Suara Anak Abah Itu Moral, Tak Untuk Dijual
Oleh: Ady Amar, Kolumnis
Komunitas Anak Abah terbilang solid untuk tidak memilih salah satu paslon yang ada. Tapi hari-hari ini muncul satu-dua elit relawan bermanuver. Katanya, tak membawa-bawa nama Anies Baswedan. Menjadi absurd jika jasanya dipakai paslon tertentu, tapi nama Anies tak menyembul di sana. Laku elit relawan itu semua mahfum, bagian dari ikhtiar cari tumpangan baru.
Aliansi relawan Anies Baswedan jumlahnya memang seabrek. Saat ini tengah dilirik paslon peserta Pilkada DKJ. Terutama paslon yang diusung KIM Plus, Ridwan Kamil-Suswono. Atau paslon yang diusung PDIP, Pramono Anung-Rano Karno. Belum terdengar elit relawan melipir ke paslon independen Dharma Pongrekun-Kun Wardana, yang memang "miskin" amunisi. Karenanya, menjadi tak menarik untuk didekati.
Perburuan pun muncul mendekat atau didekati, dan karenanya saling dipertemukan oleh kepentingan yang sama. Semua kemudian memahaminya sebagai simbiosis mutualisme.
Sejak Jum'at 20 September)beredar luas foto satu-dua petinggi relawan Anies yang sumringah dapat Bos baru. Ada yang pose berduaan saling jabat dengan kedua tangan diangkat ke angkasa. Tanda kesepakatan sudah dibuat. Ada pula yang berombongan. Satu elitnya terang-terangan menyatakan akan berjuang memenangkan Ridwan Kamil-Suswono. Tak merasa canggung berfoto ria bersama paslon yang didekatinya--disebut didekati karena didatangi--tanpa risih.
Laku menjijikkan, jika meminjam istilah yang dipakai Geisz Chalifah. Memang tak selayaknya itu dilakukan jika masih mengedepankan sedikit moral. Laku elit relawan itu tak memunculkan sanksi atas pilihan sikapnya. Tapi tidak sanksi moral yang menempel yang bisa disandang seumur hidup. Pula bisa terbawa sampai ke liang lahat.
Sekali lagi, biarkan saja jika putusan memilih tumpangan baru jadi pilihan.
Lalu bersamaan muncul pemberitaan di media massa saling klaim. Relawan Anies bergabung dengan paslon A atau B, seolah itu mewakili suara relawan keseluruhan. Kesan terbangun dengan hadirnya elit relawan Anies
memilih tumpangan baru. Seakan itu mampu membawa serta merta Anak Abah. Klaim yang tak perlu ada pembuktian.
Tak sesederhana yang dibayangkan, seolah Anak Abah bisa diperdagangkan. Itu menghina. Maka biarkan saja klaim para paslon, yang boleh jadi telah diyakinkan, bahwa gerbong yang ditarik akan penuh berisi Anak Abah.
Seperti bisa dipastikan Anies akan membiarkan saja fenomena memakai namanya diperdagangkan. Memang tak ada hak Anies melarang-larang pilihan sikap politik relawannya. Buat Anies itu hal biasa. Pada peristiwa yang jauh lebih dahsyat dari melipirnya elit relawan itu, Anies telah tunjukkan sikap seperti tak ada masalah apa-apa, dan tak juga cari pembenar saat kartel partai politik membegalnya. Meski elektabilitas keterpilihan Anies jauh mengungguli paslon lain yang dimunculkan.
Tapi tidak dengan Anak Abah yang lalu menyikapi kemarahan atas penjegalan pencalonannya dengan caranya. Muncul gerakan yang tanpa perlu diorkestrasi. Sebuah gerakan yang punya kesamaan dalam pilihan: coblos semua paslon. Gerakan coblos semua jadi pilihan untuk tak memilih paslon yang tak sesuai hati nurani. Dan, itu konstitusional. Tidak ada yang dilanggar. Itulah perlawanan moral Anak Abah yang tak terbayangkan. Bergerak dan bersikap dengan ritme yang sama dalam melawan kartel politik pembegal demokrasi.
Ikhtiar paslon peserta Pilkada DKJ mencoba bertemu Anies, setidaknya sampai saat ini, tak dihirau. Bisa jadi itu cara Abah menjaga psikologis Anak-anaknya yang merasakan kesakitan luar biasa. Maka cara lain pun ditempuh dengan membujuk elit relawan. Meski tak banyak yang terjaring, hanya hitungan jari saja, tapi mampu mengesankan seolah suara Anak Abah ikut terangkut. Hal yang tak mudah.
Anak Abah punya standar moral yang jelas. Tak mudah digoyang-dibujuk untuk memilih tumpangan baru. Anak Abah punya pilihan sendiri, dan itu pada value yang cuma ada pada Anies Baswedan. Selainnya tak diliriknya.
Anies Baswedan tak mungkin marah atau menyesal melihat fenomena yang muncul dari beberapa gelintir elit relawan yang selama ini berjuang bersamanya. Itu bukan tabiatnya. Memilih mendiamkan saja, itu biasa jadi pilihannya. Anak Abah sejati pastilah bisa membaca arah diamnya Abah, itu bermakna apa. Setidaknya satu hal didapat Anies untuk melihat siapa kawan seiring sejalan yang konsisten di jalan perubahan, dan siapa yang mesti dicukupkan berakhir beriringan sampai di sini. Itulah hikmah yang didapat...
Wallahu a'lam.
*Ady Amar, Kolumnis
Advertisement