Suatu Hari di Bulan Ramadhan, Kisah Gus Dur dan Pak Harto
Suatu hari di bulan Ramadhan, KH Abdurrahman Wahid diundang mantan Presiden Soeharto ke kediamannya di Cendana, Jakarta. Kali ini, untuk berbuka puasa bersama. Ketika itu, Gus Dur, panggilan akrab Presiden ke-4 RI, hadir dengan ditemani salah seorang kiai yang lain. Di antaranya, Kiai Asrowi dari Betawi.
Setelah buka, kemudian shalat maghrib berjamaah. Setelah minum kopi, minum teh, dan makan, terjadilah dialog antara Soeharto dan Gus Dur.
Soeharto : "Gus Dur sampai malam di sini ?"
Gus Dur : "Enggak pak ! Saya harus segera pergi ke tempat yang lain."
Soeharto : "Oh, iya ya ya... Silakan. Tapi kiainya 'kan ditinggal di sini, ya ?"
Gus Dur : "Oh, Iya Pak ! Tapi harus ada penjelasan."
"Mendengar ucapan Gus Dur itu, Soeharto jadi bingung. Baru kali ini ia mendengar ada NU lama dan NU baru. Kemudian dia bertanya...."
Soeharto : "Penjelasan apa ?"
Gus Dur : "Salat tarawihnya nanti itu "ngikutin" NU lama atau NU baru ? "
Mendengar ucapan Gus Dur itu, Soeharto jadi bingung. Baru kali ini ia mendengar ada NU lama dan NU baru. Kemudian dia bertanya.
Soeharto : " Lho, NU lama dengan NU baru apa bedanya ? "
Gus Dur : " Kalau NU lama, Tarawih dan Witirnya itu 23 rakaat.."
Soeharto : " Oh Iya..ya..ya..ya....gak apa-apa......"
Gus Dur sementara diam tak lagi berbicara. Sejurus kemudian Soeharto bertanya lagi.
Soeharto : " Lha, kalau NU baru bagaimana ?"
Gus Dur : " Diskon 60 persen!"
Hahahahahahahahahahahahahha.........(Gus Dur, Soeharto dan semua orang yang ada di sekitarnya yang mendengar dialog itup un tertawa)
Gus Dur : " Ya. Jadi Salat Tarawih dan Witirnya cuma tinggal 11 rakaah."
Soeharto : " Ya sudah, saya ikut NU baru saja. Pinggang saya sakit." (adi)
*) Dipetik dari Kumpulan Humor Gus Dur.