Sumber Awal Penyimpangan Perilaku Pejabat Negara, Ini Sebabnya
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengingatkan, sumber penyimpangan perilaku pejabat negeri harus dibersihkan dari hulu. Sejak awal orang niat menjadi pegawai negeri dan pejabat negara mestinya bukan untuk mengejar gelimang materi.
"Tetapi untuk berbuat yang terbaik bagi kemajuan negara dan menyejahterakan rakyat. Salah niat itulah yang sering menjebak orang pada perilaku korupsi dan ajumumpung kekuasaan. Di situlah awal hilangnya marwah, yakni mutiara moral dan perilaku utama yang semestinya menjadi benteng hidup setiap pejabat negara di negeri Pancasila ini!"
Menurut Haedar, soal nilai moral, manusia indonesia lebih-lebih para pejabat negaranya, memerlukan nilai dasar (basic value) dan nilai perilaku (behavior value) sebagai pusat orientasi tindakan dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Agama, Pancasila, serta kebudayaan luhur yang hidup di tubuh bangsa ini lebih dari cukup untuk diaktualisasikan menjadi basis nilai perilaku dan tindakan yang benar, baik, dan pantas.
"Sebaliknya berintegritas menjauhi yang salah, buruk, dan tidak patut. Etika dan kode etik jabatan menjadi bagian dari nilai perilaku yang harus ditegakkan dan dilembagakan dalam dunia birokrasi Indonesia, lebih dari sekadar motivasi orang berprestasi dan berkarir tinggi," tuturnya.
Selain nilai, diperlukan penegakkan sistem dan hukum yang objektif dalam tatanan good-governance yang tidak mudah dijebol oleh suap dan segala muslihat. Seret ke pengadilan pejabat yang korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan, tidak cukup dengan diberhentikan dari jabatannya.
Di negeri jiran, PM Nazib Razak, diadili dan dijatuhi hukuman 12 tahun penjara plus mengembalikan uang negara 210 juta Ringgit atau sekitar 719 miliar Rupiah. Di negeri ini korupsi petinggi negeri harus “dipendem jero”.
Kenapa basis nilai dan sistem di negeri ini sering jebol? Boleh jadi masalahnya kompleks. Sistem harus terus ditegakkan secara objektif. Perilaku moral pun perlu pembiasaan dan dukungan lingkungan. Sebab, kultur dan lingkungan sosial kita sendiri secara manifes tidak terlalu kokoh, meski secara laten sering diklaim linuhung.
Kata WS Rendra, budaya kita seperti “kasur tua”, sudah lapuk. Pancasila pun lebih banyak jadi jargon heroik ketimbang perilaku nyata. Malah kini diperumit dengan RUU HIP atau BPIP, yang sejatinya tidak diperlukan. Yang diperlukan justru keteladanan para elite dan pejabat negeri sebagai legasi moral.
Advertisement