Sukma Merengek
Kasihan Sukmawati. Selama ini sebagain besar masyarakat mengenalnya sebagai wanita yang tegar, bersemangat, bersikap, dan dalam banyak selalu menggebu-gebu. Hari Rabu 4 April kemarin masyarakat melihat Sukmawati yang tidak seperti biasanya. Dia merengek.
Perjalanan hidup anak nomer 4 pasangan Bung Karno-Ibu Fatmawati ini penuh onak dan duri. Dua hal penting dalam kehidupannya mengalami kegagalan, yaitu rumah tangga serta pilihan hidupnya untuk terjun ke dunia politik.
Keluarga yang dibangunnya tahun 1980 bersama pemuda ningrat dari Solo bernama Sujiwo Kusumo yang panggilan akrabnya waktu itu Gusti Tejo, hancur lebih awal. Karena itu dia harus ke luar dari keraton Mangkunegara di Solo, suaminya adalah Putra Mahkota.
Setelah Mangkunegara VIII wafat tahun 1987, Gusti Jiwo langsung menggantikan singasana ayahnya. Dia dilantik Januari 1988 dengan gelar Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IX.
Mangkunegaran adalah satu dari dua keraton yang ada di kota Solo, satunya lagi adalah Keraton Kasunanan. Sama-sama sebagai pecahan dari kerajaan Mataram, di Yogyakarta juga ada dua keraton yaitu Kesultanan dan Pakualaman.
Sayangnya ketika suaminya jumenengan, Sukmawati sudah berada di luar Keraton Mangkunegaran. Status permaisuri bukan untuk dirinya tetapi untuk orang lain yang telah dinikai Mangkunegara IX. Tidak mudah bagi seorang wanita disuruh ke luar tanpa membawa apa-apa, termasuk gelar keningratan d an kedua anak kandungnya. Sukma menjalaninya
Dalam hal politik, Sukma yang sekarang berusia 67 tahun ini mungkin juga ingin mengikuti jejak bapak serta dua kakak perempuannya. Terjun ke politik dengan mendirikan partai untuk kemudian, kalau bisa, menjadi penguasa.
Tahun 2002 wanita bernama lengkap Diah Mutiara Sukmawati Soekarnoputri ini mendeklarasikan Partai Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenis, sebagai pengembangan dari PNI Supeni yang terkena electoral threshold.
Meskipun sempat ikut pemilu tahun 2009 dengan partai nomor urut 15, tetapi nyaris tidak mendapat suara dan kepercayaan dari rakyat, karena sebelumnya Sukmawati sebagai ketua umum partai telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri dalam kasus pemalsuan ijasah.
Bulan November 2008 Sukmawati ditetapkan sebagai tersangka kasus pemalsuan ijazah atas laporan Badan Pengawas Pemilu. Ia diduga menggunakan ijazah palsu dalam pencalonannya sebagai anggota legislatif untuk Pemilu 2009.
Dunia politik mencoret nama Sukmawati, tetapi dia tetap tabah dan tegar menghadapinya. Dia malah lebih lantang dan lebih bebas dalam bersuara , dengan cara selalu mengkritisi kakaknya, Megawati Soekarnoputri yang berjaya memimpin partai yang didirikan yaitu PDI-Perjuangan.
Entah karena mencoba untuk menggantikan posisi kakaknya memimpin PDI-Perjuangan atau sekadar menyatakan diri sebagai opisisi, Sukmawati menentang keras ditetapkannya Megawati sebagai calon tunggal Ketua Umum DPP PDI-P menjelang kongres tahun 2015.
Yang agak belakangan, menjelang digelarnya Pilkada DKI Jakarta tahun 2016, Sukmawati jelas-jelas tidak mendukung Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Dia konsisten mengkritisi kubu Anies/Sandi yang didukung oleh beberapa parpol dan massa 212. Bahkan salah satu tokoh dalam gerakan 212 yaitu musisi Ahmad Dhani dilaporkannya ke polisi dengan pasal menghina Pancasila.
Kamis 29 Maret lalu, dia dengan sikap dan suara mantab juga melakukan kriitisi. Tetapi yang dikritisinya kali ini adalah syariat Islam, meskipun dilakukan melalui karya puisinya yang dibacakan pada acara Indonesia Fashion Week 2018 yang berangsung di Jakarta Convention Center.
Maklum jaman now, tak sampai tiga hari kemudian video rekaman ketika dia membaca puisi berjudul ‘Ibu Indonesia’ itu menjadi viral. Hari itu juga mendapat kecaman dari segala penjuru, termasuk kakak sulungnya, Guntur Soekanoputra.
Anggap saja Sukma ceroboh, karena yang dikritisi kali ini adalah sesuatu yang bagi kebanyakan orang hal yang sakral dan mendasar. Sehari kemudian, Rabu 4 April 2018, Sukmawati menangis meminta maaf kepada seluruh umat Islam Indonesia.
Hilang ketegaran-ketegarannya, sebagaimana saat dia harus meninggalkan keraton, atau saat babak belur memimpin partai. Dan yang terakhir, hilang pula ketegaran dia ketika dengan memakai kebaya putih dan jarit, membaca ‘ibu Indonesia.’
Setegar apapun Sukma, ternyata dia harus lebih banyak belajar lagi pada kakak-kakaknya, terutama belajar pada satu-satunya kakak laki-laki putra Bung Karno-Fatmawati, yaitu Guntur Sukarnoputra. Guntur telah menjalani hidup dengan tenang dan nyaris sempurna, tidak memilik musuh, tidak pernah menyinggung atau mengkritisi siapa saja karena memang tidak pernah ke mana-mana.
Guntur terpaksa menghentikan tapa bratanya ke luar dari gua. Guntur berkorban tidak untuk menyelamatkan adiknya, tetapi buat keutuhan bangsa yang bisa saja terkoyak akibat ketidak-hati-hatian Sukma.
Sukma, menangis jugalah pada kakakmu. Juga pada bapak dan ibumu. (m. anis)
Advertisement