Suku Boyan Bawean Penguasa Pulau Emas Australia (Tulisan V, habis)
Aspal jalan desa selebar dua meter itu sudah mulai banyak berlubang. Tepat di gerbang masuk, tertulis jelas di atas papan putih "Desa Lebak, Sangkapura, Bawean". Di sana-sini, yang tampak hanya hamparan sawah tak tertanami. Dari kampung inilah, ratusan Suku Boyan, warga asli Bawean kini menetap dan mendulang dollar dari Australia.
Tidak ada yang istimewa di kampung dengan 400an jiwa penduduk ini. Keindahan alam tampak tersusun rapi dari gugusan perbukitan dan hamparan laut di di beberapa sudut kampung.
Seperti desa-desa pesisir kebanyakan, Desa Lebak merupakan sebuah desa yang mayoritas mata pencaharian pendudukanya adalah petani dan nelayan. Hanya satu yang membedakan, desa ini mayoritas warganya tidak begitu giat bekerja seperti kebanyakan kampung lainnya.
Mungkin, warga Bawean memang ditakdirkan untuk dimanjakan setoran devisa melimpah dari para saudaranya yang bekerja di luar negeri. "Hal ini juga yang membuat warga ndak begitu suka bekerja," ujar H Dufah, tokoh Desa Lebak kepada ngopibareng.id akhir Oktober 2017 kemarin.
Apalagi, sekitar 100an warga Lebak, saat ini tidak lagi berstatus TKI, melainkan sudah menetap di Australia. Bahkan sebagian dari mereka sudah memiliki keturunan yang juga sudah menetap di sana.
Untuk menunjukkan kejayaan warga lebak yang ada di Australia, mereka bahkan sengaja membangun sebuah masjid di desa tersebut dengan arsitek ala masjid-masjid yang ada di Australia. Dengan bingkai marmer di sana-sini, Masjid dengan kubah berwarna kuning emas itu kini berdiri megah dengan nama masjid Jamik Al-Ikhram.
Beberapa sesepuh desa setempat menuturkan, Kejayaan Desa Lebak bermula sekitar tahun 1960-an, saat itu seorang pemuda Desa bernama Miftah berhasil merantau hingga ke pulau Christmas (Christmas Island, Australia), sebuah pulau kaya emas di samudra Hindia.
"Di sana bapak bekerja di pertambangan emas. Karena berhasil kemudian menikah dan mengajak ibu dan beberapa temannya untuk ke Christmas Island," ungkap Jutah (55 tahun) anak pertama Almarhum H Miftah.
Dari sinilah, sejarah kejayaan warga Bawean di mulai. Apalagi, warga bawean yang ke Australia dikenal warga sebagai penganut agama Islam yang taat, padahal di pertambangan tersebut tidak jarang juga diisi oleh pekerja dari Negara-negara Islam seperti Malaysia dan Brunai.
Al hasil, warga Lebak kemudian dipercaya untuk menjadi imam di setiap sholat lima waktu di pertambangan emas tersebut. Sejak saat itu pula, jika masjid atau mushola di Australia membutuhkan tenaga muadzin atau pengurus masjid, maka tak jarang mereka meminta kiriman dari warga Lebak, Bawean.
Pemuda Bawean khususnya dari Desa Lebak kemudian beramai-ramai pergi ke Australia khusus untuk berdakwah. Beberapa di antara mereka juga ada yang jadi penghulu seperti Gufron yang konon merupakan penghulu terkenal di Australia.
Tapi sayang, mayoritas yang sudah berjaya di Australia ini sangat jarang mudik ke Lebak. "Mereka biasanya sudah menetap, dan hanya berkomunikasi via telepon dengan keluarga di bawean," tambah Dufah.
Jutah-pun, yang merupakan satu-satunya anak Miftah yang tinggal di Bawean dan pernah di Australia hingga dua tahun, tidak begitu mengingat nama dan alamat almarhum bapaknya tersebut di Australia .
Yang jelas, saat bapaknya pulang ke Bawean untuk pertama kalinya, Miftah memboyong istrinya Hj Nasifah dan tiga temannya yaitu H Dofir, H Majid, dan H Marzuki yang kini semuanya sudah menetap di Australia.
Kejayaan warga Lebak mendulang dollar kemudian ditiru kampung, kampung lainnya di Bawean. Sejak saat itulah, warga beramai-ramai menjadi TKI, ada yang ke Malaysia, ada pula yang ke Singapura bahkan ke Arab Saudi.
Mereka umumnya bergerombol. Misalnya ada yang sukses di Malaysia, maka mereka akan mengajak para tetangganya ke Malaysia. Begitu juga ke Singapura. Bahkan di Singapura ini, mereka memiliki kampung tersendiri yang mewadahi Suku Boyan. Konon bahkan RRInya Singapura tiap malam jumat menyiarkan khusus bahasa Boyang (sebuah bahasa mirip bahasa Madura). Selesai. (wah)
Advertisement