Sulit Bersaing dengan Tekstil Impor API Sambat Presiden
Presiden Joko Widodo bertemu lagi dengan pengurus dan anggota Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi Produsen Serat Sintesis dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 21 November 2019.
Pertemuan tersebut merupakan tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya yang digelar pada 16 September 2019.
"Ini tindak lanjut dari pertemuan kami di bulan September lalu dan kami harapkan dengan kabinet yang baru ini bisa kita sambungkan lagi apa yang telah kita bicarakan," ujar Presiden dalam pidato pengantar pertemuan
Terdapat beberapa hal yang dibahas Presiden bersama dengan jajaran API dan APSyFI. Yakni yang pertama mengenai upaya meningkatkan ekspor pertekstilan Indonesia dan yang kedua mengenai investasi pengembangan kawasan industri tekstil yang terintegrasi.
"Kami sudah mulai siapkan sebuah kawasan, yang dulu ingin dibangun adalah apparel park atau sebuah kawasan dari mulai bahan baku sampai nantinya industrinya semuanya berada di satu tempat," kata Presiden.
Selain itu, Presiden juga membicarakan soal produk maupun bahan tekstil impor yang menyebabkan produk-produk dari industri tekstil nasional sulit bersaing. Hal tersebut menjadi perhatian penuh Presiden Joko Widodo.
"Ternyata di situ banyak masuk barang-barang yang diproduksi oleh industri tekstil dalam negeri yang menjadi pesaing berat pada saat dijual di pasar," ucapnya.
Dalam pertemuan itu, para pebisnis meminta sejumlah insentif kepada pemerintah.
Ketua Umum API Ade Sudrajat menyatakan insentif itu antara lain insentif pajak. Para pengusaha tekstil meminta supaya penjualan mesin sebagai bagian dari revitalisasi industri tidak dikenakan pajak pertambahan nilai.
Di samping itu, para pengusaha tekstil meminta insentif khusus untuk listrik. Listrik bagi industri, menurut pengusaha tekstil, masih mahal.
"Energi sekunder yaitu listrik yang masih relatif lebih mahal. Mohon kiranya Bapak Presiden diberikan jalan keluar supaya listrik ini untuk industri ada insentif-insentif khusus yang bukan merupakan pelanggaran hukum bagi direksinya," kata Ade, di Istana Negara, Kamis, 21 November 2019.
Masih terkait energi, Ade mengatakan harga gas alam yang dipakai oleh industri tekstil dalam negeri jangan sampai terlalu tinggi dibandingkan dengan negara pesaing. Negara pesaing, menurut Ade, mendapatkan pasokan gas alam dari Indonesia.
"Yang terakhir kita sampaikan tentang Peraturan Menteri Lingkungan Hidup yang perlu dikembalikan lagi kepada yang lama di mana yang baru terlalu ketat sehingga industri yang sudah kadung berinvestasi harus berinvestasi lagi itu hampir tidak ada keuangannya sudah mulai berkurang," kata Ade.
Sebelumnya, ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri menyatakan produk tekstil dari Cina membanjiri pasar Indonesia. Cina diduga melakukan underinvoicing dalam mengekspor produk tekstilnya.
Praktik yang dikenal dengan pengurangan faktur ini menyebabkan persaingan dagang tekstil dan produk tekstil atau TPT tidak sehat.
“Untuk kode HS 6111 (pakaian bayi dan aksesoris pakaian serta rajutan) misalnya, dari sisi Indonesia tercatat nilai impor dari Cina hanya 35,4 persen dari data produk serupa yang dicacat dari sisi Cina sebagai ekspor ke Indonesia,” ujar Faisal
Praktik underinvoicing merujuk pada praktik pengurangan harga suatu barang pada faktur dari harga yang sebenarnya dibayarkan. Underinvoicing dilakukan oleh pembeli atau penjual yang ingin membayar pajak lebih sedikit dari semestinya dengan merekayasa laba.
Faisal mengakui, produk tekstil Cina yang masuk ke dalam negeri makin deras dalam 2 tahun terakhir. Ia menjelaskan, kencangnya impor dari Negeri Tirai Bambu untuk produk tekstil dan produk tekstil ditandai dengan peningkatan angka pertumbuhan sektor itu di Indonesia.