Suka Duka Rohaniawan RSI Surabaya, Ini Kisahnya
Surabaya: Banyak kisah dialami para rohaniawan rumah sakit. Setiap saat, mereka harus siap membimbing pasien yang sedang menghadapi maut dan ibu yang kesakitan maupun panik saat menghadapi kelahiran.
Setidaknya ini yang selama tiga tahun dialami Anies Azizah, Kepala Unit Bina Rohani (Binroh) Rumah Sakit Islam (RSI) Jemursari Surabaya. "Pengalaman kami sebagai pembimbing rohani pasien, orang yang sedang sakaratul maut atau nazak itu tidak semudah yang digambarkan sinetron-sinetron," katanya kepada ngopibareng.id, Selasa (25/9/2017).
Rumas sakit milik NU ini memang menyediakan pembimbing rohani untuk pasien dan keluarganya. Ada 6 orang yang bertugas setiap hari. Selain melakukan pendampingan pasien dan keluarganya, bagian ini juga mengurus para imam masjid di rumah sakit tersebut.
Anies yang putri mantan Ketua Syuriah PCNU Surabaya ini bercerita banyak soal suka duka dan pengalaman yang dilalui bersama rekan-rekannya. Mulai dari pengalaman mendampingi pasien yang sedang menghadapi kematian sampai dengan ibu-ibu yang mau melahirkan. Mereka ini juga yang ikut mengurus jenazah, menghibur keluarganya jika pasiennya meninggal dunia.
Dalam sehari-hari, 6 orang petugas pembimbing rohani ini dibagi menjadi tiga sift. Pagi, siang dan malam. Untuk dua petugas perempuan bertugas pagi hari. Sedangkan sore dan malam ditangani petugas laki-laki.
Petugas perempuan lebih banyak mendampingi ibu-ibu yang sedang melahirkan. Kepada pasien melahirkan ini, mereka tidak saja dibimbing dan dibesarkan hatinya dalam menghadapi kelahiran anaknya. Tapi juga diajarkan berbagai tata cara bernifas setelah melahirkan. Pasien juga diajari doa-doa saat mau melahirkan.
"Yang kebagian sift siang dan malam sekaligus bertugas menjadi imam di masjid RSI," kata Anis.
Soal pasien yang sedang sakaratul maut, Anies punya cerita khusus. Diantaranya, dia pernah mendampingi pasien yang mengalami nazak (dying) selama 3 hari 3 malam. Kalau menghadapi seperti ini, mereka selalu mengajak keluarganya untuk berdoa dan membaca Surat Yaasin. Sambil mendoakan kepada pasien agar dimudahkan dalam menghadapi kematian.
"Kami juga harus mampu menghibur keluarganya agar tabah dalam menghadapi keluarganya yang sedang meninggal. Sedangkan kepada pasiennya, kami selalu membimbing untuk terus berusaha melafalkan syahadat atau paling tidak menyebut nama Allah," tutur alumnus Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Ampel Surabaya ini.
Ia juga bercerita ada pasien yang sudah nazak selama 3 hari kemudian seperti sehat 3 hari. Setelah itu baru meninggal. "Kami menjadi tahu bahwa tidak jaminan meski seorang tokoh agama bisa meninggal dengan mudah dan lancar," tambahnya sambil mengenang.
Perempuan yang masuk RSI Surabaya sejak 1995 ini menuturkan, kebiasaan pasien saat masih sehat seringkali terungkap saat mereka hendak melahirkan maupun nazak. "Kalau kebiasaan ngomong kotor, saat merasakan sakit biasanya keluar semua. Terkadang ada teriak-teriak dengan menyebut samua nama binatang," tambahnya.
Lalu bagaimana jika pasiennya non muslim? Menurut Anies, biasanya sebelum memberikan pendampingan sudah diberitahu oleh perawatnya. Terhadap pasien non muslim yang sekarat, biasanya hanya ikut mendampingi keluarganya yang mendampingi. "Kami hanya ikut menghibur dan menguatkan hati keluarganya yang sedang menunggui," imbuh Anies.
Para pembimbing rohani ini umumnya selalu mendampingi pasien saat ada pengumuman code blue, tanda kalau ada yang pasien dying. "Nah, pada saat itu, selain petugas medis, kami dari petugas bina rohani ikut mendampingi pasien," pungkasnya.
Yang manarik, semua pembimbing rohani di RSI Surabaya ini semua lulusan sarjana. (azh)