Sudah Sejak 1987 Bangun Asmoro Melukis di Lilin
Kalau sudah menjelang peringatan Imlek seperti sekarang ini, perupa Bangun Asmoro, 60 tahun, punya kerja sampingan selain pekerjaannya sebagai pelukis. Enaknya kerja sampingannya itu juga melukis. Bedanya, kalau sehari-harinya ayah dua putri ini melukis di atas kanvas, sedang kerja sampingannya ini melukis dengan media lilin.
Tiap tahun Bangun Asmoro mendapat pekerjaan melukis lilin. Hal itu sudah dilakukan sejak tahun 1987. Dari dulu sampai sekarang. Tidak tergantikan. Di Indonesia tentu Bangun tidak sendiri, tapi jumlahnya tidak lebih banyak dari jari tangan kiri.
“Di Jawa Timur mungkin saya sendiri. Ada dua keponakan saya yang sudah beberapa tahun belajar melukis di lilin, tapi sekarang berhenti karena lebih memilih jadi pelukis. Dulu ada beberapa, tapi sekarang kelihatannya saya sendiri. Ada seorang yang sudah sangat sepuh, tidak melukis lagi,” kata Bangun Asmoro di rumahnya, di pinggir jalan Simo Angin-angin, Kecamatan Wonoayu Timur, Sidoarjo, tiga hari lalu.
Kati
Umat Konghuchu amat menghormati leluhur. Sebelum merayakan Imlek, mereka melakukan persembahyangan kepada leluhur, orang-orang tua mereka, naik terus sampai ke atas. Mereka melakukan sembahyangan, dilengkapi dengan menyalakan sepasang lilin. Lilin-lilin kecil sampai lilin ukuran raksasa yang tingginya mencapai 2,75 meter, dengan diameter 60 sentimeter.
Untuk menyebut ukuran lilin yang banyak terdapat di Vihara atau Kelenteng, dasarnya adalah berat, dengan ukuran kati, bukan kilogram. Satu kilogram sama dengan 1,67 kati. Lilin paling besar beratnya bisa 1000 kati, setara 588 kilogram. Ukuran yang lebih kecil juga ada, 750 kati, 500 kati, 300 kati, dan seterusnya, sampai ukuran paling kecil sebesar lilin putih yang banyak dimiliki rumah tangga sebagai persiapan apabila tiba-tiba listrik PLN padam.
Ukuran lilin 300 kati sampai 500 kati dengan tinggi 2,4 meter itulah yang setiap tahun dilukis oleh Bangun Asmoro. Gambarnya khusus, bukan gambar yang sehari-hari dilukisnya; bunga dan vas bunga, pasar bunga atau pasar tradisional, perahu nelayan di laut, realis dengan paletan tebal, tergantung pesanan. Mungkin tidak banyak orang, termasuk para pelukis, yang pernah mendengar istilah melukis lilin. Padahal Bangun Asmoro sudah melakukannya sejak 25 tahun lalu, secara rutin, tiap tahun.
Satu set lilin terdiri dari sepasang, atau dua buah lilin. Tugas Bangun memberi gambar Liong atau naga melingkar di lilin yang nantinya ditaruh di sebelah kanan, sedang lilin pasangannya dilukis dengan obyek Burung Hong atau Phoenix, yang juga melingkari lilin, nantinya ditempatkan di sebelah kiri. Inilah satu set lilin, sepasang, yang dibeli oleh orang untuk dibakar di Kelenteng sebagai penghormatan kepada leluhur, menjelang peringatan Imlek.
“Untuk satu set lilin ukuran 500 kati yang diameternya sekitar 45 sentimeter, saya menerima Rp 500 ribu. Sehari saya bisa menyelesaikan tiga set ukuran 500 kati, kerja dari jam delapan sampai jam dua, di rumah juragan di Surabaya. Sejak dua bulan lalu saya bekerja, dalam seminggu bisa empat hari kerja,” kata Bangun Asmoro.
Makin besar lilin ongkosnya juga makin mahal. Untuk ukuran 700 kati dibayar Rp 600 ribu sepasang, sedang 1000 kati mendapat Rp 700 ribu. “Yang sering saya kerjakan adalah ukuran 500 kati. Sesekali nggambar juga yang 1000 kati, atau 700 kati. Tapi lebih sering menggambar ukuran 500 kati,” tambahnya.
Ukuran lilin yang dibakar seseorang di Kelenteng menunjukkan tingkat kekayaan yang dimiliki. Betapa tidak, lilin ukuran 500 kati seperti yang sering dilukis Bangun Asmoro sepasang harganya bisa mencapai Rp 50 juta. Itu belum biaya menjaga dan merawat selama lilin berada di Kelenteng. Api tidak boleh mati. Kalau misalnya mati, maka orang yang menjaga harus segera menyalakannya. Makin besar lilin, makin lama habisnya, makin besar pula ongkosnya. Beda dengan lilin ukuran kecil, yang usai dinyalakan langsung dibuang.
Teknik menggambar lilin seperti yang dikerjakan Bangun Asmoro, cat tidak langsung digoreskan ke permukaan lilin, melainkan di atas mika yang diukur persis dengan bidang pada lilin. “Jadi saya menggambarnya di atas lembaran mika yang sudah menutup lilin, dengan obyek Liong atau Burung Hong, ornamen awan dan bola api. Mika itu juga berfungsi untuk menahan lelehan lilin yang sudah terbakar, yang tiap hari akan digunting oleh petugas Kelenteng,” jelas Bangun Asmoro.
Kekuatan
“Dari dulu saya menggambar pakai cat Emco, dari tahun delapan tujuh sampai sekarang, tidak pernah ganti. Alasan saya kenapa pakai Emco karena tidak bau, warnanya cerah dan rasanya lembut ketika digoreskan. Cat lain tidak bisa seperti itu,” kata Bangun Asmoro. Untuk melukis dengan media lilin itu, Bangun Asmoro menggunakan hampir semua warna dasar kuning, biru, hijau, merah, putih dan hitam.
Liong, atau Lung, dalam mitologi China bermakna sebagai kekuatan dan keperkasaan. Sedang Burung Hong lambang kesuksesan dan kelembutan. Sepasang kekuatan inilah yang digambar Bangun Asmoro di lilin, kemudian dikirim ke Kelenteng mana saja, untuk dibakar. Dia tidak menggambar ujud kelentengnya, yang mungkin saja bisa menghasilkan karya lukis amat bagus, dari berbagai sudut pandang seorang pelukis. Tapi Bangun Asmoro bukan sekadar menggambar Kelenteng sebagai obyek. Dia menggambar kekuatan yang ada di dalamnya.
Hanya sedikit sekali pelukis, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali, yang memiliki kesempatan sekaligus pengalaman seperti Bangun Asmoro. Dia sangat bersyukur memiliki keduanya itu. “Banyak pelukis yang gambarnya jauh lebih bagus dari saya. Tapi yang punya kesempatan kok malah saya, karena itu saya harus bersyukur,” katanya. Dan kesempatan itu telah dirawatnya dengan baik dan bersih, hampir separuh usianya. “Saya bersyukur dan istiqomah saja.”
Bangun Asmoro lantas menceritakan bagaimana pertama kali dia ditawari untuk menggambar lilin. “Saya dulu juga punya pekerjaan sampingan selain melukis di kanvas, yaitu menggambar dengan teknik airbrush di permukaan kaca. Suatu hari ada yang tawari, bisa melukis di lilin? Langsung saja saya jawab bisa, padahal ya terus terang saya tidak tahu karena memang tidak pernah mendengar istilah melukis di lilin. Itu terjadi tahun 1987,” katanya. Ya sudah, akhirnya keterusan sampai sekarang, tambahnya.
Seperti Keluarga
Di balik kerja sampingan Bangun Asmoro, ada aktivitas bisnis yang bergerak di bawah permukaan. Di Jawa Timur saja sedikitnya terdapat 29 Kelenteng. Ratusan di seluruh Indonesia. Semua Kelenteng itu membutuhkan lilin, yang jumlahnya tergantung kepada berapa banyaknya umat Konghucu yang datang untuk melakukan persembahyangan di situ. Sebenarnya yang membutuhkan dan membeli lilin adalah umat sendiri, sedang Kelenteng memfasilitasi tempat dan sarana untuk beribadah. Tapi pihak Kelenteng biasanya juga bisa menyediakan lilin sesuai permintaan, ukuran berapa pun yang diminta.
“Lilin-lilin yang saya gambar dikirim ke hampir semua Kelenteng yang ada di Pulau Jawa. Juga dikirim ke Singaraja di Bali dan Pangkalan Bun di Kalimantan Tengah. Saya tidak tahu apakah gambar saya juga dikirim ke Sumatera, karena di sana kan banyak sekali kelentengnya,” kata Bangun Asmoro, di studionya yang luasnya sekitar 5 x 6 M2, terletak di belakang tempat tinggal, berdampingan dengan langgar yang disebutnya sebagai waqaf dari kakeknya. Tetangga kanan kiri rumah Bangun Asmoro adalah kerabatnya sendiri, termasuk kakak kandungnya, dalam satu halaman. Rumah Bangun berada paling depan, di jalan raya kabupaten.
“Dulu di Surabaya ini ada empat juragan yang biasa memberi order saya untuk menggambar lilin. Tapi sekarang tinggal satu orang, tinggal di Dharmahusada. Maaf saya tidak sebut namanya. Dia dan keluarganya sangat baik pada saya. Hubungan kami seperti keluarga. Anak-anaknya sejak masih kecil akrab dengan saya. Sekarang satunya jadi direktur rumah sakit, dan adiknya sudah jadi dokter spesialis. Dahulu rumahnya masih kontrak, sekarang rumahnya banyak. Saya sudah seperti keluarga sendiri dengan mereka,” cerita Bangun Asmoro.
Beda dengan bisnis-bisnis lain selama pandemi 2019-2021 yang menukik, bisnis lilin, terutama lilin ukuran besar, justru malah meningkat. “Saat pandemi lalu order saya malah meningkat. Karena pandemi, banyak orang yang berdoa, dampaknya makin banyak yang membakar lilin,” kata Bangun Asmoro. Benar juga logikanya. “Sekarang kembali stabil,” tambahnya sambil ketawa.
Bangun Asmoro adalah pelukis profesional. Hanya dari melukis ia menghidupi keluarganya. Ini adalah pilihan. Kini kedua putrinya sudah bekerja, salah satunya memberinya cucu berumur dua setengah tahun. Karya-karyanya, terutama yang berukuran besar misalnya 200x120 sentimeter, dengan gambar pasar tradisional atau basar bunga, bisa dicari di beberapa galeri yang ada di Jakarta, Bandung, Jogja, Surabaya dan Bali. Tetapi dia juga aktif mengikuti pameran bersama komunitas pelukis Sidoarjo, Surabaya dan Jawa Timur.
Hotel-hotel banyak memajang karyanya. Sebulan dia harus setor dua karya pada sebuah galeri. “Harganya tidak saya rahasiakan, antara tujuh setengah sampai lima belas juta. Ini saya mulai menggambar baru, harus selesai dalam sepuluh hari,” katanya sambil menunjuk sebuah kanvas yang berdiri di tripot, di studionya. Di kanvas nampak coretan-coretan tipis bentuk beberapa orang, dengan pensil, sebagai dasar lukisannya dengan obyek pasar bunga.
Pesanan galeri
“Pulang dari menggambar lilin, saya istirahat, habis salat isya saya menggambar lagi di sini. Aktivitas saya sehari-hari memang hanya menggambar, kecuali ada keperluan-keperluan lain,” katanya. “Menggambar Liong atau menggambar pasar tradisional, sama-sama saya nikmati prosesnya. Juga hasilnya,” tegasnya. (m. anis)
Advertisement