Sukma, Ahok, Jokowi, dan Indonesia...ku!
Oleh: Erros Djarot
Hari minggu kemarin saya menerima tamu, seorang kawan aktivis. Kawan satu ini, dalam kegiatan politiknya sehari-hari, ia selalu mengibarkan bendera Islam (moderat). Kami bersahabat dan selalu hangat saat bertemu dan berdialog, karena pemikirannya yang menyejukkan.
Tapi di pagi minggu kali ini, ia tampak seperti gelisah. Ia kecewa atas ulah Sukmawati Sukarnoputri yang memperbandingkan dan sekaligus memperhadapkan nama besar Bung Karno yang ia kagumi dengan nama Nabi Besar Muhammad SAW; junjungan yang sangat ia cintai dan hormati. Di samping tentunya, Nabi Muhammad adalah sosok yang ia jadikan sebagai mercusuar panutan hidupnya.
Ia tak habis pikir apa perlunya Sukmawati memperbandingkan dua nama besar yang tentunya tidak dalam ruang perbandingan yang sama dan seimbang. Ia meminta tanggapan saya dengan penuh keingintahuan. Sementara saya hanya menjawabnya dengan senyuman yang sangat ia pahami. Baru ketika ia lebih jauh mengatakan bahwa apa yang dilakukan Sukmawati akan merusak hubungan antara kaum Nasionalis dan kelompok Islam, terpaksa saya angkat bicara.
Saya jelaskan bahwasanya Sukmawati anak biologis Bung Karno, itu 100 persen benar adanya! Tapi apa secara biologis pula ajaran ayahnya secara otomatis mengalir dalam darah apalagi pikiran sang anak? Belum ada preseden yang membuktikan kebenaran hal tersebut. Jadi jelas kegelisahan yang ada, berangkat dari alamat yang salah. Tidak serta merta Sukmawati sebagai anak Bung Karno ucapan dan pemikirannya mewakili pemikiran Bung Karno maupun kaum Nasionalis Bung Karno. Garis biologis dan ideologis tidak selalu berjalan paralel.
Sementara kemesraan hubungan kaum Nasionalis dan para pemeluk agama apa pun, terjalin sejak lahirnya kaum Nasionalis di negeri ini. Sudah begitu mengakar. Apa lagi bapaknya kaum Nasionalis Indonesia, Bung Karno, selalu mengingatkan bahwa kaum Nasionalis (Indonesia) pastilah beragama dan berketuhanan. Dipertegas pula oleh Bung Karno bahwa hanya mereka yang berketuhanan (beragama) lah yang dapat memahami dan mengunyah ajarannya (Marhaenisme) ke dalam hati, jiwa, dan pikirannya. Sehingga disimpulkan bahwa kaum Nasionalis (Indonesia) pasti agamis. Sementara kaum agamis belum tentu Nasionalis!
Dalam melahirkan dan membangun Indonesia sebagai bangsa dan negara, tercatat dalam sejarah bagaimana kerjasama dan pertalian yang erat terjalin antara kaum Marhaen dan Nahdliyin. Jalinan ini terbangun di masa perjuangan rakyat Indonesia saat mengusir kaum penjajah. Kedua kelompok massa rakyat inilah merupakan pilar utama bangunan kerakyatan Indonesia sebagai bangsa. Sudah mengakar dan membumi begitu lama. Sehingga tidak mungkin hanya karena omongan tanpa dasar dan pengetahuan yang jelas dapat memporakporandakan pilar tersebut. Sekalipun keluar dan berangkat dari mulut seorang anak sang proklamator itu sendiri.
Lewat penjelasan sederhana ini, akhirnya kami sepakat untuk membicarakan hal lain. Kami pun memutuskan untuk berkunjung ke tempat seorang teman. Sampai di sana, ternyata sejumlah kawan tengah berkumpul. Celakanya, kami datang di tengah mereka sengit menyoal Basuki Tjahaya Purnama, alias Ahok, yang bakal menduduki jabatan tinggi di Pertamina. Dapat dimaklumi terjadinya perdebatan sengit ini karena Pertamina merupakan salah satu, kalau bukan yang terpenting dan paling strategis sebagai badan usaha milik negara.
Mereka yang menyoal, argumen penolakan dibangun berdasarkan fakta salah satunya Ahok mantan terpidana, pernah dipenjara. Lebih jauh lagi yang berbau Sara, Chinalah, Kristenlah, sampai masalah pribadi, cerai dan kawin lagi. Ada pula yang menyoroti lewat asas kepatutan karena perilakunya yang kasar, tak sopan, dan bermulut super kotor. Bahkan sikap Pak Ma'ruf Amin terhadap Ahok, sebelum dan sesudah menjadi wapres, dipersoalkan.
Hanya saja, semua argumentasi tidak ada yang berangkat dari penilaian berdasarkan kemampuan dan prestasi kerja. Sehingga forum lebih didominasi dengan perdebatan yang penuh muatan like and dislike. Saya pun akhirnya memilih diam dan menjadi pendengar yang baik.
Pilihan untuk diam dan menjadi pendengar yang baik ini saya lakukan karena meniru pemimpinku, Jokowi presidenku. Hanya bedanya diamnya seorang saya sebagai rakyat biasa dan Jokowi sebagai presiden, pasti sangat berbeda. Dampak diam seorang saya, tentunya tak mempengaruhi apa-apa. Sementara diamnya seorang presiden dalam beberapa hal penting, sangat berdampak bagi kehidupan ke depan. Diam seorang presiden, sering diistilahkan atau dianggap sebagai pembiaran yang pasti berdampak. Sementara diam seorang saya, paling banter disambut dengan celetukan, diemin aja!
Diam seorang presiden yang selanjutnya dikenal sebagai pembiaran ini, untuk mengetahui dampaknya, sangat mudah diruntun dengan mengambil beberapa contoh. Seperti pembiaran benih radikalisme yang selama 10 tahun SBY berkuasa, telah melahirkan dan bermunculannya belakangan ini kelompok radikal yang mengusung bendera Islam sebagai identitas kelompoknya. Pembiaran berlanjut dan dilanjutkan pada era Jokowi, sehingga terbangun kelompok rakyat yang terbelah menjadi dua, rakyat pengikut 1 dan 2. Atau mewakili pembelahan berdasarkan pilihan (keyakinan). Selanjutnya berkembang sebagai dua kubu mewakili Islam yang berhadapan dengan kaum Nasionalis.
Lewat politik segregasi, pembiaran ini berhasil memecah belah masyarakat; yang dulu bersatu dan erat jalan bersama bergandeng tangan, kini saling bermusuhan. Berkembang dan merembet pada masalah yang lebih jauh dengan hasil akhir lahirnya masyarakat buta budaya. Ditambah lagi buta rasa dan etika. Sehingga semua menjadi pantas dan biasa. Yang Hitam dan Yang Putih, menjadi tak berbeda, tak perlu, dan bahkan tak bisa dibedakan. Karena yang penting, menguntungkan atau tidak. Bermanfaat sesaat atau tidak.
Merusak atau menguntungkan ke depan, apalagi jauh ke depan, menjadi tidak penting. Yang terpenting, selama kekuasaan tak terganggu dan makin menguat, berapapun mahal bayarannya, pasti dianggarkan untuk dijalankan! Maka peradaban tanpa nilai merupakan kehidupan yang kian terasa menyembul ke permukaan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sehingga suatu hari kelak, pameo ‘boss can do no wrong’ pasti terjadi. Sabda bos menjadi setengah sabda Tuhan, perlahan akan berjalan ke arah sana. Semua di luar diri bos adalah pengabdi. Mengabdi dan memuliakan bos dan keluarganya menjadi lagu wajib. Para penjilat pun bakal ramai bermunculan!
Nah, ketika nama sebuah anggur temuan baru langsung diberi nama yang merupakan nama dari cucu presiden, saya mulai galau. Pun tersebar berita bagaimana sang putra dielu-elukan massa pendukung untuk maju sebagai calon Wali Kota Solo. Bahkan konon, menyusul sang mantu dimunculkan dalam percaturan politik perebutan kursi No.1 di kota Medan (Sumatera Utara), kegalauan saya berubah menjadi kemirisan dan keprihatinan yang mendalam. Bukan karena apa-apa, karena mendapatkan kenyataan, presidenku memilih diam. Sehingga saya pun miris untuk bicara karena takut disalahkan karena mengkhawatirkan hal yang biasa-biasa saja dalam ukuran tata nilai hari ini.
Entah kenapa, saya memberanikan diri untuk menyoal dan bertanya; apa salahnya Sukmawati, Ahok, dan Jokowi? Mengapa harus dipersoalkan ketika semua telah berada dalam tata nilai yang serba salah?! Dalam asas kepatutan yang berangkat dari tata nilai yang serba salah ini, pertanyaan ‘pantaskah’ tak lagi memiliki kekuatan untuk mempersoalkan benar dan salah dalam ukuran cita-cita dan capaian yang ideal.
Dengan kata lain, komedi pahit dan tragedi yang lucu ini adalah sebuah realita yang harus kita hadapi secara arif. Sambil tentunya menata kembali nilai-nilai sebagaimana amanat Pembukaan UUD’45, dalam senyap dan kegigihan yang jauh dari keributan yang bermuara pada zero resultat! Saya menyebutnya diam dalam kediaman yang revolusioner. Tentunya, pada saatnya dan ada saatnya untuk bicara! Bahkan bertindak!!!
*Tulisan ini kami kutip sepenuhnya dari Watyutink.com