17.00 WIB, sepulangnya beliau mengeluh pusing dan muntah-muntah," kata Hanif yang kini tengah menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, ini.
Mengetahui kondisi ayahnya tersebut, Hanif kemudian membawa Sunaryo ke rumah sakit terdekat, yakni Rumah Sakit Umum Daerah (RUSD) Dr Soewandhi, Surabaya.
Namun ternyata, setelah diperiksa di IGD pada Jumat 19 April 2019 dini hari, dokter mendiagnosis bahwa Sunaryo hanya kelelahan biasa, dan hanya membutuhkan rawat jalan, tak perlu dirawat secara intensif.
Keesokan harinya, Sabtu 20 April 2019, kondisi Sunaryo nyatanya tak kunjung membaik. Hanif dan Ibunya Munasri, kemudian memutuskan untuk merujuk ayahnya ke Rumah Sakit Haji, Surabaya.
Alih-alih membaik Senin, 22 April 2019, Sunaryo bahkan harus dibawa ke Intensive Care Unit (ICU) untuk ditangani secara intensif oleh tim medis, lantaran kondisinya yang makin memburuk.
Menjelang petang, nyawa Sunaryo tak tertolong, ia pun menghembuskan nafas terakhirnya pada Rabu 24 April 2019 pukul 15.03 WIB sore, di samping Hanif dan Munasri.
"Saya dan ibu ikhlas, dari pada ayah tersiksa," kata Hanif, sembari menghela nafas.
Hanif tak mau menyalahkan siapapun atas kepergian ayahanya. Ia hanya berharap agar sistem pemilihan umum seperti tahun ini kembali dikaji oleh pemerintah.
Sebab, yang ia tahu, ayahnya kelelahan usai menjadi petugas PPS. Ia tak mau kejadian ini berulang, pada orang lain.
"Saya berharap supaya dipertimbangkan lagi, karena ini mungkin efisien dari biaya, tapi tidak manusiawi untuk petugasnya," katanya.
Sementara itu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana dan Perlindungan Masyarakat Kota Surabaya, Eddy Christijanto menyatakan bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya turut berbela sungkawa sepeninggal Sunaryo.
Eddy menyebut, bahwa Sunaryo adalah sosok yang begitu berjasa bagi gelaran Pemilu, bukan hanya tahun ini, tapi juga pada ajang pemilihan-pemilihan kepala daerah sebelumnya.
"Beliau adalah Ketua KPPS di wilayah ini. Setiap ada pelaksanaan pemilu beliau selalu berpatisipasi sebagai PPS, kami kehilangan," saat ditemui di rumah duka.
Ia menyebut, duka yang mendalam tentu dirasakan oleh jajaran Pemkot Surabaya, termasuk Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Maka pihaknya berencana secara khusus memberikan penghargaan terhadap mendiang Sunaryo.
"Beliau meninggal karena jihad di jalan Allah dalam perjuangannya saat negeri ini dalam proses menentukan pemimpin. Duka yang mendalam, dan kami saksikan, kami catat dengan tinta emas di sejarah, di memori kami, di kantor kami, bahwa bapak Sunaryo adalah pahalawan demokrasi," katanya.
Sunaryo kini dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Rangkah Surabaya, Rabu, malam. Diiringi ratusan warga, pejabat Kota Surabaya, doa keluarganya, serta cita-cita mulia yang diidamkan bangsa Indonesia. (frd)
Advertisement