Suka Duka Jamaah Tabligh Berdakwah dengan Cara Berbeda
Menebar kebaikan dan mengajak umat menuju ke jalan yang lurus dan benar, tidak selamanya bisa diterima dengan baik. Ada kalanya disambut dengan caci maki, diusir bahkan dibully habis di media sosial. Tetapi perlakukan semacam itu bagi anggota Jamaah Tabligh sudah biasa, semua diterima dengan lapang dada. Sebuah risiko bagi orang orang yang berjuang di jalan Allah.
"Kami harus sabar menghadapinya, tidak boleh melawan. Mungkin mereka belum tahu misi kami," kata salah seorang anggota Majelis Tabligh asal Papua M Nasir saat ditemui ngopibareng.id di kawasan Jakarta Baarat, Rabu 1 September 2021.
Orang yang menolak itu malah diperlakukan dengan baik. Namanya dicatat kemudian didoakan bersama sama agar Allah membuka pintu hatinya, sehingga bisa menerima risalah iman yang mereka sampaikan.
Dituduh Sesat
M Nasir selama 8 tahun bergabung dengan Majelis Tagbligh Papua merasakan kalau informasi tentang misi Majelis Tabligh masih kurang. Sehingga muncul opini yang salah. Ada yang menuduh Majelis Tabligh pembawa ajaran sesat, merusak akidah dan berbenturan dengan ajaran ahli Sunnah wal jamaah. "Itu semua hoaks. Sesungguhnya kami ingin belajar bersama-sama tentang tauhid, amalan, dan ahlak, seperti yang diserukan oleh Rasulullah Muahammad," lanjutnya.
"Kami orang awam, bukan hafid yang hafal Qur'an, atau ulama yang hafal di luar kepala puluhan ribu hadis. Kami pun bukan ahli fikih, karena itu kami tidak pernah bersinggungan masalah khilafiyah," kata Nasir, pria berusia 36 tahun yang cukup lama menetap di Pulau Cendrawasih tersebut.
M Nasir yang berlatar belakang seorang pedagang, bersama 9 orang anggota Majelis Tabligh Papua, sudah sepekan ini berdakwah di Jakarta Barat. Mereka ditampung di Musala Assalam, Kampung Rawa Timur. "Kami mendapat sambutan cukup baik dari para jemaah dan warga di saat kami bersilaturahmi," kata Nasir. Rencananya majelis Ini akan berada di Jakarta dan sekitarnya selama empat bulan.
Telantarkan Keluarga
Ketua rombongan Majelis Tabligh Papua, Abu Hurairah, menjelaskan rombongan yang ia bawa punya latar belakang yang berbeda. Pedagang, arsitek dan pengusaha dan kontraktor. "Saya sendiri bekas orang jahiliyah, yang hidup di lorong-lorong gelap. Saya mendapat cahaya iman setelah bertemu imam majelis tabligh," kata Hurairah.
Menurut Hurairah selain soal Musi, pertanyaan yang sering muncul adalah tentang biaya hidup selama di perjalanan pun biaya hidup anak istri yang ditinggalkan.
Sebelum "mewakafkan" dirinya di jalan Allah dari kota ke kota, dari pintu ke pintu, mereka lebih dulu menyiapkan bekal dari hasil kerja menurut bidang masing masing. "Anggarannya kami hitung dengan cermat, ke mana kami akan pergi, berapa lama, berapa biaya yang diperlukan termasuk untuk belanja yang di rumah. Setelah semuanya siap, kami berangkat", kata Hurairah.
Dakwah Berpindah-pindah
Karena majelis tabligh ini berangkat secara berombongan, biayanya bisa lebih murah. Bahkan terbiasa masak sendiri. "Istilahnya kami ini kan berjuang, bukan berekreasi, harus hidup apa adanya. Makan dengan lauk sambel dan kerupuk sekalipun, terasa nikmat," ujarnya.
Karena itu semua anggota majelis tabligh membantah kalau dituduh menelantarkan keluarga. "Kami pergi setelah kebutuhan keluarga kami siapkan," kata Hurairah.
Majelis Tabligh Papua yang ia pimpin baru kali ini keluar dari Jakarta, sebelumnya bertahun tahun keluar masuk belantara naik turun bukit untuk fastabikul khoirot, amar makruf nahi munkar dengan cara cara yang beradab.
Dalam rombongan ini terdapat peserta termuda yakni Abdurrahim berusia 15 tahun. Ia putra Abu Hurairah yang sedang nyantri di Pondok Pesantren Temboro Magetan Jawa Timur.
Sedang tertua berusia 73 tahun. Ia memiliki jam terbang yang lama, setidaknya sudah sembilan negara yang ia singgahi. "Terakhir saya di Makah selama empat bulan sekaligus untuk menunaikan ibadah haji. Saya bersyukur dapat mewakafkan hidup saya untuk jalan Tuhan," kata pria yang biasa dipanggil Abi tersebut.