Sudah Sepekan Tanpa Leo Kristi
Di medsos mulai sepi postingan mengenai pemusik Leo Kristi. Tidak seperti sehari atau dua hari setelah Leo meninggal, hari Minggu tanggal 21 Mei lalu dalam usia 68 tahun. Dalam beberapa hari itu video Leo Kristi yang tersedia di Youtube bermunculan lagi. Juga lagu-lagunya dalam format MP3, dilampirkan pada status atau postingan para teman dan penggemarnya. Dan semuanya, termasuk tulisan panjang di medsos maupun media mainstream itu terasa sangat mengharukan ketika sang seniman sudah tiada.
Terakhir saya kontak dia pada pertengahan bulan April lalu, ketika saya berada di Bandung, atau beberapa hari sebelum dia masuk rumah sakit dengan diagnosa awal kena diare. Tetapi karena waktunya sangat terbatas , saya hanya menelpon untuk mohon maaf karena tidak bisa ketemu. Sudah sekitar 15 tahun belakangan ini Leo memang menetap di Bandung, tetapi rumahnya tetap di Surabaya.
Saya telpon dia itu juga untuk mengundangnya lagi main pada acara pembukaan PSLI (Pasar seni Lukis Indonesia) ke X tanggal 6 Oktober 2017 mendatang, di JX International, Surabaya. Dia menyatakan siap. “Tapi ditambahi yo?” Insya Allah, jawab saya, lantas kami ketawa.
Sebelumnya memang sudah tiga kali kami mengundang Leo Kristi untuk tampil saat pembukaan, yaitu pada PSLI tahun 2014, 2015 dan 2016. Dari awal saya sudah mendapat persetujuannya untuk menjadikan Leo Kristi sebagai ikon PSLI. Setidaknya sekali dalam setahun dia secara rutin dapat tampil di kotanya, Surabaya.
Kami, sebagai warga Surabaya amat bangga memiliki Leo Imam Sukarno. Dia membanggakan tidak saja bagi warga Surabaya tetapi juga bagi seluruh warga Indonesia yang mengenalnya. Kita sudah jarang merasa bangga. Karena itu memiliki Leo adalah kebanggan yang langka. Apalagi belakangan ini kita lebih sering malu dibanding merasa bangga.
Terakhir Leo tampil di Surabaya pada pembukaan PSLI ke IX di hadapan penggemarnya, para seniman peserta PSLI, para pengusaha dan para pejabat termasuk Gubernur Jatim Soekarwo.
Sore itu, Jumat 7 Oktober 2016, sebelum upacara dimulai pihak protokol Pemprov sudah datang dan mencari saya untuk minta run down acara. Mengingat Pak Gubernur hanya memiliki waktu tidak lebih dari 30 menit, karena sudah ditunggu acara di tempat lain.
Susunan acara saya serahkan, pihak protokol kantor gubernur minta beberapa item acara diedit antara lain Tari Remo atau tari selamat datang. Di susunan acara tertulis Leo Kristi akan tampil solo untuk menyanyikan tiga lagu. “Ini kepanjangan mas, Leo Kristi nyanyi satu lagu saja,” kata petugas protokol.
Gila. Jauh-jauh datang dari Bandung hanya untuk menyanyikan satu lagu. Di luar dugaan, setelah saya konsultasikan dengan Leo, dia tidak keberatan. Saya agak hafal tabiat Leo, kalau sudah menghadapi persoalan seperti itu biasanya dia malah tidak mau tampil sama sekali.
“Yowis, gak papa,” katanya. Padahal dia sudah menyiapkan tiga lagu. Saya kecewa tetapi juga lega karena Leo tidak ngambek.
Sebagai ketua panitia, saya duduk bersebelahan dengan Gubernur. Tiba saatnya Leo tampil di panggung untuk menyanyikan satu lagu, Nelayanku. Saya lirik Pak De, panggilan akrab Sukarwo, sangat menikmati. “Saya senang sekali, saya menikmati,” kata Pak De. “Dia aset kita, harus dijaga,” tambahnya. Dia berkali-kali memuji Leo yang menurutnya dikenal sejak lama.
Tapi saya juga tidak bisa mengilangkan wajah petugas protokol yang berdiri di bawah panggung dan selalu menghadap ke arah kami. Dia selalu menatap saya. Setiap saya lirik, dia langsung mengacungkan jari telunjuknya. Satu lagu, maksudnya.
Ketika Leo selesai menyanyi, semua penonton berdiri sambil bertepuk tangan, banyak juga teriakan yang minta Leo menyanyi lagi. Demikian juga Pak De. “Lanjut, lanjut…” teriaknya.
Saya berbisik,” Pak De, tadi protokol minta agar Leo cuma nyanyi satu lagu, padahal sebenarnya dia sudah menyiapkan tiga lagu,” kata saya setengah berbisik.
“Teruskan, selesaikan sampai tiga lagu. Protokol ojok direken,” katanya dalam Bahasa Jawa. Saya segera memberi isyarat pada Leo untuk terus menyanyi. Saya lihat petugas protokol gelisah di bawah panggung. Ketika dia melihat ke arah saya, saya beri dia isyarat dengan 3 jari, sambil melirik kea rah Gubernur.
Petugas protokol itu melengos, kemudian pergi. Leo nyanyi dua lagu lagi, Nyanyian Tanah Merdeka dan Gulagalugu Suara Nelayan.
Usai Leo menyanyikan tiga lagu dan turun dari panggung, Gubernur berdiri untuk menyambut Leo. Keduanya bersalaman dan kemudian berangkulan. Saya menarik nafas lega.
Itu penampilan Leo Kristi ketiga kalinya pada pembukaan PSLI, dan ternyata penampilan terakhir yang saya saksikan. Tahun sebelumnya, Leo tampil dengan formasi lengkap Konser Rakyat Leo Kristi bersama Mung Sriwiyana dan dua vokalis wanita, disaksikan para penggemarnya termasuk Luhut Binsar Panjaitan yang ketika itu, Oktober 2015, masih menjadi Menko Polhukam.
Tahun 2015, sebagaimana tahun sebelumnya, tiap hari selama 10 hari pelaksanaan PSLI, Leo berada di JX International bersama para seniman. Di arena PSLI berbentuk hall besar ini kami juga sediakan klinik dengan seorang dokter, sebagai fasilitas untuk para peserta dan pengunjung.
Suatu saat ketika melintas di depan klinik yang terletak di sudur hall, Leo yang mengaku sama sekali tak pernah periksa ke dokter saya ajak masuk ke dalam untuk periksa darah. Semula dia menolak, tapi akhirnya mau juga masuk ke klinik.
Saya terkejut melihat hasilnya. Untuk orang usia 65 tahun, hasil tes darah Leo yang dilakukan secara acak sungguh sangat bagus. Asam urat 4,5, cholesterol 130 dan gula acak 110. Sedang tensi darahnya 80 – 120. “Bapak luar biasa,” kata dokter yang memeriksa. Leo cuma menjawab singkat sambil ketawa, “masak?”
Selama tiga tahun bekerjasama dengan Leo Kristi, segalanya berjalan lancar. Dia sangat profesional. Hal ini cukup menyenangkan, karena harus diakui, tidak mudah berurusan dengan Leo Kristi. Dia sangat nyentrik. Perangainya yang nyentrik itu membuat banyak orang yang tak memahaminya jadi kecewa.
Banyak cerita tentang perangai Leo yang membuat orang harus ekstra sabar kalau berurusan dengan dia. Misalnya pada acara Festival Seni WR Soepratman yang diselenggarakan di Balai Pemuda tahun 1996, Leo dikontrak untuk jadi salah satu penyaji dengan formasi lengkap, Konser Rakyat Leo Kristi.
Uang sudah diterima penuh, tetapi ketika tiba saatnya tampil di panggung, dia hanya didampingi istrinya Ida Ayu Cemani dan kedua anak mereka, Panji dan Rayu yang masih balita. Di atas panggung, Leo memutar kaset lagu-lagunya dengan walkman, sementara mereka berempat melukis di atas panggung. ‘Pertunjukan’ ini berlangsung selama 1,5 jam sesuai yang dijanjikan. Seluruh panitia yang diketuai almarhum Kadaruslan tidak bisa berkata apa-apa kecuali hanya mengelus dada.
Aktor kondang Butet Kartaredjasa juga punya cerita, ketika beberapa tahun lalu mengikat kontrak dengan Leo Kristi untuk tampil di Jakarta. Uang kontrak disepakati, tapi Leo minta disediakan grand piano di atas panggung.
Butet berpikir, untuk menyediakan grand piano tentu dibutuhkan anggaran yang tidak sedikit, minimal Rp 25 juta. Tapi Butet tak keberatan, meskipun dia curiga dengan kebiasaan Leo. Untuk berjaga-jaga, Butet juga mengundang seorang pianis.
“Benar saja perasaan saya. Ketika Leo tampil, dia hanya mengunakan grand piano itu hanya untuk satu ketukan dengan satu jari, ting! Setelah itu Leo sama sekali gak nyentuh piano itu. Untung saya sudah siapkan seorang pianis sehingga piano yang saya sewa dan diangkut dengan biaya mahal itu akhirnya terpakai. Asuwok,” maki Butet sambil tertawa, beberapa waktu silam.
Cerita orang tentang Leo bukan hanya karya-karyanya, tetapi juga perangainya yang aneh bahkan kadang menyebalkan (Al Fatikhah untukmu Le).
Sudah banyak yang faham, Leo sering terlambat datang di tempat pertunjukan atau di panggung. Kebiasaan ini seringkali membuat panitia kecewa campur was-was. Tapi setelah akhirnya Leo muncul di panggung bagai seorang pangeran dengan menenteng gitar, lantas menaikkan kaki kanannya di atas drum kecil kemudian menghajar gitarnya, kekecewaan dan kejengkelan panitia jadi sirna. Sejak dulu Leo selalu minta panitia untuk menyediakan sebuah drum kecil untuk panjatan kakinya.
Jangan kaget, Leo pernah tampil di panggung dengan memakai helm. Pada konser yang lain dia memakai kaca mata renang. Belum lagi busananya yang berwarna menyala.
Saya mengenal Leo sejak tahun 70an. Kami sering bertemu di habitat para seniman Surabaya yaitu di komplek Balai Pemuda. Menyebut komplek Balai Pemuda, tentu juga menyebut pemusik lain yang usianya setahun lebih tua dari Leo, yaitu Sudjarwoto Sumarsono alias Gombloh. Juga pemusik lain yang lebih muda antara lain almarhum Franky Sahilatua, Naniel Yakin dan Mung Sriwiyana.
Sementara di bidang teater ada Akhudiat dan almarhum Basuki Rahmat, sedang di seni rupa antara lain Amang Rahman, OH Supono dan Daryono, ketiganya sudah almarhum. Di komplek Balai Pemuda ada dua lembaga kesenian yaitu Dewan Kesenian Surabaya dan Bengkel Muda Surabaya.
Di sini pula ada gedung Balai Budaya Mitra tempat para seniman sering menggunakannya untuk pertunjukan seni apapun. Saat itu Balai Pemuda memang menjadi oase seni bagi kota Surabaya. Balai Budaya Mitra kemudian beralih fungsi jadi gedung bioskop Mitra. Tahun 1999 gedung DKS termasuk galerinya serta BMS dibongkar, di atasnya kemudian dibangun kantor untuk orang-orang yang dianggap lebih terhormat dibanding para seniman yaitu kantor DPRD Kota Surabaya.
Saya ingat, hubungan antara Leo dengan almarhum Gombloh terakhir kurang bagus. Bahkan sempat tidak saling bertegur sapa. Teman-teman yang lain juga tahu, keduanya sama-sama menghindar agar tidak saling bertemu. Hubungan yang kurang harmonis antara dua orang yang kelak melahirkan karya-karya besar itu berlangsung hingga Gombloh meninggal 9 Januari 1988 pada usia 40 tahun. Meskipun begitu semua juga tahu, keduanya saling menghormati.
Gombloh, Franky (meninggal 20 April 2011 pada 58 tahun) dan Leo, telah mewariskan karya-karya dahsyat untuk masyarakat Indonesia. Tapi dari ketiganya, hanya Leo Kristi yang meninggalkan sekelompok fans sangat loyal, yang kemudian menjadi komunitas yaitu LKers. Komunitas ini sekarang makin berkembang dengan memanfaatkan medsos.
Mereka ini tadinya bergabung dalam grup milis, tapi kemudian membuat grup di Facebook dengan akun Komunitas Pecinta Musik Konser Rakyat Leo Kristi. Secara rutin mereka mementaskan Konser Rakyat Leo Kristi, meskipun anggota komunitas ini tersebar di seluruh Indonesia.
Tentu jumlah pecinta karya-karya Leo tidak massal sebagaimana fans Iwan Fals, Slank atau yang lain. Ada kecenderungan pecinta Leo Kristi lebih terseleksi dalam hal intelektual. Maklum, karya-karya Leo Kristi memang tidak mudah diterima telinga awam, sehingga penjualan albumnya dari pertama hingga terakhir tak pernah sukses dalam hal komersial. Konser Rakyat Leo Kristi sudah menghasilkan sekitar 12 album.
Lirik lagu-lagu Leo berdiri utuh sebagai puisi. Dari dulu saya berpendapat Leo Imam Sukarno bukan cuma pemusik tetapi juga penyair. Dia seorang seniman yang jiwa dan raganya tak pernah berhenti berkelana. Dia seorang troubador.
Leo Kristi telah menyematkan namanya untuk nama grup, Konser Rakyat Leo Kristi. Konsekwensinya, ketika Leo meninggalkan kita, nama KRLK juga ikut dibawa. Menurut saya ini adalah bagian dari eksentriknya Leo, sekaligus juga bukti betapa sombongnya dia. Leo Kristi memang 'sombong' tapi kita tetap mencintainya, meskipun sudah sepekan dia meninggalkan kita. Hari-hari tanpa Leo terasa aneh, tetapi itulah faktanya. Dia telah pergi menyusul Gombloh dan Franky Sahilatua. (m. anis)