Sufisme Gus Dur, Menulis dengan Tangannya Sendiri
KH Abdurrahman Wahid, dalam perilaku dan tindakannya, tak lepas dari nilai-nilai sufistik yang dipahami dari Syekh Ibnu Atha'ilah Assakandari, penulis Kitab Al-Hikam -- khazanah tasawuf dalam pesantren. Ia menyampaikan kritik dengan nuansa humor dan lelucon, sehingga yang terkena sasaran tidak merasa tersakiti.
Dalam kitab Sang Zahid. Mengarungi Sufisme Gus Dur, KH Husein Muhammad berkisah tentang proses tersebut:
Dulu, ketika Gus Dur masih memimpin NU, sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Surahman, tetangga desa saya, pernah bekerja membantu beliau di PBNU Jakarta. Saban hari ia menunggu kantor PBNU, sekaligus membersihkan ruangan-ruangan dan kamar di mana Gus Dur duduk berkantor.
Sebelumnya dia, untuk beberapa tahun membantu di rumah Kiai Fuad Hasyim Amin (alm), Pengasuh Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon, mertua saya, sambil mengaji. Lalu Kiai Fuad menugaskannya di PBNU. Saya sering bertemu dia baik saat masih di Cirebon maupun di PBNU. Jika saya ke Jakarta saya selalu numpang tidur di kantor itu.
Suatu hari saat saya mampir ke PBNU, Surahman bercerita kepada saya mengenai pengalamannya bekerja di PBNU dan menemani (melayani) Gus Dur. Katanya, setiap hari Gus Dur menerima banyak sekali surat dari warga dan umatnya di daerah-daerah ; ada pengurus NU, kiaai tajug, santri, petani, nelayan, tukang kebun, pedagang kelontong, dan lain-lain.
Surat-surat itu dibacanya satu per satu. Kebanyakan isinya adalah permohonan bantuan dana untuk keperluan yang beragam, baik untuk fasilitas organisasi, pembangunan masjid, mushalla, madrasah, pesantren atau untuk diri sendiri dan keluarganya yang sedang kekurangan biaya hidup atau punya hajat.
Gus Dur membacanya satu persatu dengan teliti. Ia lalu mengambil kartu pos wesel yang sengaja disiapkan dan ditaroh di lacinya. Kemudian beliau menulis dengan tangannya sendiri. Di dalamnya Gus Dur menuliskan angka rupiah tertentu dan berbeda-beda. Gus Dur mengambil honor-honor yang diperolehnya dari tulisan yang dimuat atau dari seminar-seminar yang dihadirinya, lalu dibagi menurut pertimbangannya sendiri dan sesuai dengan uang yang ada.
Gus Dur lalu memanggil Surahman dan memintanya mengantarkan pos-pos wesel itu ke kantor Pos dan mengirimkannya ke alamatnya masing-masing. Bersama dengan kartu-kartu pos wesel itu Gus Dur juga menyerahkan uangnya. Saat itu tidak ada orang lain di situ, kecuali dirinya (Surahman). Pengurus PBNU yang lain tak pernah tahu soal yang satu ini. Jika kemudian ada yang tahu, maka pastilah dari mulut Surahman sendiri, tidak dari yang lain.
Bukan sekali saja Surahman diminta mengerjakan tugas pribadi tersebut, dan dia tidak pernah tahu Gus Dur masih punya uang lagi atau tidak, sesudah itu. Surahman tentu juga tidak berani bertanya: apakah ada yang disisakan untuk orang di rumah.
*) Sumber: KH Husein Muhammad, dalam buku Sang Zahid, Mengarungi Sufisme Gus Dur, atau Samudera Kezuhudan Gus Dur. (12.10.18)