Suara Rakyat Suara Tuhan, atau Suara Partai Suara Tuhan?
Ada yang tidak benar dalam upaya kita menegakkan Kedaulatan Rakyat. Kehadirannya belum nyata dirasakan dan belum terbukti bahwa kedaulatan sungguh berada di tangan rakyat. Selama ini, kedaulatan rakyat dijabarkan hanya pada saat pemilu berlangsung yang penyelenggaraannya sekali dalam lima tahun. Pada saat pemilu berlangsung, memang di saat itu superioritas rakyat sangat terasa. Sehingga diistilahkan sebagai pesta demokrasi, pestanya rakyat pemilik negeri.
Rakyat dimuliakan dan dibuat seolah berkuasa menentukan masa depan bangsa ini. Memberikan suara kepada calon dari partai tertentu mereka yakini bahwa aspirasi mereka pasti tersalurkan, tuntutan mereka selalu didengar dan diperjuangkan, bila nanti sang calon terpilih sebagai anggota parlemen. Dalam bayangan mereka, rakyat pasti mempunyai akses untuk mengontrol kinerja para wakilnya di DPR. Padahal dalam praktiknya, begitu pemilu selesai, seluruh akses yang memungkinkan rakyat dapat mengontrol kinerja para wakilnya di DPR, tamat sudah.
Begitu menjadi anggota DPR, mereka otomatis berubah peran; dari wakil rakyat menjadi wakil (petugas) partai. Dan sebagai wakil partai, hanya kepada ketua umum partai mereka tunduk. Itu sebabnya sering terjadi antara suara rakyat sebagai konstituen dan keputusan politik ketua umum partai pilihannya tak sejalan saling berseberangan. Dan ketika berseberangan, rakyat tak mempunyai hak atau dibukakan pintu sedikitpun oleh sistem yang ada untuk dapat melakukan koreksi menjalankan kedaulatannya. Itu sebabnya sering kita dengar dan saksikan segerombol massa pendukung partai tertentu turun ke jalan berdemo sambil membakar bendera partai pilihannya sendiri. Karena hanya itu cara satu-satunya untuk memprotes agar suara mereka didengar.
Untuk itu, perlu dibuatkan mekanisme yang dibakukan sebagai sistem; dimana kontrol dan pengawasan rakyat terhadap kinerja para wakilnya di DPR diatur dalam tata laksana kerja yang berdasar pada petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis ( Juknis) yang bersifat wajib dijalankan oleh setiap anggota DPR-DPRD. Misalnya saja pada saat reses, keharusan tatap muka dengan para konstituennya jangan dibiarkan berjalan begitu saja. Perlu diatur melalui juklak dan juknis yang lebih menukik pada penguatan bangunan Kedaulatan Rakyat. Agar kunjungan legislator ke daerah pemilihannya tidak sekadar rekreasi politik yang hanya menghabiskan uang negara dan menjadikan rakyat sebagai obyek politik, sekaligus obyek wisata!
Pada setiap kunjungan ke daerah pemilihan, para wali kota, camat, dan lurah-kepala desa, berikut para tokoh masyarakat plus para tokoh LSM setempat, harus dihadirkan dalam sebuah forum (Forum Rakyat). Sekurangnya diselenggarakan satu tahun sekali. Forum Rakyat ini harus dibakukan menjadi forum resmi untuk melakukan dengar pendapat dan dialog antara rakyat dan wakil rakyat. Sebaliknya, wakil rakyat pun bisa mendengar keluhan rakyat atas kinerja Pemprov, Pemkot-Pemkab, Pemdes yang langsung dapat melakukan teguran kepada pejabat daerah bersangkutan.
Bagi wakil rakyat yang setiap masa reses dua kali berturut-turut tidak menghadiri Forum Rakyat tanpa sebab, langsung mendapat rapor merah dan pimpinan partai wajib melakukan pergantian atas diri legislator yang malas ini. Begitu juga legislator yang 3 kali berturut-turut mendapat kartu kuning dari Forum Rakyat, wajib mendapat peringatan keras. Dan pada saat kartu merah diberikan oleh Forum Rakyat, partai wajib melakukan pergantian terhadap legislator bersangkutan. Mekanisme recall ini pun harus dibakukan ke dalam sistem. Agar mekanisme recall dijalankan secara obyektif, perlu dibentuk sebuah lembaga arbitrase di bawah naungan partai terkait dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dengan dimungkinkannya sistem recall melalui mekanisme yang memberi ruang bagi Kedaulatan Rakyat dalam praktik, seorang legislator akan bekerja sungguh-sungguh menyuarakan aspirasi dan kehendak rakyat yang diwakilinya. Sehingga jargon ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’ semakin mendekati kenyataan!
*Erros Djarot adalah budayawan, seniman, politisi dan jurnalis senior - Tulisan ini dikutip sepenuhnya dari laman Watyutink.com
Advertisement