Sugiri Sancoko, Si David yang Mengalahkan Goliath
Secara mengejutkan, pilkada Kabupaten Ponorogo bulan lalu dimenangkan pasangan H. Sugiri Sancoko/Hj. Lisdyarita. Pasangan yang diusung PDIP, PAN, Hanura dan PPP ini mengalahkan pasangan petahana yang sebelumnya amat diunggulkan, yaitu H. Ipong Muchlissoni/Bambang Tri Wahono yang diusung NasDem, PKB, Gerindra, Demokrat, Golkar dan PKS.
Sebagai perbandingan kekuatan, partai-partai pendukung Sugiri-Lisdyarita hanya memiliki 9 kursi di DPRD Kabupaten Ponorogo, sedang enam partai pendukung Ipong-Bambang Tri total memiliki 36 kursi. Sembilan lawan 36 kursi, bisa diibaratkan David melawan Goliath seperti dikisahkan dalam Alkitab, atau Nabi Daud melawan Jalut menurut kisah dalam Al Quran. Si kerdil melawan raksasa yang akhirnya dimenangkan Si Kerdil.
Dalam Pilkada Kabupaten Ponorogo, Si Kerdil memperoleh suara cukup meyakinkan, yaitu 61,7 persen atau 352.047 suara, sedang lawannya mendapat 38,3 persen atau 218.073 suara. Sugiri yang pada Pilkada 2014 dikalahkan Ipong, kini berbalik dia mengalahkannya.
Hari Selasa malam kemarin, Giri, nama akrabnya, berkunjung ke kantor Ngopibareng di kawasan Tenggilis, Surabaya. Didampingi Nanang, orang yang disebutnya mendampingi dirinya sejak awal sebelum mendaftarkan diri di KPUD Ponorogo sebagai calon bupati. Ayah dari dua anak yang lahir di Ponorogo 26 Februari 1971 ini mengatakan kedatangannya hanya untuk bersilaturahmi. Tidak untuk bercerita tentang bagaimana dia bisa memenangkan pilkada, yang oleh banyak orang dianggap sebagai hal yang mustahil.
Ditemui CEO Ngopibareng Arif Afandi dan Pimred M. Anis, Giri yang memang berteman dengan keduanya sejak dia masih belum berpolitik dan masih jadi pengusaha periklanan. Dia akhirnya mengungkapkan juga kunci kemenangannya, yang untuk pilkada lalu memakai tagline wong cilik nggawe bupati. Artinya, orang kecil membuat atau menjadikan bupati.
“Sebenarnya memang yang menentukan atau menjadikan seseorang menjadi bupati itu adalah rakyat. Bukan yang lain. Adanya partai memang penting, untuk sekadar menjadikan calon. Tapi yang membuat calon tersebut bisa menjadi bupati, ya rakyat,” katanya.
Sugiri tak akan melupakan hal itu, sehingga ketika nanti dia melaksanakan tugasnya sebagai bupati, dia akan mengembalikannya kepada rakyat Ponorogo, bukan hanya kepada pemilihnya.
“Dalam kampanye saya tidak merangkul rakyat. Tetapi nguwongke mereka. Meng-orangkan mereka. Kalau saya hanya merangkul, suatu saat rangkulan itu pasti akan saya lepaskan. Tidak mungkin terus menerus merangkul. Tetapi kalau meng-orangkan rakyat, bisa terus menerus dilakukan, melalui program-program yang akan dijalankan Pemkab Ponorogo,” kata mantan anggota DPRD Jawa Timur ini. Ketika menjadi anggota DPRD dari 2009-2014, Sugiri mewakili Partai Demokrat.
Yang menarik dari apa yang dilakukan Sugiri Sancoko sebelum pilkada berlangsung 9 Desember 2020 lalu, adalah bagaimana dia dapat menyatukan Nahdlatul Ulama dengan Muhammdiyah, dan mendamaikan dua perguruan silat yang ada di Ponorogo, yaitu Perguruan Teratai dan Winongo.
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah itu, kata Giri adalah dua organisasi Islam yang besar. “Tidak ada beda dari kedua organisasi ini, kecuali ketika salat subuh. NU menggunakan doa qunut, sedang Muhammadiyah tidak. Saya menyatukan keduanya. Suatu malam kami mengadakan pertemuan hingga dini hari. Ketika salat subuh berjemaah, saya minta imamnya dari tokoh Muhammadiyah. Ketika tokoh ini jadi imam, usai rukuk kedua, ternyata dia membaca qunut. Nah, bersatulah Muhammadiyah dengan NU, di Ponorogo,” katanya.
"Di Ponorogo ada dua perguruan silat yang tidak bisa disatukan, yaitu Perguruan Teratai dan Winongo. Dari zaman dulu kedua perguruan silat ini selalu bersaing, bahkan tidak jarang berkelahi, dengan mengeluarkan kepandaian masing-masing. Akibatnya sering jatuh korban," cerita Giri.
“Saya kumpulkan kedua perguruan silat ini, saya ajak keduanya untuk menjadikan Ponorogo sebagai Kota Pendekar. Saya ajak kedua perguruan silat ini untuk membangun Ponorogo sebagai daerah pusat persilatan di Indonesia. Kedua perguruan silat ini punya potensi, tapi kalau mereka bersatu. Kalau mereka selalu saja berkelahi seperti sekarang, maka potensinya hanya untuk perpecahan. Tetapi kalau bersatu, maka potensi yang muncul adalah prestasi. Mudah-mudahan gagasan ini nanti bisa terwujud, Ponorogo sebagai pusat persilatan nasional. Bahkan kita punya gagasan, Ponorogo nantinya bisa menjadi puslatnas atau pusat latihan nasional untuk cabang olahraga pencak silat,” jelasnya.
Gagasan banyak, lanjut Giri, dan dia kini dibantu Nanang juga, sedang menginventarisasi gagasan-gagasan itu, yang nantinya masuk dalam agenda 100 hari setelah dilantik. Sebagaimana kepala daerah terpilih lainnya, pelantikan Giri jadi bupati di kampung halamannya berlangsung 17 Februari, ketika usianya genap 50 tahun kurang 10 hari.
“Dengan demikian begitu saya dilantik, saya sudah bisa langsung bekerja. Bukannya masih meraba-raba dan merancang apa saja yang harus saya kerjakan setelah dilantik,” tambahnya. Budaya dan pariwisata, mungkin akan jadi salah satu program andalan.
“Selain juga beberapa program yang sudah dijalankan Pak Ipong, kan banyak yang bagus juga. Kita akan lihat, mana program yang perlu dilanjutkan atau dikembangkan, dan program-program apalagi yang masih diperlukan. Intinya, semua untuk rakyat Ponorogo,” kata Sugiri Sancoko, si David.